Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presidential Threshold: Suara Kedaluwarsa Penentu yang Akan Berkuasa

30 Juli 2022   07:00 Diperbarui: 17 Januari 2023   00:46 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang dijelaskan di atas, tiket yang digunakan untuk mengajukan calon presiden bukanlah tiket baru. Tiket yang harus dibeli para bakal calon adalah tiket usang yang sudah kedaluwarsa karena diperoleh dari hasil pemungutan suara lima tahun yang lalu. Tiket tersebut seharusnya sudak tak berlaku lagi karena kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang terus berubah seiring berjalannya waktu.

Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu itu, ribuan keputusan diambil pemerintah dalam berbagai hal. Dalam kurun waktu itu pula ribuan hal dilakukan oleh para politisi yang membuat kepercayaan masyarakat terus diuji. Orang ataupun partai yang lima tahun yang lalu didukung masyarakat tidak menjamin mereka masih dipercaya untuk menampuk jabatan lima tahun kemudian. Begitu pun sebaliknya.

Melalui proses lobi panjang di balik layar, tiba-tiba muncullah dua orang yang entah apa ide dan gagasannya bagi negeri membawa tiket untuk menjadi calon pemimpin dari 275 juta jiwa. Rakyat pun diwajibkan untuk memilih satu di antara dua orang itu untuk menentukan masa depannya. Presiden yang terpilih bukanlah orang terbaik dari yang terbaik, tetapi presiden merupakan orang yang dianggap lebih baik daripada yang satunya.

Padahal, akan lebih indah bagi demokrasi apabila setiap partai politik dapat mengusung calon presidennya masing-masing. Dengan cara itu, semua memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan seleksi alam akan berlaku. Yang terbaik yang menang.

Yang terbaik di antara yang ada

Dengan ambang batas tersebut, sepertinya tak banyak calon presiden yang akan bertanding pada gelaran pilpres. Di tahun 2024 nanti, hanya ada satu partai yang dapat mencalonkan kadernya sendiri tanpa harus berkolaborasi dengan partai lain, partai tersebut merupakan PDI-P yang memiliki kursi di DPR sebanyak 128 kursi atau sebesar 22,2% dari total 575 kursi di DPR. Besaran tersebut cukup jauh jika dibandingkan dengan Golkar sebagai partai kedua yang memiliki kursi terbanyak, yaitu 85 kursi atau sebesar 14,7% dari total kursi di DPR.

Hal ini mendorong munculnya siasat di balik layar supaya seseorang bisa mendaftarkan diri menjadi calon presiden. Siasat tersebut tak lain dan tak bukan adalah UANG. Seseorang bisa saja mencalonkan diri dengan menggunakan “tiket” yang dimiliki partai yang telah melampaui ambang batas pencalonan. Atau menggunakan tiket yang dihasilkan dari gabungan partai. Namun, harganya tentu tak murah. Semakin kuat basis dukungan partai tersebut, semakin tinggi pula harganya.

Hal tersebut membuat calon-calon presiden bukanlah orang yang hebat, yang bisa dipertanyakan ide dan gagasannya. Namun, calon presiden adalah mereka yang memiliki kekayaan melimpah hingga sanggup membeli tiket 20%. Dan lagi, rakyat diwajibkan memilih salah satu di antara orang tersebut. Ragam partai politik seakan menjadi tak berguna dengan sistem ini.

Semakin banyak calon, semakin beragam ide, semakin baik program

Partai politik adalah tempat pengaderan bagi para politisi. Di sanalah ide-ide tentang sistem dan ideologi dibentuk untuk menghasilkan politisi yang dapat membawa negara ke arah yang baik. Seharusnya begitu. Mereka ditanamkan ide yang berbeda-beda sesuai ideologi partai mereka masing-masing. Semakin banyak partai politik, semakin beragam ide yang dibentuk.

Seharusnya, ide yang beragam tersebut dapat mengusung masing-masing “jagoan” mereka tanpa adanya batasan. Jagoan tersebut dibiarkan bertarung melawan jaoan lainnya untuk meyakinkan rakyat bahwa dirinyalah yang pantas untuk menjadi nahkoda negeri ini. Seharusnya begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun