Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tolak RUU Ciptaker, Bangkitlah Demonstrasi

12 Maret 2020   00:29 Diperbarui: 12 Maret 2020   11:34 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring berjalannya era pasca-reformasi menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa. Kaitannya dengan kondisi bangsa ini yang karut marut karena beleid tak pro rakyat, pertanda panggilan mulai para penyambung lidah rakyat. Teringat ungkapan Bung Hatta, mahasiswa adalah akal dan hati rakyat Indonesia. Tak ada yang memungkiri ungkapan itu, bahkan perubahan zaman sekalipun.

Masih terlintas diingatan kita tentang Bumi Tadulako yang dibanjiri ribuan mahasiswa dari berbagai organisasi dan kampus-kampus memprotes kebijakan kala Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menainkkan harga BBM. Aksi demonstrasi besar-besaran itu terjadi selama tiga jilid dan tiga hari berturut-turut.

Terakhir, ledakan demonstrasi terjadi kala menolak Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diterbitkan. Seketika jalan-jalan dibanjiri mahasiswa saat pemerintah mengobok-obok institusi Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK), kritik kebakaran hutan dan lahan di mana-mana, RUU Kitam Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa RUU lainnya. Kesimpulannya, negara sedang sibuk mengurusi dapur rakyatnya.

Melihat trobosan pemerintah saat ini melalui konsep Omnibus Law boleh dikata sangat brilian. Tapi masalahnya, terlalu banyak sisipan kepentingan hingga membuat rakyat terlupakan.

Salah satunya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang mirip "malaikat pencabut nyawa". Mirisnya oligarki-oligarki terus mengintervensi konsep penyederhanaan peraturan perundang-undangan itu agar memihak kepada pemodal.

Lalu para buruh dipaksa bekerja paruh waktu tanpa memikirkan resiko kesehatan dan kualitas hidup demi memenuhi hasrat ekonomi mereka. Sungguh tidak adil rasanya melihat rakyat dicambuk paksa karena lelah bekerja, rela kehilangan buah hati demi mematuhi aturan yang dibuat, bahkan meninggal karena kelamaan "bersujud" dihadapan pemodal demi sekarung beras dan beberapa ekor ikan.

Kalau sudah begini, kita yang disebut akal dan mata hati rakyat lantas diam menyaksikan geliat mereka membombardir bangsa ini. Baik, beberapa penjelasan menurut pandangan penulis untuk menjadi bahan mengapa harus menolak dan mendukung.

Pertama, tidak ada lembaga yang berwenang terhadap perumusan Naskah Akademik seluruh rancangan yang ada. Parahnya tidak ada tim ahli yang bertugas menyusunnya. Turunannya adalah terdapat beberapa pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja melanggar konstitusi.

Misalnya Pasal 170 mengatur bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang. Isi pasal ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 tahun 2011 yang mengatur Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang. Sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang.

Karut marut juga ditampilkan pada Pasal 166 yang menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Tentu ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV yang menyebutkan kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Kedua, ada agenda "romusa" dibalik ketentuan yang mengatur waktu kerja para buruh. Bila mengingat sejarah masa lalu, "romusa" populer dengan pengertian kerja paksa.

Pola itu Nampak pada Pasal 89 poin 20 yang mencantumkan pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Pada sisi implementasi, ada peraturan pemerintah yang mengklasifikasi jenir pekerjaan apa saja.

Namun masalahnya, kuatnya oligarki memutus optimism akan sebuah kemajuan dibalik RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Kemudian, pasal 89 poin 24 menyebutkan gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Upah minimum tersebut dihitung dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Lanjut ke poin 30, pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Itu artinya sematang apapun kepala daerah memperhatikan upah pekerja, tetap saja harus  menyesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Pernyataanya, kalau perusahaan itu tidak transparan, adakah pasal yang memberikan akses kepala daerah untuk menuntut transparansi.

Ketiga, masalah paling sering terjadi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah partisipasi masyarakat. Dari berbagai literatur hukum maupun sosial -- politik, partisipasi masyarakat sangat penting sebagai wujud paraturan perundang-undangan yang demokrasi. Parahnya, partisipasi para ahli hukum juga sangat minim.

ANTARA FOTO/Basri Marzuki
ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Keempat, kedudukan perempuan sangat tidak dihargai dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Jika membuka kembali draft RUU ini, tidak ada akses hukum yang pasti bagi perempuan yang hami, keguguran, melahirkan dan haid. Slogan yang disuarakan selama ini tentang gender hangus seketika karena rancangan ini. Ada dugaan memprovokasi perempuan kembali ke ranah domestik, sedangkan laki-laki dipaksa bekerja sebagaimana tupoksinya kepala keluarga.

Kelima, dugaan ada agenda besar dibalik seluruh rancangan yang sedang diperjuangkan saat ini. Terbukanya akses pintu investasi memang ada baiknya disambut positif. Tapi tidak ada formula bagi negara untuk melindungi sumber daya alamnya.

Parahnya, hal itu tidak tersampaikan kepada rakyat. Dalam posisi ini, ketika rakyat menyuarakan penolakan, justru dianggap ancaman keamanan negara.

Keenam, memang draft itu bukan bersifat final. Tapi pendidikan politik "kambing hitam" sedang diajarkan kepada rakyat.

Siapa yang dikambing hitamkan? Jawabannya saat demonstrasi.

Di situ bisa dilihat siapa yang ditembak gas air mata, water canon, dikejar-kejar polisi dan dipukul hingga babak belur. Segala kerusakan yang terjadi kemudian menyalahkan pendemo yang anarkis. Tidak ada anarkisme jika gas air difungsikan untuk mengamankan, bukan membubarkan massa aksi.

Ketuju, penolakan RUU Ominibus Law Cipta Kerja ditengarai minimnya kualitas daya baca rakyat. Begini, jika rakyat dipaksa untuk memahami arah berfikir para pemangku kepentingan, buruh tidak belajar perancangan peraturan perundang-undangan. Buruh kerjanya bukan kuliah di fakultas hukum, mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidup agar bisa makan dengan gaji seadanya.

Semua masalah yang terjadi membuat "syaraf pergerakan" ini bergeser dari diplomatis ke demonstrasi. Kalau begini kondisinya, diam rasanya tidak cukup, menulis seperti ada yang tidak lengkap, mambaca masih dirasa sangat kurang. Kalau kita turun ke jalan, bagaimana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun