Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Hukum Progresif

26 April 2017   02:29 Diperbarui: 26 April 2017   11:00 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mempertautkan antara hu­kum dan kekua­saan agaknya menghimpit meremuk redamkanwacana keadilan, terutama berbi­cara soal kesejahteraan. Hukum tak ubahnyaseperti apa yang disebut Georgio Agamben sebagai citarasa pemikiran alapenguasa, bukan merupakan pemi­kiran yang sifatnya komu­nal. hukum progresifyang memuja responsivitas ter­ganggu dengan keadaan dominasi mayoritas ter­hadapmasyarakat yang rentan dengan kelompok miskin, difabel, perempuan, anak, buruh,petani, nela­yan, masyarakat adat, dan seterusnya.

Wacana penegakan hu­kum dalambeberapa waktu sebelumnya masih tercium harapan akan bangkitnya kalimat agungall men are equal by nature and before the law. Pada satu kalimat populis danhumanis "tidak selamanya hujan" kiranya benar bahwa perseteruantampak selalu ada seba­gaimana dalam referen­si-referensi bahwa konflikditempatkan sebagai ke­niscayaan. 

Tidak menutup kemungkinan penegakan hukummasih bersifat ada­gium ada pula yang realistis menjalankannya, meskidikemudian hari berka­muflase akibat pengaruh eksternal mengubah kesa­daranmanusia menjadi ma­nusia baru dalam persfektif ideologinya. Maka padakenyataannya situasi ini mengantarkan kita pada kebingungan. Pertama, ti­dakadanya penyelesaian hukum yang berujung pada pengendalian politik atas hukum.Kedua, terwujudnya hukum di tengah peraturan ideologi. Akan tetapi me­nujutepian hukum berubah karena tuntutan kewajiban dan instruksi otoritas ke­pentingan.

Mengingat kondisi saat ini,dalam internal hukum sendiri, sedang menghada­pi banyaknya pandangan pesimiskepada hukum. Pertama, hasil invasi china menunjukkan angka dratis diluarperkiaraan akal se­hat. Kedua, politik identitas terjun bebas ke dasar jurangkehancuran. Semakin hari semakin jauh dari esensi se­bagaimana sejarah berkatasoal partai politik. 

Ketiga, media tak ubahnya seperti layar lebar mempertonton­kancarut marut penegakan hukum terhadap kedudukan sosok individu yang katanya ataudikatakan menegakkan hukum. Kalimat selaras den­gan ketiga pandangan terse­but,kondisi ini adalah tidak ketemunya das sein dan das solen. Sederhananya antaraharapan dan kenyataan.

KAPITALISME VS SO­SIALISME? 

Menuju penegakan hu­kum seringkali tercium aroma politik yang berpo­tensi bisa merubah atau mewujudkankemudian berujung pada nasib masy­arakat. Dikarenakan adanya keputusan politikdiinternal hukum selalu diselimuti oleh ideologi, misalnya ka­pitalme vssosialisme, ke­mudian tertampilkannya pertarungan watak masy­arakat purba vsmodern. Pada konteks hukum, dalam percaturannya tampil seba­gai KapitalismeHukum dan Sosialisme Hukum. 

Watak masyarakat purba mem­berikan ruang penindasankepada masyarakat lemah sebagai representatif hu­kum rimba. Adagium homo hominilupus memberikan spirit mempertahankan ek­sistensinya. Siapa yang kuat akanmemangsa yang lemah mengedepankan individu­alistik dan egosentris. Bagi yangtidak dalam lingkaran keluarga, kepentingan atau kelompok perlahan tapi pastidan pasti pula berna­sib sama seperti yang lain.  

Bedanya dengan masya­rakatmodern lebih mema­hami realitas masyarakat yang beragam. Perkem­bangannya didukung oleh perkembangan ideologi kemudian masuk mem­pengaruhi hukum sehinggamelahirkan kebijaksanaan memandang segala situasi dalam sebuah frame ubi so­cietasibi ius.  

Kembali menjadi sebuah memoar,pada era globali­sasi telah kembalinya ma­syarakat purba. Saya me­maknaiglobalisasi telah membangkitkan kembali masyarakat purba berwajah masyarakatideologi. Alhasil, kecerdasan dan kekuasaan IPTEK memposisikan indi­vidumemenangi pertarun­gan dan sejahtera. Situasi ini juga kemudian mempenga­ruhihukum yang selalu dija­dikan alat menguasai segala bagian kehidupan, taktiknyatampil sebagai pemangku otoritas hukum. Maka wa­jar kemudian suara-suarajalanan mengatakan hukum selalunya dibuat atas dasar tawaran kaum asing atasmotif menanamkan kepen­tingan.  

Adil dan makmur sebagai konsepsicita - cita universal memanfaatkan berbagai lini sektor menumbuhke­mbangkanekonomi atas kendali hukum mengatur segala yang diperlukan dan dilakukan. Sayamelihat, pada pertengahan hingga akhir, tuntutan ekonomi yang semakin tinggisema­kin berpotensi mengalihkan masyarakat dari situasi di­luar konteks ekonomidan kehidupan. Pada titik kul­minasinya masyarakat lebih berfikir soalkesejahteraan individu dari pada kondisi hukum yang sadar atau tidak sadarmendominasi perta­rungan antara kapitalisme dan sosialisme.  

Seiring berkembangnyaglobalisasi, selaras dengan pernyataan World Bank 2014 bahwa Indonesia ma­sukdalam klasifikasi 10 besar setuasi ekonomi lebih mencuat. Kita tidak perlumemandang lirih masa de­pan. Kita masih punya legi­timasi deklarasi stokholm1976 sebagai paru-paru dunia. Ini artinya negara kita bisa jadi sumber hidupnegara-negara lain. 

Bagai­mana tidak, kira-kira 60 % hidup kita dikendalikanoleh orang asing. Orang lokal hanya sedikit. Bahkan jadi pelengkap untuk 100%formalitas ekonomi. Tidak heran kalau masyarakat miskin sekitar perusahaanhidup bergantung pada kebijaksanaan mereka. Tapi kali ini kita bisa bernafaslega ketika statment pimpi­nan negara menjadi viral di media sosial. Jangansenang dulu, ini untuk siapa, lalu bagaimana untuk kita, kalau menendangnantinya di­ganti dengan apa. 

Secara kontekstual, perlu­nyakita membuka mata dan pikiran tentang penegakan hukum, siapakah nantinya akanmenang, apakah kapi­talis ataukah sosialis? Meski Francis Fukuyama berkatakemenangan selalu diraih kapitalisme. Tapi, tidak mungkin. Pucuk pemerin­tahhari cenderung plintat-plintut meletakkan model karakter hukum negara. Kadangdemokrasi, kadang sosialis, kadang kapital, kadang tak punya kata-kata untukitu. 

SUPREMASI HUKUM MENUJU KESEJAH­TERAAN,SEKEDAR WACANA. 

Pada hakikatnya hukum lahirbukan tanpa alasan, akan tetapi dasar yang cu­kup kuat. Manusia menu­rut JeanPaul-Sartre dalam Being and Nothingness, selalu memiliki naluri untuk berkuasa,baik secara politik dan ekonomi. Jika hal itu dilakukan dalam hidupnya yangsendiri, tentu tidak akan menjadi masalah. Na­mun jika hasrat seperti itudipertahankan dalam suatu komunitas manusia yang besar, maka akan mencip­takanchaos. Dalam situasi inilah hukum hadir dengan peranan menciptakan situ­asikondusif mewujudkan cita-cita hukum.  

Mengawinkan antara pe­negakanhukum dan kese­jahteraan perlu dipandang secara bijaksana jika ke­mudian masihdianggap debatabel. Kesejahteraan selalu dipisahkan hanya untuk urusan ekonomise­dikitnya masuk ke ruang politik. Sedangkan hukum tidak terlepas darianggapan sebagai pengendali segala sesuatu termasuk urusan ekonomi dan politik.Se­hingga hukum dipandang sebagai wadah menam­pung teks-teks kaku tanpa adasikap intrupsi. 

Padahal kesejahteraan yang diban­gun melalui pikiran politikdan ekonomi itu, berangkat dari kehidupan yang sama dengan hukum, yaitu kehi­dupanmasyarakat. Tidak perlu risau, kita maknai saja kalimat Charlesh Richmempertemukan hubungan antara hukum dan kesejah­teraan. Hukum, bagi Rich,diperlukan untuk melihat masalah dengan jelas , un­tuk memberikan bimbin­gan,dan untuk memperkuat niat baik dari kesejahteraan itu. 

Dalam era Globalisasi setiapnegara membuka keran berperan aktif dalam kerja-kerja internasional secaraluas. Untuk menga­tasi segala kemungkinan yang terjadi, menggugah nuraniMohammad Hatta memberikan padangan op­timis melalui tangan Pa­nitia PerancangPeraturan Hukum Dasar pemerintah mempunyai peranan lebih terhadap nasib masyara­katnyamelalui penegakan hukum yang mementingkan terwujudnya cita-cita hu­kum daripada kepentingan individu, kelompok mau­pun golongan. 

Sumber: Sulteng Raya, Opini, Edisi 27 Februari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun