Siapa sangka, ide cyberspace sebenarnya lahir dari tangan imajinatif seorang penulis fiksi ilmiah bernama William Gibson. Gibson menuangkan imjinasi tentang cyberspace dalam novelnya yang berjudul Neuromance. Di novelnya, Gibson membayangkan adanya ruang maya atau dalam jaringan komputer yang mensimulasikan dunia nyata sehari-hari. Gibson menggunakan istilah Matrix untuk melukiskan sebuah ruang halusinasi. Ruang itu dibangun oleh bit-bit komputer. Ruang Matrix hasil imajinasi Gibson inilah yang kemudian melahirkan ruang abstrak bernama cyberspace.(Yasraf Amir Piliang: 2011)
Kehadiran cyberspacememberikan dampak nyata ke berbagai aspek. Lahir dari imajinasi untuk imajinasi, ternyata dalam perkebangannya menjadi kenyataan. Lihat, bagaimana seorang pebisnis memainkan cybermeraut keuntungan lewat pasar online, mengendalikan pasar virtual, merubah setiap detik kondisi sosial, hingga politik juga terlibat langsung memuluskan kepentingan individu.Â
Dalam pandangan sederhananya, era cybermerupakan salah satu tatanan hidup manusia yang tidak bisa dilewatkan sebagai bagian dari masyarakat modern atau posmodern menurut pada akademisi. Cyberpacememiliki fleksibiltas tak terbatas untuk manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Bahkan, mampu membunuh absurditas dengan sekejap mata.
Banyak hal baru bisa diciptakan dan dilakukan dari kekuatan cyberspace, yang paling menonjol yakni informasi. Manakala informasi semakin mudah didapatkan, dengan mudahnya informasi ini menyebar keseluruh penjuru menembus batas ruang dan waktu. Tantangan yang dihadapi, transpransi informasi itu.
Masa depan, ketika kekuatan cybermendominasi, manusia hadir sebagai pengolah ataupun penguasa dunia maya, atau menjadi korban dari cyber. Tidak heran, tanpa atau kendali manusia, informasi hoax mengalir seperti air. Lalu bagaimana dengan tranparansi? Ini tidak lagi menjadi sentral. Itu artinya, masyarakat dengan mudah dipengaruhi dari informasi yang didapatkan. Dengan kondisi demikian, daya tarik atau dengan kata lain popularitas menjadi syarat utama meyakinkan pembaca. Transparansi informasi tidak lagi memiliki otoritas tertinggi yang mengontrol segala informasi. Dalam kadar tertentu, transparansi akan kalah dengan daya tarik. Karenanya, jika dimasa depan nantinya tidak dapat dibendung, sang pengendali yang sebenarnya adalah masyarakat cyber. Inilah era di mana negara tidak lagi hadir dengan konsep demokasi. Melainkan, diganti dengan Netokrasi. Demokrasi semata-mata hanya dihormati dalam literasi refleksi sejarah kebangsaan.
Tidak sedikit pandangan banyak pakar, menuangkan pandangan masa depan dengan melihat transparansi informasi akan mengubah demokrasi menjadi demokrasi multiplisitas, yang di mana setiap orang mengatur dirinya sendiri. Demokrasi multisipilitas tidak mengakui adanya kekuasaan otoriter, aristokrasi, terutama demokrasi. Demokrasi Mutiplisitas adalah demokrasi yang kekuasaan tertingginya bukan pada manusia, melainkan pada jaringan. Maka dengan sendirinya, secara fundamental mengubah pandangan masyarakat terhadap segala informasi.
Dalam politik jaringan, transparansi harga mati. Informasi berlimpah, dari semua arah. Tak ada lagi ruang tertutup untuk menyimpan tindak penggelapan. Segala sesuatu terang benderang. Jaringan memiliki kebebasan menyuarakan suara. Setiap noda transparansi yang terlibat akan dibersihkan melalui kekuatan protes dari jaringan. Dalam sekejap mata, setiap tindakan yang tidak mencerminkn akuntabilitas dapat digugat dan dilegitimasi. Jaringanlah yang akan memegang kunci. (Fayakhun Andriadi: 2016, hlm. 110).
Netokrasi adalah salah satu demokrasi yang tidak mengedepankan kedaulatan rakyat. Melainkan, kebebasan individu yang bermain di dalam aneka jejaring virtual. Dengan kata lain, setiap individu akan membangun suatu kedaulatannya sendiri dalam jaringan.
Berbeda dengan demokrasi, yang lebih mengedepankan konsensus dalam menjalankan kehidupan bernegara. Sementara, sistem netokrasi bertumpuk pada bagaimana cara menarik perhatian, rayuan atau seduksi. Jelas, siapa yang paling menarik perhatian, itu yang memegang kekuasaan tertinggi. Tentu, masyarakat dalam netokrasi adalah masyarakat percari perhatian.
Dalam artikel Yasraf A. Piliang berjudul Totalitas Menuju Multipsilitas: Manifesto Tentang Masa Depan Bangsa, (2008), menggambarkan bagaimana sistem netokrasi dalam sebuah negara. Dalam sistem netokrasi, siapa yang berhasil mengemas citra dirinya, dialah yang kuasa. Dalam sistem netokrasi, Jaringan (Net) menggantikan peran manusia (Man) atau rakyat (Citizen) sebagai fondasi proyek besar sistem demokrasi masa depan. Kumpulan Netter (para pelaku jaringan) mengambil alih negara sebagai visioner, manajer dan kekusaan tertinggi sosial. Netiquette (etika jaringan) menggantikan peran normatif hukum dan etika, di dalam aktivitas --aktivitas pelaku jaringan yang terus berpindah di dalam dunia virtual. Netocrate (teknorat jaringan) menggantikan peran teknorat dan birokrat di dalam demokrasi, sebagai perencana dan pengambil kebijakan di dalam dunia maya.
Netonomist (ahli ekonomi jaringan) mengambil alih peran ekonom di dalam sistem demokrasi, dalam aktivitas produksi dan pasar virtual. Nettopolice (polisi jaringan) bertindak sebagai polisi serta jaksa dan hakim, dalam kondisi tidak ada hak hukum formal yang dapat diciptakan di dalam jaringan yang selalu berubah, bergerak dan perpindah.
Bangunan netokrasi diatas, sudah mulai dirasakan saat ini. Dalam level nasional hingga global, fenomena arab spiring 2011 telah meletupkan revolusi di beberapa negara timur tengah adalah bukti kekutan jaringan. Para netizen menggerakkan kekuatan revolusi dengan menggunakan media sosial. Rezim dipaksa untuk turun dari takhta, tapi dengn kekuatan yang digerakkan dari dunia maya. (Fayakhun Andriadi: 2016, hlm. 112)
Sementara di Indonesia, fenomena sekelompok penyebar berita hoaxmampu memberikan efek luar biasa dalam masyarakat. Dengan memberlakukan bangunan netokrasi, mulai dari penguasa jaringan, pelaku, teknorat, polisi jaringan hingga Jaringan (Citizen) sebagai pengganti rakyat, bersatu membuat dan menyebarkan suatu informasi tidak benar. Yang terjadi justru melampaui dugaan. Dalam perkembangannya, ratuan hingga ribuan akun medsos membagikan seluruh satu informasi. Sistem yang dibangun, di mana satu pelaku jaringan membuat berbagai akun palsu untuk membuat satu jaringan kecil pengganti citizen. Dari penduduk kecil ini, dikembangkan berisikan rayuan, menggaet ribuan akun asli untuk mengomentari dan membagikan informasi itu. Dari sinilah, awal netokrasi terbangun dengan rapi. Bahkan, dalam ekonomi jaringan, mampu mensejahteranan pelaku jaringan.
Tidak menutup kemungkinan, bangunan ini bisa saja lakukan untuk kepentingan tertentu bertujuan membangun satu negara dalam dunia maya. Dalam dunia ini, seluruh aspek, ekonomi, hukum, sosial dan politik sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa jaringan. Maka, tidak ada jaminan hidup apapun dalam dunia ini. Terutama dinamika politik negara dunia maya, tidak terbangun satu sistem yang baik untuk memajukan kehidupan pelaku jaringan.
![http://www.tulisan.org/2015/04/5-fitur-unik-rahasia-di-media-sosial.html](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/08/28/3-743263-59a34bc2f121d42979787312.jpg?t=o&v=770)
Seperti halnya sistem netokrasi, Imagologi juga bermain di zona cyberspace. Bedanya, Imagologi merupakan cara berpolitik era modern, yang di mana individu memanfaatkan media sosial, informasi dan dunia cyberuntuk menyuarakan  visi tertentu. Kata kunci dari imagologi, yaitu pencitraan. Para anggota kelompok yang terbagi dalam berbagai devisi, menyusun satu rencana  mengangkat salah satu figur individu. Teknik sederhananya, individu ini didesain semenarik mungkin, mulai dari membuat meme, pemberitaan politik hingga membuat satu media menampung aspirasi rakyat dalam rangkamengangkat figur individu. Muatan materinya, dibuat menarik dengan beragam kalimat rayuan menggugah emosional pembaca. Hasilnya, pembaca dibuat kagum dengan sosok individu. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan untuk mengambil hati pembaca memilih dirinya di kontenstasi politik kemudian hari.
Membaca cara kerja ini, mirip dengan netokrasi. Satu pelaku jaringan (netter) membuat akun pribadi atau akun figur individu sebagai sumber utama informasi. Atau cara lainnya, akun pribadi individu menjadi titik sentral untuk di komentari dan dibagikan ke dunia maya. Kemudian, para birokrat jaringan (netocrate) berperan sebagai pengambil kebijakan atas perkembangan pencitraan individu. Kata akhirnya, para birokrat membuat kebijakan survei bertahap atas hasil pencitraan di dunia maya. Hingga memasuki tahap akhir, survei dilakukan dilapangan di mana zona pencitraan itu terbentuk.
Sementara untuk ahli ekonomi jaringan (netonomist) mengambil sampel perkembangan individu untuk dijual dipasar virtual. Tentang besaran biaya, tergantung kualitas pencitraan individu. Semua peranan ini, kemudian ditentukan atas permainan polisi jaringan (nettopolice). Individu dimainkan sedekimian rupa  melahirkan kesan dinamika politik hukum. Dalam dimensi ini, sebagian pelaku jaringan tampak ada yang membela individu, menghakimi berdasarkan hukum netokrasi itu sendiri.
Car-cara netokrasi sudah terlihat saat ini, dengan menampakkan berbagai  akun abal-abal hingga akun resmi. Tapi, imagologi belum tentu merupakan bagian dari netokrasi. Sebab, imagologi lebih terstruktur, tersistematis dan memiliki visi universal, bukan individu. Lain halnya dengan netokrasi, pelaku jaringan berbuat sendiri untuk kepentingan sendiri tanpa batasan apapun.
Kehidupan cyberspaceadalah kehidupan tanpa batas. Bisa saja, cyberspacesebagai sumber netokrasi mampu diwujudkan sepenuhnya di masa depan. Itu artinya, negara tidak lagi hadir sebagai pengendali segala sesuatu, terutama kehadiran negera sebagai pengendali tranparansi informasi. Bisakah ini terjadi? Optimis atau pesimis, sangat mungkin terjadi. Kalau tidak segera di bendung, masa depan negara sepenuhnya akan digenggam oleh jaringan, rakyat diganti jaringan, demokrasi diganti netokrasi, idealisme diganti pencitraan.
Negara perlu bertindak ditengah arus kendali cyber. Bertindak dalam artian beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Pertama,negara perlu menggabungkan sistem menjadi sistem berbasis teknologi. Namun, kendala yang dikhawatirkan, jika tanpa fungsi kontrol yang ketat, keadaan sosial politik hingga aspek lainnya bisa runtuh dan dikendalikan oleh jaringan.
Kedua, negara hadir sebagai benteng menbendung segala gempuran kekuatan cyber. Hal yang dilakukan, mengetahui dan mempelajari segala kelemahannya. Dalam hukum Tuhan, tidak ada yang abadi selain pemilik kehidupan. Maka dari itu, kelemahan cyberpasti ada.
Jika negara dan cyberbersinergi, maka keduanya saling mengisi kelemahan yang ada. Disamping negara memanfaatkan kekuatan cybermengisi kelemahan sistem kenegaraan, negara hadir mengatur agar semuanya dapat bernilai positif, meminimalisir hoaxdan transpransi tetap memiliki otoritas tertinggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI