Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh beserta jajaran DPP Partai Nasdem bertandang ke Kantor DPP partai Golongan Karya (Golkar) di Slipi, Jakarta pada Senin 9 Maret 2020.
Hasil pertemuan dua pimpinan partai itu ada usulan dari Surya Paloh untuk merevisi Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 ihwal pemilihan umum terkait kenaikan ambang batas parliamentary threshold dari 4 persen menjadi 7 persen.
Usulan ini disambut Airlangga Hartanto sebagai usulan yang bagus. Bahkan ada wacana parliamentary threshold diberlakukan secara nasional.
Dalam skema penerapannya, partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold di tingkat nasional dampaknya akan sama di tingkat daerah. Sebaliknya jika lolos parliamentary threshold maka partai yang ada di tingkat daerah akan mengikuti.
Sebagaimana diketahui, parliamentary threshold atau ambang batas parlemen merupakan syarat yang harus dipenuhi setiap partai politik peserta pemilu untuk meraih kursi DPR. Partai politik yang hanya meraih suara di bawah ambang batas parlemen, tidak akan mendapat kursi di DPR.
Melihat wacana ini, wajar jika ada pro kontra. Terlepas dari PKS, Gerindra dan Demokrat memiliki pandangan berbeda soal ini, kita terfokus pada partai-partai baru yang tidak lolos ambang batas.
Perjuangan besar partai-partai baru pada Pemilu 2019 bersusah payah agar lolos parliamentary threshold 4 persen, tapi nyatanya tidak lolos. Misalnya PSI, tidak lolos ambang batas partai di tingkat nasional, justru di tingkat daerah lolos.Â
Melihat situasi itu, menandakan untuk memperoleh ambang batas 4 persen sudah cukup berat bagi partai-partai baru. Kemudian partai baru lainnya seperti Partai Berkarya, Garuda dan Perindo tak lolos ambang batas parpol.
Apalagi muncul baru baru ini Partai Gelora besutan Fahri Hamzah dengan Anies Matta sebagai tokoh sentralnya. Tentu ini jadi ujian terberat mengingat persaingan perolehan suara kedepan makin ketat.
Di balik usulan ini kita patut mengira-ngira ada agenda besar pada Pemilu 2024 mendatang. Bukan soal kandidat yang diusung oleh partai koalisi, melainkan penentuan nasib partai-partai baru yang tidak lolos ambang batas, terpaksa harus melebur dalam satu kendali partai utama.
Kondisi ini mirip agenda Holding Company, di mana partai-partai terpaksa mengikuti kendali partai utama agar bisa duduk di Parlemen.
Apa itu Holding Company?
Holding Company merupakan perusahaan utama yang membawahi beberapa perusahaan lain atau subsidiary company yang berada dalam satu grup perusahaan.
Kedudukan perusahaan utama akan menjadi perusahaan induk berperan sebagai pemegang saham dalam beberapa perusahaan anak dengan tujuan agar meningkatkan kinerja perusahaan dan memungkinkan terciptanya nilai pasar perusahaan.
Hubungan antara holding company dengan subsidiary company disebut dengan affiliasi. Pada pola kerjanya, perusahaan utama dan perusahaan di bawahnya harus bekerjasama bagaimana meningkatkan pemasukan signifikan.
Di sini ada prinsip gotong royong mencapai visi keuntungan lebih besar. Praktis seluruh perusahaan hidup dengan keuntungan berlebih.
Dalam konteks partai politik, penggabungan dari beberapa parpol di bawah kendali partai utama bisa saja dilakukan jika ingin sama-sama lolos ambang partai.
Sama halnya dengan pengertian Holding company, partai utama otomatis mengendalikan partai-partai di bawahnya dengan tujuan mencapai kuota ambang batas Parlemen. Jika salah satu partai di bawahnya tidak berhasil mencapainya, tentu bernilai buruk
Pengertian lainnya bahwa hubungan antara Holding company dengan subsidiary company adalah afiliasi.
Merujuk pada penjelasan yang sebenarnya, afiliasi adalah bentuk kerjasama antara perusahaan utama dengan anak perusahaan dalam meningkatkan nominal kentungan.
Dalam konteks partai politik, keuntungan yang dimaksud adalah peluang kader partai untuk duduk di kursi Parlemen.
Skema ini bisa disebut koalisi. Tapi kelemahannya tidak ada keterikatan antara partai - partai selain kontrak politik untuk mencapai visi ambang batas Parlemen.Â
Kelemahan skema koalisi, partai bisa saja menarik diri dan pindah ke koalisi yang lain. Dampak buruknya harus ada upaya menalangi kekuatan yang sudah keluar dari koalisinya.
Jika skemanya adalah Holding company, maka partai utama berhak mengendalikan dari luar agar partai di bawahnya bekerja berdasarkan perintah.
Dalam literatur politik kepartaian, kondisi itu bisa disebut sebagai konsep penyederhaan partai politik. Memakai pengertian dari pengertian sebenarnya holding company itu, bahwa partai-partai di bawahnya harus menyesuaikan dengan style atau pola gerakan partai utama.
Pada sisi penyederhaan partai politik itu memang baik. Tidak salah beranggapan bahwa hanya dengan dua partai saja, demokrasi tetap jalan sebagaimana mestinya, seperti Amerika Serikat. Meskipun berbeda karakter geopolitiknya paling tidak bisa meyakini Indonesia mampu mencapai itu semua.
Situasi politik saat ini mengantarkan dugaan dan hipotesis analisis politik bahwa akan ada agenda holding company partai-partai politik.
Meskipun partai-partai baru merasa hidup karena merasa terbantu dari power partai utama, tetap tidak kehilangan ideologi partai-partai itu sendiri.
Selain untuk mencapai ambang batas yang cukup besar, keinginan partai berada pada posisi diperhitungkan bisa tercapai, manakala partai-partai yang tidak lolos ambang batas bergabung dan di bawah kendali partai utama.
Pola kerjanya pun dilakukan secara serentak demi keuntungan bersama, kemungkinan besar berpotensi menjadi bekal untuk bersikap mandiri. Misalnya merekomendasikan pilihannya beserta kekuatan sumber daya partai.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H