Damn!
Kami bangun pukul empat. Prepare  untuk ke puncak juga cukup memakan waktu. Dingin turut menggoda untuk kembali tidur saja. Tapi untungnya rayuan bunga Edelweis lebih kuat daripada rayuan tenda.
Di perjalanan menuju puncak, satu per satu dari kami mulai berjuang untuk melawan kata menyerah. Saya tetap berada di rombongan paling depan. Bukan apa-apa. Karena kalau saya di belakang saya akan merasa perjalanan masih jauh sebab melihat teman lain sudah hampir sampai.Â
Saat berjalan, hawa dingin perlahan menyiingkir. Dan sebentar saja berhenti, dingin pun mulai mendekat.
Sekitar satu jam perjalanan kami sampai di cadas.Â
"Cadas tu nan kayak di film 5cm mah, yang inyo harus marangkak naiak ka ateh nyo. Batu se sadonyo," Bg Ruli pernah memberi tahu sebelumnya.
Menakjubkan! Dimana-mana ada orang saling bersahutan satu sama lain. Dimana-mana ada tenda. Cahaya senter di tengah kegelapan begitu indah di cadas saat itu. Ramai. Cadas Marapi sudah seperti pasar. Dan saya lupa sedang berada di gunung.Â
Â
Kaki terus menginjak tanpa tahu dengan jelas apa yang ia injak saat itu. Yang saya tahu, kaki harus tetap melangkah menuju 'bunga abadi'.Â
Melihat ke belakang, Ya Tuhan! Pemandangan Cahaya lampu Kota Bukittinggi menghilangkan penat dan kesal sisa semalam.
Â