Mohon tunggu...
DTMC Articles
DTMC Articles Mohon Tunggu... Mahasiswa - Our Vision, We Will Rise Up

Tempat kreator Decagon Twins Media menulis opini, artikel, dll. Pernah menulis opini di Kompasiana dengan akun Rafif2020. Sebelumnya artikel ini diberi nama Rafif Hamdillah Official. Tulisan sebelumnya yang pernah dibuat : https://www.kompasiana.com/rafif20206799/621ac9103179497f34707635/ada-apa-sebenarnya-di-media-sosial-kita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cermati Interval Usia Pemimpin Bangsa

17 Oktober 2023   09:47 Diperbarui: 17 Oktober 2023   09:47 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini saya kembali menulis pendapat atau opini saya terkait sebuah isu baru. Isu ini bukan tentang perang Hamas dan Israel, namun terkait persoalan negara.


Di sini saya menegaskan bahwa saya masih awam tentang politik dan hanya berbicara politik sesuai kapasitas saya sebagai pemuda. Saya mengamini bahwa generasi muda berhak berpikir kritis dan melaksanakan hak serta kewajibannya dengan tanggung jawab moral.

***

Indonesia Negara Demokrasi

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Kita mengetahui bahwa semua, atau kalaupun tidak, sebagian besar negara-negara republik menganut sistem demokrasi. Sejak SD kita diperkenalkan konsep bahwa secara sederhana demokrasi artinya pemerintahan :

  • Dari Rakyat = artinya semua yang memerintah suatu negara berasal dari rakyat
  • Oleh Rakyat = artinya rakyat memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
  • Untuk Rakyat = artinya pemerintah wajib mengatur negaranya untuk kepentingan rakyat

Faktanya, Indonesia termasuk negara dengan sistem demokrasi tidak langsung. Artinya rakyat untuk dapat ikut serta dalam menentukan kebijakan negara tidak dilakukan secara langsung melainkan melalui wakil-wakil yang telah mereka pilih dalam pemilu. Bayangkan negara yang besar memiliki rakyat yang besar dan setiap saat mereka harus datang ke ibu kota negaranya untuk bermusyawarah. Musyawarah dalam ruangan kelas saja belum tentu menghasilkan keputusan yang bisa didengar atau disetujui semua anggota, konon negara.

Jadi negara kita butuh seperangkat instrumen untuk mengatur roda pemerintahannya. Nakhodanya adalah seorang pemimpin yang diberi gelar Presiden.

Siapa yang Berhak Memimpin Bangsa?

Jawabannya adalah semua rakyat. Setiap rakyat memegang hak untuk dipilih dan memilih sesuai aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini diharapkan tidak ada monopoli oleh kelompok tertentu, misalnya hanya suku A atau partai A yang berhak memilih pemimpin. Beda halnya dengan negara agama atau negara satu partai.

Saat ini Indonesia berada dalam proses reformasi demokrasi untuk menerapkan demokrasi reformasi. Negara telah memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin idamannya sebagai bentuk kepercayaan (amanah). Meski pun semua rakyat bisa menjadi pemimpin, nyatanya ada prosedur dan kriteria yang harus ada pada calon pemimpin. Tentunya semua orang mendambakan pemimpin yang lurus dan sesuai cita-cita mereka. Persyaratan tersebut silakan dicek di naskah UUD 1945 dan dasar hukum terkait.

Di sana tidak ada kriteria eksplisit bahwa calon pemimpin harus dari suku tertentu, gender tertentu, profesi tertentu, agama tertentu, atau kriteria pembatas lainnya. Syarat yang ada mengacu pada usia minimal, kelayakan kepribadian, dan lain sebagainya.

Respons Terkait Usia Minimal Calon Pemimpin

Publik cukup digemparkan dengan wacana dan berita yang tersiar baru-baru ini (Oktober 2023). Terlepas dari sekelumit kronologinya, hasil akhir yang dikonsumsi publik adalah

Penolakan Mahkamah Konstitusi RI Terhadap Uji Materi Undang-Undang terkait Batas Usia Minimal Calon Presiden dan Wakil Presiden

Segera setelah kabar itu tersiar, muncul lagi berita lain

Mahkamah Konstitusi RI Mengabulkan Sebagian Permohonan Uji Materi terkait Batas Usia Minimal Calon Presiden dan Wakil Presiden

Menurut hemat saya (penulis), wacana ini dilatar belakangi pengajuan uji materi oleh pihak tertentu terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini mereka telah mematuhi fungsi Mahkamah Konstitusi yang memang berwenang di bidang itu. Mungkin ada kejanggalan yang mereka dapati atau dipicu situasi yang mengharuskan mereka melayangkan permohonan tersebut. 

Kita sebagai publik harus bisa mencermati kronologi dan dasar MK menetapkan penolakan dan penerimaan sebagian gugatan pihak yang bersangkutan. Setelah itu kita harus menghormati putusan yang ada, karena setiap keputusan yang keluar akan dilaksanakan sampai waktu yang tidak ditentukan. Semua itu ada dasarnya, kecuali jika hanya sekadar iseng. Tentunya ini bukan persoalan yang main-main.

Apa Substansi Keputusannya?

Dalam sebuah artikel yang penulis kutip, isi pasal yang digugat adalah 

"Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun."

--Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu--

Dalam berita tersebut disebutkan bahwa Ketua MK saat itu menilai bunyi pasal tersebut bertentangan dengan isi UUD 1945 dan tidak memiliki substansi yang mengikat. Selain itu kata hakim lain pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang inteloreable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.

   Karenanya bunyi pasal yang telah diubah menjadi,

"Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah"

Faktanya, banyak pemimpin daerah saat UU tersebut diuji yang berusia di bawah 40 tahun.

Jika diperhatikan, secara isi revisi ini seharusnya tidak menjadi masalah, bahkan menampung aspirasi yang ada.

***

Penulis merespons wacana ini dengan baik dan tentunya,

Hukum yang Ada untuk Ditaati, Kendati Masih Bisa Direvisi!

Menurut penulis, salah satu persoalan besar saat ini adalah sering kali muncul kebijakan yang disambut penolakan dari berbagai elemen. Padahal sesuatu yang ditolak bukan keseluruhan substansinya, hanya poin-poin yang dianggap fatal. Istilahnya "pasal karet" atau pelaksanaannya.

Sering kali sesuatu itu asalnya baik, namun eksekusinya salah

Cara mengkritiknya bermacam-macam, mulai dari penyampaian secara langsung hingga berkoar-koar di media sosial. Pihak yang mengkritiknya bermacam-macam pula, mulai dari pakar hingga orang awam. Bahkan yang tidak paham maksud atau konteks masalah tersebut ikut berkicau.

Sejatinya aturan hukum yang telah ditetapkan harus dipatuhi, walau bukan isi kitab suci. Selama tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan norma yang berlaku, seharusnya patuhi saja. Pada dasarnya sebuah keputusan yang lahir akan diterima semua orang untuk setiap waktu, kecuali aturan khusus untuk situasi atau objek yang khusus pula. 

Jika ada yang dianggap bermasalah, daripada berkoar-koar atau mengoceh di media sosial seharusnya sampaikan dengan jelas poin masalahnya. Dalam hal ini kebijaksanaan dan hati nurani pemerintah sangat dibutuhkan dalam menerima kritik yang ada.

Btw, konteksnya dalam hal ini setidaknya kritik terhadap putusan MK di atas sepengetahuan penulis tidak signifikan, yang ada opini atau interpretasi. Juga putusan tersebut lahir dari kritik, meskipun yang diterima hanya sebagian.

Isu Dinasti Politik

Salah satu interpretasi miring dari putusan ini adalah isu dinasti politik yang kembali diembuskan kelompok empunya mindset tertentu. Katanya putusan yang terbit dikait-kaitkan dengan isu pengusulan terhadap salah satu keluarga pemimpin untuk dinaikkan sebagai calon. Jika hal ini terjadi, keluarga yang bersangkutan dituduh pelaku nepotisme.

Penulis tidak bicara banyak soal nepotisme dan macam-macam. Penulis hanya menyatakan kurang setuju dengan isu tersebut.

Menurut penulis, isu ini sengaja disiarkan oknum orang tertentu yang berseberangan politik dengan yang bersangkutan. Penyakit tersebut telah bersarang sejak lama, bahkan keluarga yang dimaksud seringkali diserang isu yang ambigu atau "pseudosains" dalam ranah akademisi. Penulis menemukan bahwa sejak lama kelompok tertentu menyatakan dengan terang-terangan tidak menyukai pemimpin yang bukan sesuai keinginan mereka. Ada yang menilainya secara objektif, namun banyak yang dikuasai kebencian hingga mengejek. 

Penulis merasa jengkel dengan fenomena tersebut. Alih-alih menciptakan demokrasi yang sehat, justru sikap menjatuhkan orang lain seperti sudah membudaya, asalkan mereka senang. Padahal seharusnya sikap kritis dan objektif sangat diniscayakan ada dalam mindset orang Indonesia, yang sering diledek memiliki kualitas SDM yang rendah. Isu-isu politik yang ada seringkali digoreng untuk tendensi tertentu. Parahnya lagi, isu ini lebih disukai masyarakat daripada menjawab pertanyaan anak-anak tentang kenapa bumi dan langit bisa ada.

Di sisi lain, penulis juga menyayangkan dan mengecam kelompok yang memberikan dukungan. Entah apa maksud mereka, tetapi ide mereka justru mengkhawatirkan apalagi dikaitkan dengan nama baik atau kepercayaan. Padahal orang yang digadang-gadangkan tersebut baru seumur jagung mencoba memegang kekuasaan di ranah politik, sebagaimana keluarganya yang lain. Dengan diajukan langsung sebagai salah satu calon elite negara, berarti seolah-olah mereka memaksanya untuk memikul batu besar yang padahal kekuatan tangannya baru bisa untuk memikul sekarung kelapa.

Retorika yang sama mungkin juga ada untuk konteks lainnya. 

Berkaca dari Semangat Peristiwa Rengasdengklok

Adanya isu atau wacana terbaru justru membuka sudut pandang lain. 

Salah satu titik atensi dalam kasus ini adalah posisi generasi muda dalam memimpin negara. Generasi muda diberi harapan besar untuk menjadi pemimpin di masa depan. Sepanjang zaman generasi muda memang memiliki gairah yang besar untuk segera melakukan sesuatu dengan daya imajinasi dan pengetahuannya.

Sejarah telah mencatat kaum muda berpengaruh besar untuk peradaban manusia. Kita bisa membaca berapa banyak orang muda yang melahirkan penemuan-penemuan besar. Padahal mereka identik dengan psikologi yang belum stabil, sifat ego yang masih tinggi, hingga rentan dihanyut perasaan atau kondisi tertentu yang fluktuatif (termasuk soal percintaan).  Mereka bisa melakukan sesuatu yang berefek besar dengan menerobos semua gejolak yang ada.

Di Indonesia sendiri generasi muda punya pengaruh kuat. Pada masa kebangkitan nasional misalnya, kaum muda terbukti bisa menggantikan semangat kedaerahan menjadi semangat nasionalisme. Pada jelang Orde Baru berakhir, siapa sangka kelompok muda bisa menggulingkan kekuasaan yang begitu langgeng. 

kali ini penulis mengambil perspektif apa yang dilakukan generasi muda pada Peristiwa Rengasdengklok. Saat itu terjadi kesalahpahaman mengenai kapan Republik Indonesia berdiri. Golongan tua bersikukuh bahwa waktu kemerdekaan ditentukan dengan menunggu putusan Jepang.  Sementara golongan muda ingin segera memerdekakan bangsanya. Alhasil tokoh sentralnya diculik dan dinegosiasi hingga pada akhirnya aspirasi golongan muda diterima.

Di sini yang difokuskan bukan pada upaya penculikan, kudeta, apalagi sikap terburu-buru. Namun menurut penulis peristiwa ini menggambarkan bahwa generasi muda juga punya ide untuk memajukan bangsanya. Mereka punya semangat progresif dan inovatif kendati masih perlu belajar untuk bijaksana. Jika generasi muda bisa dipercaya memimpin bangsa, mengapa tidak?

Selain itu menurut penulis sudah saatnya dominasi para sepuh di pemerintahan mulai dikurangi. Pemerintahan yang ideal seharusnya diisi oleh orang yang betul-betul ahli di bidangnya, bukan sekadar umur tua atau popularitas. Hal ini misalnya bisa dilihat dari keputusan yang dikeluarkan parlemen, seringkali tidak disetujui kelompok yang mewakili profesi tertentu. Lantas, bagaimanakah seorang dengan latar belakang profesi nonlinear harus dilibatkan dalam menyusun regulasi ekonomi, jika ia dipilih hanya karena suaranya banyak? [Retorika]

Ini bukan berarti menggulingkan orang tua, karena bagaimanapun juga mereka lebih mengerti asam pahitnya. Namun golongan muda sudah saatnya dilibatkan dan dibimbing dalam memecahkan persoalan negara. Merekalah yang berhak menerima ilmu dari para sepuh yang masih kuat keilmuan dan kebijaksanaannya.

Jadi seharusnya para pemimpin bangsa betul-betul berkompeten, meskipun usianya muda. Dalam hal ini telah ditetapkan usia minimal untuk bisa memimpin :

  • Legislatif = 21 tahun
  • Daerah = 30 tahun
  • Negara = 40 tahun

Makanya MK mengesahkan revisi yang membolehkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun, yang pernah atau sedang menjabat, untuk dicalonkan.

Catatan untuk Senior yang Bakal Memimpin

Siapa pun orang muda yang bisa memimpin, harus perhatikan hal-hal berikut ini :

  • Perhatikan usia

Usia muda identik dengan jiwa yang labil. Jika ada sesuatu yang menarik, gairahnya besar. Namun jika ada masalah, terkadang emosi negatif (marah, murung, sedih, atau depresi) bisa mengalahkan akal sehat. Jadi sebaiknya sebelum memimpin bangsa kualitas fisik dan psikis serta intelektual dan spiritual harus matang agar tidak ceroboh dalam membuat keputusan. Pun jika di kemudian hari ada yang kontra, seorang pemimpin wajib mempertimbangkan kembali atau mempertahankan prinsipnya tanpa tantrum.

  • Jangan pimpin sebelum mapan

Orang muda dibebani banyak tuntutan dan persoalan pribadi, mulai dari urusan perut hingha urusan masa depan. Jadi sebaiknya ketika akan memimpin negara seseorang harus mapan (termasuk finansial) atau setidaknya cukup dalam memenuhi segala urusannya. Bagi yang masih pelajar/mahasiswa, tentunya belajar harus dikedepankan sebelum ambisi menjadi pemimpin. Bagi yang baru menikah, kebutuhan rumah tangga wajib dipenuhi. Jangan berambisi menjadi penguasa sementara rumah tangga dibebani banyak persoalan. Pun juga bagi yang sudah intermediate dalam pernikahan.

  • Ingat tanggung jawab yang besar

Hal ini sebagaimana poin sebelumnya. Tanggung jawab yang besar tidak mungkin dipikul jika mental masih serenyah kerupuk kulit.

  • Ingat moral dan norma

Moral dan norma sangat penting dipegang pemimpin. Secara ringkas, jangan biarkan orang berwatak pencuri, rakus, serakah, mudah depresi, mudah terbuai nafsu, berjiwa pelanggar, atau yang sangat ambisius memperoleh kekuasaan duduk di kursi kepemimpinan.

  • Ciptakan inovasi untuk negara

Jika kepemimpinan elite sepuh kurang berhasil memakmurkan negara, saatnya generasi muda bisa memperbaikinya dengan segala kecanggihan IPTEK saat ini. Generasi muda harus kritis dan cermat terhadap persoalan bangsanya, termasuk soal utang negara. Terobosan ide sangat dibutuhkan saat ini, dan pemimpin yang berjiwa visioner & cerdas diharapkan bisa mewujudkannya. Saatnya tinggalkan kemapanan yang tidak relevan lagi dengan zaman.

Namun bukan berarti generasi muda bisa mengubah sesuatu yang bersifat fundamental bagi negara.

  • dan lain sebagainya

Jika semua itu terpenuhi, bukan tidak mungkin sebelum berusia 40 tahun bisa menjadi pemimpin.

***

Ini Sebatas Opini!

Saya hanya menyampaikan opini menurut sudut pandang sendiri. Saya menyatakan keresahan atas fenomena yang kurang terpuji dari bangsa yang katanya besar. Namun saya juga berhak mendukung hal-hal yang masih memiliki sisi positifnya. Adapun sisi negatifnya biarlah para pakar yang menilai dan mengoreksinya.

Jangan jadi pribadi yang sok tau!

Tolong biasakan cermati dan perkuat literasi sebelum menanggapi sesuatu. Saatnya buang sikap pengoceh, pengeluh, banyak protes, ngeyel, dan hal lain yang menunjukkan kelemahan diri kita. Jangan beroceh tanpa dasar pengetahuan yang dimiliki.

Saatnya generasi muda wujudkan harapan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun