Saat ini adalah zaman mewabahnya berita bohong (hoaks). Berita-berita tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga tidak lagi bisa dibedakan kebenarannya. Banyak berita yang menjadi sasaran hoaks ini, terutama berita politik dan hiburan. Apalagi di saat mendekati musim pesta demokrasi, banyak ditemukan berita miring yang menyudutkan masing-masing paslon. Sejumlah isu yang usang kembali diungkit, mulai dari kesalahan pemerintah, ujaran kebencian, diskriminasi sosial, sampai fanatisme. Jika terus dibiarkan akan berdampak pada hilangnya kesadaran persatuan dan kesatuan.
Masih banyak ditemukan masyarakat awam yang minim literasi tetapi pintar dalam beropini. Di media sosial, banyak konten berupa video pendek yang menarasikan isu-isu yang tidak valid tetapi seakan benar. Video yang aktual sekalipun sering diambil sebagian cuplikan dan mengabaikan isi yang sebetulnya bisa mengklarifikasi cuplikan tersebut. Mereka --terutama generasi muda- lebih suka dengan konten-konten berbau pedas tetapi viral daripada yang bersifat inspiratif. Seharusnya sebagai manusia yang berintelektual baik tentu mencermati apapun berita yang didapat, bukan justru mempercayai dan menyebarkannya pada orang lain. Kita juga perlu paham adanya UU Informasi dan Telekomunikasi Elektronik (ITE) yang membatasi konten-konten tertentu yang berpotensi menyesatkan publik.
Sebagai dampak dari minimnya literasi menimbulkan munculnya persepsi-persepsi yang menimbulkan kontroversi. Banyak orang yang tidak cakap pemahamannya tetapi ikut-ikutan berkomentar tentang suatu opini. Berbagai fitnah, kedengkian, penyesatan, ujaran kebencian, loyalitas rendah, dan hilangnya kode etik menjadi umpan bagi provokator untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap berseberangan.
Pemerintah seringkali dijadikan sasaran luapan emosi rakyat yang terpengaruh dengan hal-hal politis, namun tidak tahu pihak mana yang menjadi dalang dari beragam kontroversi. Penulis berasumsi bahwa anggapan ketimpangan demokrasi yang lebih buruk justru terjadi di masa pemerintahan presiden Joko Widodo selama 2 periode. Sebagai gambaran, demokrasi di Indonesia sekarang berada di peringkat ke-54 dunia dengan skor 6,71. Hal ini jelas membuat negara kita masih menyandang status negara demokrasi cacat (flawed democracy) versi EIU.
"Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini, sekali lagi polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia. Memang tidak semua seperti itu. Saya melihat mayoritas masyarakat juga sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut. Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani kita semua, nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik."
-Presiden Joko Widodo, dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2023-
4.Polarisasi dan fanatisme politik
Musim pesta demokrasi Pemilihan Umum 2024 menjadi salah satu fenomena yang memungkinkan untuk terjadinya polarisasi dan fanatisme politik bagi rakyat. Sangat memprihatinkan, mengingat pemilu yang seharusnya disambut dengan kegembiraan karena akan menentukan regenerasi pemimpin nyatanya dijadikan sarana perpecahbelahan rakyat. Kita sudah tahu, saat ini akan dideklarasikan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden (tidak perlu disebutkan nama-namanya). Tetapi yang menjadi konsen utamanya adalah mengapa masih terulang kekacauan pada pemilu-pemilu sebelumnya? Hampir setiap periode pemilu diangkat isu-isu yang memanas tetapi sama sekali tidak membangun mentalitas rakyat. Sebagai gambaran, pada pilpres 2004 terjadi desakan pembatalan hasil penghitungan suara dari beberapa pihak. Pada pilpres 2009 masih terjadi kontroversi yang serupa. Kemudian pada pilpres 2014 terkuak isu-isu politik identitas. Pada pilpres 2019 banyak kasus ujaran kebencian. Teranyar, pemilu 2024 belum digelar sudah banyak aksi saling melempar tudingan dan fanatisme dukungan terhadap kubu masing-masing calon.
Aneh, fanatisme sudah terjadi saat calon pemimpin belum pasti
Menurut sudut pandang penulis seharusnya polarisasi seperti ini tidak terjadi lantaran hanya merusak nilai-nilai pesta demokrasi. Padahal inti dari pemilu itu bukan melihat siapa pemimpinnya, tetapi apa yang akan dilakukannya untuk rakyat. Seringkali terdengar gaungan kampanye dari rakyat untuk rakyat yang hanya berfokus pada pemberian solusi secara insentif terhadap persoalan rakyat tetapi bukan berfokus pada evaluasi dan penataan bangsa Indonesia ke depan.
"Siapapun pemimpinnya akan dibebankan moralitas yang sama, tanggung jawab yang sama, dan tujuan yang sama. Gitu aja kok repot?"