Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presidential Threshold: Suara Kedaluwarsa Penentu yang Akan Berkuasa

30 Juli 2022   07:00 Diperbarui: 17 Januari 2023   00:46 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presidential threshold kembali ramai diperbincangkan menjelang pemilu tahun 2024. Pasalnya, syarat untuk mencalonkan presiden ini dianggap tidak demokratis dan menyimpang dari konstitusi bagi sebagian orang. Presidential threshold adalah ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Presidential threshold di Indonesia sendiri saat ini sebesar 20% dari total jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional, artinya setiap orang yang ingin menjadi calon presiden harus berasal dari satu partai atau gabungan beberapa partai yang apabila dijumlahkan memiliki setidaknya 115 dari 575 kursi di DPR atau 25% jumlah suara pada pemilihan legislatif sebelum pemilihan eksekutif.

Aturan tersebut jelas merugikan banyak pihak, salah satu contohnya adalah partai politik yang tidak bisa mencalonkan kadernya tanpa harus berkoalisi karena kurangnya jumlah kursi di DPR. Lantas, apa yang menjadi permasalahan dan dampak buruk penerapan aturan tersebut?

Perjalanan presidential threshold dari waktu ke waktu

Presidential threshold mulai diberlakukan ketika pelaksanaan pemilu langsung perdana pada tahun 2004, dengan berlandaskan UU No. 23 Tahun 2003. Kala itu, partai atau gabungan partai yang akan mengusung calon presiden dan wakil presiden diharuskan memiliki minimal 15% dari total jumlah kursi di DPR atau 20% dari suara sah nasional dalam pemilihan legislatif. Pada tahun ini, ada 5 pasangan calon yang berkontestasi dalam pemilihan eksekutif.

Pada pemilihan presiden selanjutnya, yaitu tahun 2009, diterapkan perubahan mengenai ambang batas pencalonan presiden. Berdasarkan UU No.42 Tahun 2008, syarat partai atau gabungan partai yang akan mengusung calon presiden dan wakil presiden adalah memiliki 25% dari total kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam pemilihan legislatif. Tiga pasangan calon berkontestasi dalam pagelaran pemilihan presiden pada tahun itu.

Lima tahun kemudian, yaitu pada pemilihan umum tahun 2014, tidak terdapat perubahan mengenai ambang batas pencalonan presiden. Di tahun itu, dua pasangan calon presiden dan wakil presiden maju untuk berkontestasi di pilpres.

Pada pemilu tahun 2019, perubahan kembali diterapkan. Berdasarkan Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017, syarat partai atau gabungan partai yang akan mengusung calon presiden dan wakil presiden harus memiliki 20% dari total jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasioal. Menariknya adalah, pada tahun tersebut dilakukan pemilu serentak yang menimbulkan kontroversi. Mengapa demikian?

Tiga pemilu langsung sebelumnya memiliki alur di mana pemilihan legislatif dilaksanakan terlebih dahulu, beberapa bulan setelah itu barulah pemilihan eksekutif dilaksanakan. Sehingga, untuk menentukan presentase jumlah kursi di DPR/suara sah nasional dihitung berdasarkan pemilihan legislatif yang baru beberapa bulan sebelumnya dilaksanakan.

Namun, pada tahun 2019, pemilihan legislatif dan pemilihan eksekutif dilakukan secara bersamaan. Artinya, untuk melihat persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah nasional tidak bisa berdasarkan pemilihan legislatif yang baru dilaksanakan. Ini membuat persentase dihitung berdasarkan pemilihan legislatif lima tahun sebelumnya. Dengan kata lain, Negara Indonesia lima tahun ke depan dipimpin oleh kekuatan lima tahun yang lalu yang seharusnya sudah kedaluwarsa, bukan kekuatan sekarang.

Tiket kemarin untuk besok

Seperti yang dijelaskan di atas, tiket yang digunakan untuk mengajukan calon presiden bukanlah tiket baru. Tiket yang harus dibeli para bakal calon adalah tiket usang yang sudah kedaluwarsa karena diperoleh dari hasil pemungutan suara lima tahun yang lalu. Tiket tersebut seharusnya sudak tak berlaku lagi karena kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang terus berubah seiring berjalannya waktu.

Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu itu, ribuan keputusan diambil pemerintah dalam berbagai hal. Dalam kurun waktu itu pula ribuan hal dilakukan oleh para politisi yang membuat kepercayaan masyarakat terus diuji. Orang ataupun partai yang lima tahun yang lalu didukung masyarakat tidak menjamin mereka masih dipercaya untuk menampuk jabatan lima tahun kemudian. Begitu pun sebaliknya.

Melalui proses lobi panjang di balik layar, tiba-tiba muncullah dua orang yang entah apa ide dan gagasannya bagi negeri membawa tiket untuk menjadi calon pemimpin dari 275 juta jiwa. Rakyat pun diwajibkan untuk memilih satu di antara dua orang itu untuk menentukan masa depannya. Presiden yang terpilih bukanlah orang terbaik dari yang terbaik, tetapi presiden merupakan orang yang dianggap lebih baik daripada yang satunya.

Padahal, akan lebih indah bagi demokrasi apabila setiap partai politik dapat mengusung calon presidennya masing-masing. Dengan cara itu, semua memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan seleksi alam akan berlaku. Yang terbaik yang menang.

Yang terbaik di antara yang ada

Dengan ambang batas tersebut, sepertinya tak banyak calon presiden yang akan bertanding pada gelaran pilpres. Di tahun 2024 nanti, hanya ada satu partai yang dapat mencalonkan kadernya sendiri tanpa harus berkolaborasi dengan partai lain, partai tersebut merupakan PDI-P yang memiliki kursi di DPR sebanyak 128 kursi atau sebesar 22,2% dari total 575 kursi di DPR. Besaran tersebut cukup jauh jika dibandingkan dengan Golkar sebagai partai kedua yang memiliki kursi terbanyak, yaitu 85 kursi atau sebesar 14,7% dari total kursi di DPR.

Hal ini mendorong munculnya siasat di balik layar supaya seseorang bisa mendaftarkan diri menjadi calon presiden. Siasat tersebut tak lain dan tak bukan adalah UANG. Seseorang bisa saja mencalonkan diri dengan menggunakan “tiket” yang dimiliki partai yang telah melampaui ambang batas pencalonan. Atau menggunakan tiket yang dihasilkan dari gabungan partai. Namun, harganya tentu tak murah. Semakin kuat basis dukungan partai tersebut, semakin tinggi pula harganya.

Hal tersebut membuat calon-calon presiden bukanlah orang yang hebat, yang bisa dipertanyakan ide dan gagasannya. Namun, calon presiden adalah mereka yang memiliki kekayaan melimpah hingga sanggup membeli tiket 20%. Dan lagi, rakyat diwajibkan memilih salah satu di antara orang tersebut. Ragam partai politik seakan menjadi tak berguna dengan sistem ini.

Semakin banyak calon, semakin beragam ide, semakin baik program

Partai politik adalah tempat pengaderan bagi para politisi. Di sanalah ide-ide tentang sistem dan ideologi dibentuk untuk menghasilkan politisi yang dapat membawa negara ke arah yang baik. Seharusnya begitu. Mereka ditanamkan ide yang berbeda-beda sesuai ideologi partai mereka masing-masing. Semakin banyak partai politik, semakin beragam ide yang dibentuk.

Seharusnya, ide yang beragam tersebut dapat mengusung masing-masing “jagoan” mereka tanpa adanya batasan. Jagoan tersebut dibiarkan bertarung melawan jaoan lainnya untuk meyakinkan rakyat bahwa dirinyalah yang pantas untuk menjadi nahkoda negeri ini. Seharusnya begitu.

Karena dengan cara itulah calon presiden akan berhenti kampanye dengan berdagang kepada rakyat. Dengan cara itu pula persaingan bukan hanya mengenai barang dagangan, lebih dari itu persaingan naik level menjadi soal gagasan. Yang ditawarkan kepada rakyat bukan hanya omong kosong mengenai sembako murah, BBM turun harga, atau kartu-kartu sakti yang pada ujungnya tak ditepati. Lebih dari itu, calon presiden akan berbicara mengenai nasib bangsa 5, 10, atau  50 tahun ke depan. Cita-cita bangsa akan menjadi prioritas perjalanan kekuasaan.

Lagi-lagi, dengan adanya ambang batas tersebut, ide-ide besar harus mati karena kekurangan kursi. Partai-partai harus berkoalisi dan berdamai dengan perbedaan visi. Pikiran elite partai bukan soal ideologi, tetapi soal mendapatkan kursi menteri. Tentu karena untuk kursi presiden sudah ada permainan siapa yang akan mengisi lewat tiket usang yang dijual dengan harga tinggi. Demokrasi mati, konstitusi diakali, jabatan dibagi-bagi di negeri ini.

Penyunting: Rafi Setyadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun