Mohon tunggu...
DTMC Articles
DTMC Articles Mohon Tunggu... Mahasiswa - Our Vision, We Will Rise Up

Tempat kreator Decagon Twins Media menulis opini, artikel, dll. Pernah menulis opini di Kompasiana dengan akun Rafif2020. Sebelumnya artikel ini diberi nama Rafif Hamdillah Official. Tulisan sebelumnya yang pernah dibuat : https://www.kompasiana.com/rafif20206799/621ac9103179497f34707635/ada-apa-sebenarnya-di-media-sosial-kita

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Mindset Subjektif dalam Menjawab Konflik Abadi

10 Oktober 2023   12:59 Diperbarui: 10 Oktober 2023   13:18 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Biasanya suatu kejadian yang viral (sedang jadi buah bibir) berlangsung sesaat (temporary). Tetapi kasus yang satu ini senantiasa menggemparkan seisi planet.

Teks opini mungkin sudah biasa. Di sini saya buka dengan bercerita ......

=======================================

Di sebuah wilayah pesisir Laut Tengah, tersebutlah negeri yang diberkati. Negeri ini seolah-olah menjadi denyut nadi peradaban manusia. Meski di tepi gurun dan laut, negeri ini bukan tanah kosong. Banyak bangsa silih berganti datang dan menetap, bahkan ada yang pernah berkuasa.

Kitab-kitab suci bilang di sanalah para utusan Tuhan menyeru warga kala itu. Nama-nama seperti Yaqub, Yusuf, Benyamin, Lewi, Musa, Harun, Daud, Sulaiman/Salomo, hingga Zakaria, Yahya,  Maryam/Maria dan Isa/Yesus. (Mereka semua diberkahi Tuhan) 

Namun spiritual warga fluktuatif, di satu masa sangat kuat imannya, namun selanjutnya berubah jadi pembangkang.  Sebagian mereka menjadi korban konspirasi.

Jangan lupa, negeri ini pernah disinggahi sosok utusan Tuhan yang universal, yang dibimbing dalam sebuah perjalanan spiritual yang dahsyat.

Singkat cerita dari negeri ini bertemu tiga agama besar yang sama-sama mendaku berasal dari wahyu Tuhan.

Padahal bapak nabi-nabinya sama!

====================================

Kita bicara negeri yang sempat dikuasai beberapa peradaban besar. Ada Kerajaan Israel (termasuk era King Daud & Sulaiman) hingga peradaban Romawi dan Muslim. Saya masih belum mengetahui semua detail sejarah panjang itu. Namun dari sana ada benang merah dari isi artikel ini.

Sebuah Konflik Abadi

Di satu sisi, sejarah seperti yang diceritakan di atas tidak menjadi masalah. Justru ia menjadikan negeri yang dimaksud itu istimewa. Tapi alur sejarah berikutnya menjadi konflik tanpa batas, terutama sejak abad ke-20 Masehi.

Saya membaca puluhan komentar warganet dan artikel tentang isu yang sangat panas ini. Dari sana diketahui akar masalahnya adalah soal

INI TANAH SIAPA?

Masyarakat Arab dan komunitas lain telah mendiami tanah itu di abad modern. Sementara komunitas Yahudi, baik orang asli mau pun pendatang yang diduga berasal dari daerah tragedi Holocaust merasa pulang kampung dan mendirikan negara sendiri. Keduanya punya alasannya sendiri sehingga tidak berkompromi dan bertikai. Pertikaian panas telah menetaskan ribuan roh dari jasad mereka, baik yang memegang senjata mau pun yang hanya sekadar bertanya, "Ada apa ini?"

Sedikit catatan, beberapa menilai konflik ini bukan didasarkan agama. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa konflik lain : Perang Yugoslavia di akhir abad ke-20 (hingga memicu deklarasi kemerdekaan sepihak dari bekas provinsi Serbia),  dll. Ya ada juga konflik yang memang didasarkan perbedaan agama.

Alasan seperti di atas kembali digaungkan oleh jutaan komunitas yang bahkan tidak ada di daerah konflik. Saat dunia maya terbit, jutaaan pesan membanjirinya, seolah-seolah juga ikut berperang. Akibatnya muncul dua kubu arus utama dalam hal ini, saya kasih nama sesuai warna :

Kubu Putih-Hitam

Mereka mengaku ikut merasakan penderitaan yang sama seperti masyarakat yang "terjajah". Setiap tahunnya hampir tiada henti dukungan kata dan sekardus barang dikirim ke negeri yang butuh uluran bantuan mereka. Emosi mereka semakin meningkat tatkala disuguhi rekaman berupa : hancurnya rumah, pakaian yang berlumpur merah, orang yang terbaring di atas troli, gumpalan asap yang membubung melangit, dan lain-lain, setiap hari.

Namun faktanya tidak semua orang tergerak membantu langsung. Ada yang menyerukan pembelaan, namun masih sebatas di media. Sebagian mereka memang tergugah untuk membantu langsung, apalah daya dibatasi finansial dan jarak. Sebagian lain masih sekadar bersuara karena tergugah, tanpa memberikan apa-apa untuk menolong. Termasuk juga opini  bahwa isu ini dimanfaatkan dalam kepentingan tertentu (termasuk politik). Karenanya, impian kubu ini masih jauh dari terwujud. Perang tetap ada, doa masih terkirim, korban tetap banyak.

Padahal kekuatan mereka besar.

Bahkan pejabat organisasi-organisasi yang diharapkan andilnya untuk bisa membantu lebih, terkesan masih duduk di atas kursi putar.

Saya menemukan komentar cerdas yang bisa disimpulkan bahwa negara yang didukung Kubu Putih-Hitam harus diberi bantuan termasuk teknologi. Saya menilai ada benarnya. Seharusnya berbagai negara bisa bersatu dan membentuk aliansi besar yang membantu saudaranya yang setiap hari diberi hidangan bunyi sirene dan timah runcing. Bantuan tersebut bisa berupa moral, makanan, kebutuhan hidup, pelayanan kesehatan tersertifikasi, pendidikan, teknologi canggih, dana untuk membuat arsitektur kebal peluru, dan lain-lain. Inovasi ini bisa menjadi cara baru agar negara saudara itu bisa bangkit.

(Jangan anggap ini merendahkan. Silakan cek sendiri kemajuan negara saudara tersebut saat ini, minimal kebun stroberi yang ranum)

Organisasi Elite Dunia, termasuk Dunia Muslim, harus bentuk aliansi dengan kekuatan masif

//////

Kubu Putih-Biru

Secara subjektif (berdasarkan satu sudut pandang) saya menemukan kejanggalan di kubu ini. Padahal pihak yang didukung melancarkan agresi berdarah, seolah-olah hukum internasional dan  HAM hanya kertas tisu yang melayang. Namun pada aksi yang dilancarkan "musuhnya" baru-baru ini, kubu ini justru mengatakan bahwa "negara" yang diserangnya teraniaya.

Memang ada video yang menayangkan warga sana yang berlarian panik. Bahkan ada korban jiwa. Namun janggalnya, hal sebatas ini disebut teraniaya.

Padahal serangan yang dialamatkan kepada negeri itu masih "normal" dibandingkan agresi yang berdarah-darah dari negeri yang dilempar timah runcing itu!

Bahkan negara-negara besar mengecam serangan tersebut dengan label aksi teroris. 

Kalau di dunia ini adab tidak ada, maka orang yang geram dengan tingkah seperti ini "sangat berang" bak menepuk meja sampai patah dan mereka melancarkan respons sangat menohok. Hingga anarkis.

Ada pun dalil yang biasa mereka pakai di antaranya : bangsa yang didukungnya telah lebih dulu menetap, hanya saja pada suatu momen dihalau; bangsa tetangga pendatang; sejarah Bait-Bait Suci dan Kerajaan Israel [butuh koreksi]; janji kedatangan mesias; dan lain-lain.

***

Bisakah Kita Melihat Realitas?

Permasalahan ini dinilai secara subjektif, walau pun membawa dalil-dalil sejarah dan kitab suci. Sebagian menuding ada fakta yang diputar balikkan, bahwasanya berdirinya sesuatu yang sedang agresi itu disokong oknum negara adidaya, dan lain-lain. Kesimpang siuran semakin tidak jelas dengan kenyataan bahwa kebanyakan yang bertikai di dunia maya tidak berada langsung di medan konflik. 

TIDAK BERADA LANGSUNG DI SANA

Jangankan yang tidak menetap langsung, orang yang masuk medan konflik saja juga memiliki pemahaman dan mindset yang berbeda. Di kasus lain juga seperti itu. Jika boleh saya katakan, di beberapa kasus relokasi atau konflik tanah misalnya, warga setempat merasa tanahnya digusur atau diambil , terlepas dari tujuan sebenarnya yang dilakukan para"pendatang"  atau yang dinilai "pengusik" itu. Akhirnya muncul perasaan tidak terima, merasa dianiaya, merasa terzalimi, dan lain-lain sebagai respons untuk mempertahankan sesuatu yang dimilikinya.

Adakah yang memiliki mindset merasa biasa saja saat terjadi kasus yang mirip?

Sama dengan kasus pelemparan misil oleh pihak yang berdekade-dekade digerogoti hak kemanusiaannya. Bisa saja hal tersebut dilancarkan dengan latar belakang perasaan atau respons bahwa rumahnya dirusak dan dihalau oleh tetangganya. Pihak tersebut menilai ada kesempatan untuk mencoba merebut kembali yang sudah direnggut. Namun jatuhnya misil kemudian menimbulkan respons terbalik dengan narasi-narasi "teraniaya" dan sebagainya.

Sebenarnya masih banyak yang bisa ditulis tentang ini. Barangkali banyak yang juga ikut bersuara. Tetapi yang perlu dicatat,

Orang mana pun, yang masih terawat hati nuraninya, tidak rela dianiaya dan direnggut hak kemanusiaannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun