Seiring berkembangnyaglobalisasi, selaras dengan pernyataan World Bank 2014 bahwa Indonesia maÂsukdalam klasifikasi 10 besar setuasi ekonomi lebih mencuat. Kita tidak perlumemandang lirih masa deÂpan. Kita masih punya legiÂtimasi deklarasi stokholm1976 sebagai paru-paru dunia. Ini artinya negara kita bisa jadi sumber hidupnegara-negara lain.Â
BagaiÂmana tidak, kira-kira 60 % hidup kita dikendalikanoleh orang asing. Orang lokal hanya sedikit. Bahkan jadi pelengkap untuk 100%formalitas ekonomi. Tidak heran kalau masyarakat miskin sekitar perusahaanhidup bergantung pada kebijaksanaan mereka. Tapi kali ini kita bisa bernafaslega ketika statment pimpiÂnan negara menjadi viral di media sosial. Jangansenang dulu, ini untuk siapa, lalu bagaimana untuk kita, kalau menendangnantinya diÂganti dengan apa.Â
Secara kontekstual, perluÂnyakita membuka mata dan pikiran tentang penegakan hukum, siapakah nantinya akanmenang, apakah kapiÂtalis ataukah sosialis? Meski Francis Fukuyama berkatakemenangan selalu diraih kapitalisme. Tapi, tidak mungkin. Pucuk pemerinÂtahhari cenderung plintat-plintut meletakkan model karakter hukum negara. Kadangdemokrasi, kadang sosialis, kadang kapital, kadang tak punya kata-kata untukitu.Â
SUPREMASI HUKUM MENUJU KESEJAHÂTERAAN,SEKEDAR WACANA.Â
Pada hakikatnya hukum lahirbukan tanpa alasan, akan tetapi dasar yang cuÂkup kuat. Manusia menuÂrut JeanPaul-Sartre dalam Being and Nothingness, selalu memiliki naluri untuk berkuasa,baik secara politik dan ekonomi. Jika hal itu dilakukan dalam hidupnya yangsendiri, tentu tidak akan menjadi masalah. NaÂmun jika hasrat seperti itudipertahankan dalam suatu komunitas manusia yang besar, maka akan mencipÂtakanchaos. Dalam situasi inilah hukum hadir dengan peranan menciptakan situÂasikondusif mewujudkan cita-cita hukum. Â
Mengawinkan antara peÂnegakanhukum dan keseÂjahteraan perlu dipandang secara bijaksana jika keÂmudian masihdianggap debatabel. Kesejahteraan selalu dipisahkan hanya untuk urusan ekonomiseÂdikitnya masuk ke ruang politik. Sedangkan hukum tidak terlepas darianggapan sebagai pengendali segala sesuatu termasuk urusan ekonomi dan politik.SeÂhingga hukum dipandang sebagai wadah menamÂpung teks-teks kaku tanpa adasikap intrupsi.Â
Padahal kesejahteraan yang dibanÂgun melalui pikiran politikdan ekonomi itu, berangkat dari kehidupan yang sama dengan hukum, yaitu kehiÂdupanmasyarakat. Tidak perlu risau, kita maknai saja kalimat Charlesh Richmempertemukan hubungan antara hukum dan kesejahÂteraan. Hukum, bagi Rich,diperlukan untuk melihat masalah dengan jelas , unÂtuk memberikan bimbinÂgan,dan untuk memperkuat niat baik dari kesejahteraan itu.Â
Dalam era Globalisasi setiapnegara membuka keran berperan aktif dalam kerja-kerja internasional secaraluas. Untuk mengaÂtasi segala kemungkinan yang terjadi, menggugah nuraniMohammad Hatta memberikan padangan opÂtimis melalui tangan PaÂnitia PerancangPeraturan Hukum Dasar pemerintah mempunyai peranan lebih terhadap nasib masyaraÂkatnyamelalui penegakan hukum yang mementingkan terwujudnya cita-cita huÂkum daripada kepentingan individu, kelompok mauÂpun golongan.Â
Sumber: Sulteng Raya, Opini, Edisi 27 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H