Netonomist (ahli ekonomi jaringan) mengambil alih peran ekonom di dalam sistem demokrasi, dalam aktivitas produksi dan pasar virtual. Nettopolice (polisi jaringan) bertindak sebagai polisi serta jaksa dan hakim, dalam kondisi tidak ada hak hukum formal yang dapat diciptakan di dalam jaringan yang selalu berubah, bergerak dan perpindah.
Bangunan netokrasi diatas, sudah mulai dirasakan saat ini. Dalam level nasional hingga global, fenomena arab spiring 2011 telah meletupkan revolusi di beberapa negara timur tengah adalah bukti kekutan jaringan. Para netizen menggerakkan kekuatan revolusi dengan menggunakan media sosial. Rezim dipaksa untuk turun dari takhta, tapi dengn kekuatan yang digerakkan dari dunia maya. (Fayakhun Andriadi: 2016, hlm. 112)
Sementara di Indonesia, fenomena sekelompok penyebar berita hoaxmampu memberikan efek luar biasa dalam masyarakat. Dengan memberlakukan bangunan netokrasi, mulai dari penguasa jaringan, pelaku, teknorat, polisi jaringan hingga Jaringan (Citizen) sebagai pengganti rakyat, bersatu membuat dan menyebarkan suatu informasi tidak benar. Yang terjadi justru melampaui dugaan. Dalam perkembangannya, ratuan hingga ribuan akun medsos membagikan seluruh satu informasi. Sistem yang dibangun, di mana satu pelaku jaringan membuat berbagai akun palsu untuk membuat satu jaringan kecil pengganti citizen. Dari penduduk kecil ini, dikembangkan berisikan rayuan, menggaet ribuan akun asli untuk mengomentari dan membagikan informasi itu. Dari sinilah, awal netokrasi terbangun dengan rapi. Bahkan, dalam ekonomi jaringan, mampu mensejahteranan pelaku jaringan.
Tidak menutup kemungkinan, bangunan ini bisa saja lakukan untuk kepentingan tertentu bertujuan membangun satu negara dalam dunia maya. Dalam dunia ini, seluruh aspek, ekonomi, hukum, sosial dan politik sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa jaringan. Maka, tidak ada jaminan hidup apapun dalam dunia ini. Terutama dinamika politik negara dunia maya, tidak terbangun satu sistem yang baik untuk memajukan kehidupan pelaku jaringan.
Seperti halnya sistem netokrasi, Imagologi juga bermain di zona cyberspace. Bedanya, Imagologi merupakan cara berpolitik era modern, yang di mana individu memanfaatkan media sosial, informasi dan dunia cyberuntuk menyuarakan  visi tertentu. Kata kunci dari imagologi, yaitu pencitraan. Para anggota kelompok yang terbagi dalam berbagai devisi, menyusun satu rencana  mengangkat salah satu figur individu. Teknik sederhananya, individu ini didesain semenarik mungkin, mulai dari membuat meme, pemberitaan politik hingga membuat satu media menampung aspirasi rakyat dalam rangkamengangkat figur individu. Muatan materinya, dibuat menarik dengan beragam kalimat rayuan menggugah emosional pembaca. Hasilnya, pembaca dibuat kagum dengan sosok individu. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan untuk mengambil hati pembaca memilih dirinya di kontenstasi politik kemudian hari.
Membaca cara kerja ini, mirip dengan netokrasi. Satu pelaku jaringan (netter) membuat akun pribadi atau akun figur individu sebagai sumber utama informasi. Atau cara lainnya, akun pribadi individu menjadi titik sentral untuk di komentari dan dibagikan ke dunia maya. Kemudian, para birokrat jaringan (netocrate) berperan sebagai pengambil kebijakan atas perkembangan pencitraan individu. Kata akhirnya, para birokrat membuat kebijakan survei bertahap atas hasil pencitraan di dunia maya. Hingga memasuki tahap akhir, survei dilakukan dilapangan di mana zona pencitraan itu terbentuk.
Sementara untuk ahli ekonomi jaringan (netonomist) mengambil sampel perkembangan individu untuk dijual dipasar virtual. Tentang besaran biaya, tergantung kualitas pencitraan individu. Semua peranan ini, kemudian ditentukan atas permainan polisi jaringan (nettopolice). Individu dimainkan sedekimian rupa  melahirkan kesan dinamika politik hukum. Dalam dimensi ini, sebagian pelaku jaringan tampak ada yang membela individu, menghakimi berdasarkan hukum netokrasi itu sendiri.
Car-cara netokrasi sudah terlihat saat ini, dengan menampakkan berbagai  akun abal-abal hingga akun resmi. Tapi, imagologi belum tentu merupakan bagian dari netokrasi. Sebab, imagologi lebih terstruktur, tersistematis dan memiliki visi universal, bukan individu. Lain halnya dengan netokrasi, pelaku jaringan berbuat sendiri untuk kepentingan sendiri tanpa batasan apapun.
Kehidupan cyberspaceadalah kehidupan tanpa batas. Bisa saja, cyberspacesebagai sumber netokrasi mampu diwujudkan sepenuhnya di masa depan. Itu artinya, negara tidak lagi hadir sebagai pengendali segala sesuatu, terutama kehadiran negera sebagai pengendali tranparansi informasi. Bisakah ini terjadi? Optimis atau pesimis, sangat mungkin terjadi. Kalau tidak segera di bendung, masa depan negara sepenuhnya akan digenggam oleh jaringan, rakyat diganti jaringan, demokrasi diganti netokrasi, idealisme diganti pencitraan.
Negara perlu bertindak ditengah arus kendali cyber. Bertindak dalam artian beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Pertama,negara perlu menggabungkan sistem menjadi sistem berbasis teknologi. Namun, kendala yang dikhawatirkan, jika tanpa fungsi kontrol yang ketat, keadaan sosial politik hingga aspek lainnya bisa runtuh dan dikendalikan oleh jaringan.