Mohon tunggu...
Rafila Chika Azzahra
Rafila Chika Azzahra Mohon Tunggu... Penulis - Literatus

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sendirian di Museum Prambanan

13 November 2020   19:46 Diperbarui: 13 November 2020   19:49 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Aku tipikal orang yang sulit beranjak jika sudah nyaman dengan sesuatu. Termasuk kota ini. Bandung. Jika pergi ke luar Bandung rasanya ingin sekali segera pulang. Tapi anehnya, hal itu tidak terjadi pada kota ini. Yogya. Yap, Yogyakarta. Mulai dari melihat pemandangan di pinggir jalan yang mempesona rasanya seperti jatuh cinta pada Yogya.

Singkat cerita, aku sudah berada di tujuan. Salah satu tempat idaman. Candi Prambanan. Selama diperjalanan aku terbayang-bayang akan kisah Roro Jonggrang, eh betul kan?

Ya itulah. Lalu, sesampainya di komplek Prambanan, hati ku bergetar sekali. Takjub. WOW. Seluas itu. Lalu, tiba-tiba pikiran ku melayang pada pelajaran sejarah yang kayaknya asik deh kalau aku belajar sejarah langsung ke tempatnya. Hehehe...

Rasa-rasanya aku memang anak yang gak bisa diem kalau udah ada di suatu tempat yang 'diidamkan', jadi aku coba berkelana sendiri ke setiap penjuru di komplek Prambanan. Berani? Oh tentu. (sombong, kita lihat nanti?)

Sekali lagi, aku suka sekali candi-candi nya. Sangat tertata mulai dari yang kecil hingga yang besar dan tinggi. Mengagumkan. Indonesia memang patut untuk berbangga.

Lalu, ketika aku berjalan sekitaran komplek Prambanan, aku melihat ada Museum Prambanan. Aku sangat suka sekali museum. Disana tertulis GRATIS bagi siapapun yang ingin memasukinya. Wah, membaca hal itu rasanya aku ingin segera masuk. Tanpa berpikir panjang masuklah aku kesana.

Rasanya bersyukur sekali bisa jalan-jalan di Museum nya. Sejuk, hening, dan nyaman. Sampai tiba pada salah satu ruangan disana, 

"Kok gelap yaa?" 

Aku tidak suka kalau dibuat penasaran oleh siapapun termasuk diri sendiri. Aku coba masuk ke dalam, karena disana terlihat ada bacaan-bacaan yang bisa jadi ilmu baru untukku. 

Lalu, dalam hati...

"Tapi, kok makin gelap ya?" 

Mulai tuh, keberanian ku diuji *pfftt*. Lalu, aku memaksakan diri untuk masuk dan.... Beneran Gelap. Untung diujungnya ada pintu keluar dari ruangan itu. Aku langsung lari dan segera ke luar dari salah satu ruangan museum itu. Tapi, ternyata untuk bisa keluar dari museum itu, aku harus melewati ruang museum yang satunya lagi dan tentu saja sama gelapnya.

Disitu aku mulai gemetar. Deg-degan. Bagaimana cara keluarnya ya? Aku disini sendiri. Sepi. Banyak patung-patung dan wajah dari patung itu terlihat menyeramkan (halusinasi juga mungkin wkwk)

Alhasil, karena tidak ada jalan lain dan aku gak berani juga buat balik lagi ke ruangan yang awal, jadi aku lewat rerumputan yang ada di pinggir ruangan itu untuk segera keluar dari Museum Prambanan dan untungnya tidak ada tulisan "Dilarang Menginjak Rumput" disana, hehe jadi aman. (padahal kasian juga rumputnya, hey!)

Tidak berhenti sampai disitu. Ketika aku akan keluar gerbang, aku dihadapkan pada sebuah dilema yang rasanya aku gabisa mikir. Disana menawarkan untuk menonton film asal-muasal Candi Prambanan, karena aku pikir jarang-jarang kesini, jadi alangkah baiknya (lagi-lagi) memberanikan diri untuk mencoba. Masuklah aku ke ruangan yang terpisah dari ruangan yang gelap tadi. Lalu, aku bertemu bapak-bapak dan berbincang ringan yang dengan hal itu membuat hati aku tersayat-sayat huhuu...

"Maaf pak izin bertanya perihal untuk menonton film asal-muasal Candi Prambanan itu bagaimana ya pak?" 

"Oh itu, nontonnya disini, mbak. Untuk tarifnya sendiri hanya lima ribu saja." 

"Oh iya pak. Eh tapi pak, kenapa museum nya sepi banget ya pak? Padahal diluar rame loh pak?"

"Ya memang untuk museumnya sendiri memang seringnya sepi, mbak." 

"Apakah karena minat ke museum itu rendah pak? Padahal kan disini bisa dapet penjelasan yang lebih?"

"Iyaa begitulah, mbak, setiap orang kan beda-beda. Eh, nontonnya sendiri aja, mbak?" 

"Iyaa pak."  

(Mulai tidak enak rasa, ko nanya gitu? jangan-jangan aku nontonnya sendiri, kan mana berani?) 

"Oh boleh sini saya antar." 

Diantar tuh aku ke tempat seperti bioskop mini. Ukuran ruangannya sekitar 34 meter. Disana ada layar yang yaa semuanya sudah persis seperti bioskop dengan kursi merahnya. Cukup nyaman. 

Tiba-tiba bapaknya bilang 

"Mbak, saya tutup pintunya ya?" 

"Eh pak, gak bisa dibuka aja ya pak?" 

Padahal tau tuh kalau dibuka ya filmnya mana bisa diliat ya kan? 

"Kalau dibuka yo gak bisa ditonton toh filmnya." 

"Eh iyaa ya pak." 

"Kenapa takut?" 

(Aduh kecyduk ;v) "Iya pak, hehe." 

"Ndak apa-apa. Toh diluar banyak orang juga." 

"Oh yasudah pak." 

Akhirnya, aku memutuskan untuk nonton di dekat pintu saja, hehe.

Jeng jeng jeng....

Aku duduk dan langsung mulai tuh filmnya. Suara-suara sinden dan lain-lain ditambah suasana tadi di dalam ruangan museum buat aku ngerasa makin takut. Terus sendiri lagi. (So so an emang)

Padahal mah gak ada apa-apa, kan?

Lalu, filmnya ada mungkin kurang lebih 30 menit tapi serasa 3 jam! Aku mencoba untuk menikmati dan 'memahami' yang sedikit demi sedikit bisa melunturkan rasa takut aku, yaa walaupun gak bisa dikatakan hilang yaa hehe. Lalu, sebelum filmnya rampung, aku sudah turun dari kursi dan bergegas untuk keluar sambil menonton sisa-sisa film di dekat pintu (megang gagang pintu) dan setelah filmnya benar-benar selesai, aku bergegas keluar dengan napas yang tersengal-sengal.

Setelah itu, aku menyapa orang-orang diluar ruangan film. Bersikap seakan-akan aku berani (wkwk), lantas bergegas untuk kembali ke tempat semula.

Diluar (area candi) ternyata masih ramai. Walaupun takut, tapi rasanya puaassss sekali. Ternyata, berhasil mengalahkan rasa takut yang ada dalam diri sendiri itu membanggakan, ya? Jujur, rasa takut sepertinya sudah mengalahkan separuh akal ku. Rasa takut membuat tekad ku yang asalnya penuh menjadi rapuh. Setelah diluar dan aku sadar bahwa ternyata rasa takut itu hanya ada dalam pikiran, ya? Padahal sebenarnya kita bisa melakukan apa saja.

Oh ya, perihal museum itu disana aku memang sendiri, tidak seperti Museum Geologi di Bandung yang satu ruangan ada lebih dari 5 orang, disana juga bisa hanya tidak ada yang minat. Satu-dua ada bacaan yang aku baca, film juga aku bisa mengerti jalan ceritanya ya walaupun nonton dengan jantung yang berdegup kencang. Jadi, tidak ada yang sia-sia ya disini.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penghalang yang paling kejam bukanlah rasa takut itu sendiri, melainkan kitalah yang sering menutup diri untuk tidak bersedia mengambil langkah pasti.

Begitulah kira-kira.

Silakan ambil hikmah sendiri (kalau ada wkwk)


Terima kasih telah berkunjung kesini,

bahagia selalu, ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun