Mohon tunggu...
DTMC Articles
DTMC Articles Mohon Tunggu... Mahasiswa - Our Vision, We Will Rise Up

Tempat kreator Decagon Twins Media menulis opini, artikel, dll. Pernah menulis opini di Kompasiana dengan akun Rafif2020. Sebelumnya artikel ini diberi nama Rafif Hamdillah Official. Tulisan sebelumnya yang pernah dibuat : https://www.kompasiana.com/rafif20206799/621ac9103179497f34707635/ada-apa-sebenarnya-di-media-sosial-kita

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemerosotan Bangsa Indonesia: Mau Sampai Kapan?

4 Oktober 2023   15:26 Diperbarui: 4 Oktober 2023   15:26 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pertama puji syukur ke hadirat Tuhan YME beserta nabi-Nya.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan artikel ini, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kekeliruan ataupun ketidaksepahaman. Namun ini harus dibahas agar dapat dievaluasi di masa mendatang.

Sebagaimana yang telah diketahui publik bahwasanya pemerintah Indonesia telah mencanangkan program Indonesia Emas 2045 pada 15 Juni lalu di gedung Teater Jakarta. Program tersebut berbentuk RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional). Sudah menjadi kewajiban bagi bangsa Indonesia mengupayakan agar Indonesia Emas 2045 tersebut dapat diraih. Salah satu indikatornya adalah berubahnya status Indonesia dari middle-upper income country (negara berpendapatan menengah atas) menjadi high income country (negara berpendapatan tinggi). Sebagai acuan, pendapatan per-kapita yang standar bagi negara maju adalah USD11.906 pada tahun 2023, sedangkan pendapatan per-kapita Indonesia pada 2022 silam baru berkisar USD4.580. Artinya, agar bisa menjadi negara maju dan mengacu pada standardisasi saat dibutuhkan minimal 2-3 kali lipat dalam rentang waktu 20 tahun ke depan.

Presiden Republik Indonesia .--Ir. H. Joko Widodo- telah menegaskan dalam berbagai kesempatan bahwa Indonesia Emas 2045 bisa terjadi apabila telah mencapai bonus demografi (penduduk Indonesia didominasi oleh pemuda) yang saat ini mencapai 68,3%. Indonesia hanya butuh waktu 10-13 tahun untuk memanfaatkan bonus demografi, sebab hanya ada satu kali kesempatan tersebut dalam sejarah peradaban suatu negara. Begitu banyak negara-negara yang sebetulnya mencapai bonus demografi tersebut tetapi dikarenakan overpopulasi dan rusaknya tatanan ekonomi berakibat runtuhnya negara-negara tersebut. Indonesia seharusnya bisa berkaca dari negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang yang terbukti berhasil memanfaatkan momen tersebut.

Tetapi realitasnya cukup berat bagi bangsa Indonesia untuk terlepas dari jebakan titel negara berkembang menjadi negara maju. Sejumlah persoalan di negeri ini belum pernah usai, mulai dari persoalan ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, demografi, dan lainnya. Persoalan-persoalan tersebut muncul karena berbagai sebab, entah karena faktor internal (kemiskinan, segragasi sosial, konflik dalam negeri, KKN, merosotnya mentalitas, dan lain-lain) ataupun faktor eksternal (ideologi asing, pengaruh globalisasi, ancaman, Hal ini berisiko menghambat perkembangan Indonesia ke depan.

Teranyar, bangsa Indonesia akan memasuki musim politik tahun 2024 mendatang. Artinya 275 juta rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi lustruman tersebut. Mereka memiliki hak untuk memilih sendiri pemimpin mereka (presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Pesta demokrasi seharusnya disambut dengan meriah. Namun seperti biasanya, pesta ini dirusak dengan adanya polarisasi dan persepsi yang terus disuarakan dari waktu ke waktu.

Kebiasaan yang Menjengkelkan dan Masih Belum Dewasa  

Penulis ingin mengungkapkan sejumlah faktor yang membuat mentalitas bangsa ini merosot. Ini didasarkan pada evaluasi terhadap dinamika yang berkembang saat ini. Diterima atau tidaknya editorial ini silakan ditanggapi sendiri.

***

FAKTOR MEROSOTNYA MENTALITAS BANGSA INDONESIA

1.Rendahnya tingkat kepercayaan publik

Dinamika demokrasi yang ada di Indonesia seharusnya bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Tetapi faktanya seringkali ditemukan berbagai ketimpangan yang dirasakan publik, baik rakyat maupun pemerintah. Pemerintah sering menjadi tempat pelampiasan kekecewaan rakyat dalam berbagai kebijakannya yang dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Mulai dari pemerintahan yang dianggap oligarkis, isu-isu HAM yang belum dituntaskan, mewabahnya budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), gugatan terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan (Perppu Ciptaker, minerba, kesehatan, dll), janji-janji semasa kampanye, rusaknya tatanan ekonomi, dan lainnya. Seharusnya ini menjadi perhatian utama bagi pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya sehingga tingkat kepercayaan publik bisa naik. Sebagai perbandingan, tingkat kepercayaan publik tertinggi didominasi oleh TNI dan Presiden (kisaran 80%) sedangkan terendah didominasi oleh parlemen dan partai politik (kisaran 50%). Namun angka ini akan naik-turun tergantung pada bagaimana cara pemerintah menyikapi kebijakannya kepada publik.

Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga menjadi sorotan utama rakyat. Para penguasa terkesan melegalkan praktik KKN terlepas siapapun oknumnya. Yang lebih memprihatinkan, maraknya KKN justru lebih pesat pascareformasi, apalagi meningkatnya kapitalisasi di dalam maupun luar negeri. Pendapatan rakyat dan negara yang sudah dialokasikan sedemikian rupa kepada sejumlah pihak --sebagiannya- dikorupsi oleh segelintir orang. Tak heran jika koruptor bisa merugikan keuangan negara hingga triliunan Rupiah.

Rasa antipemerintah dari sebagian rakyat juga terjadi karena lemahnya penegakan dan pengawasan hukum. Ibarat kata 'tumpul ke atas, tajam ke bawah' dipraktikkan di negeri sendiri. Kita bisa berkaca dari kasus Ferdy Sambo yang terdakwa pembunuhan berencana terhadap brigadir Yosua pada pertengahan 2022 lalu. Secara yuridis, ia seharusnya dijerat hukuman mati, namun dalam proses persidangan terjadi reduksi masa penahanan, begitupun tersangka lainnya. Berbeda halnya dengan kasus nenek Minah yang terjadi pada 2009 silam. Hanya berawal dari tiga butir kakao yang diambil, ia sampai dituntut oleh pemiliknya ke ranah kepolisian. Bahkan sampai dikenakan hukuman 1 bulan 15 hari penjara. Belum lagi bicara soal tragedi stadion Kanjuruhan, Jawa Timur yang menewaskan setidaknya 183 orang pada 2022 lalu. Sejumlah pihak mempertanyakan keadilan hukum, baik terhadap korban, pelaku, maupun panitia liga sepak bola tersebut. Artinya, penegakan hukum di Indonesia masih belum sesuai dengan kehendak rakyat.

2.Luka lama yang tak hilang

Mentalitas yang selama ini dibangun keras oleh para pendiri bangsa nampaknya tidak membuahkan hasil. Bagi sebagian rakyat mungkin memiliki kesan buruk terhadap dinamika bangsa dikarenakan romantisme di masa lalu. Berawal dari kesalahan pemerintahan orde lama dalam pencetusan demokrasi terpimpin yang penuh ambisi, tetapi mengakibatkan hilangnya kesejahteraan rakyat. Pada tahun 1960-an perekonomian Indonesia sempat ambruk bahkan tingkat inflasinya di atas 250%. Selain itu sering munculnya konfrontasi, pemberontakan, perlawanan, bahkan berujung dengan tragedi reformasi pada 1998 yang dipicu atas kemarahan rakyat terhadap kesewenangan pemerintah yang berkuasa kala itu. Sebagai contoh, insiden pemberontakan PRRI yang berdalih tuntutan atas hak otonomi daerah menjadi sebab utama rendahnya kepercayaan rakyat (terutama wilayah Sumatra dan Sulawesi) kepada pemerintah yang berbau sukarnoisme. Sebaliknya, adanya pengaruh sentralisasi orde lama menjadi sebab utama terjadinya gerakan reformasi.

"Kita jangan melupakan sejarah-sejarah yang pernah terjadi pada zaman lalu tetapi jangan berlarut-larut dalam penderitaan yang berkepanjangan."

Tak hanya sampai di situ, rakyat juga merasakan ketidakadilan dari sejumlah isu HAM. Berbagai tragedi kemanusiaan seperti tragedi pembantaian tertuduh PKI 1966, pembunuhan Marsinah, pembunuhan Munir, peristiwa Tanjungpriok, peristiwa di Aceh, teror Bali 2002, dan lainnya tak kunjung diselesaikan sepenuhnya. Padahal pemerintah pun sudah beberapa kali mengupayakan penyelesaian kasus HAM baik secara yuridis maupun non-yuridis.

3.Minimnya literasi dan kesadaran publik

Tidak hanya pemerintah saja yang patut disalahkan terkait kemerosotan mentalitas, melainkan juga rakyatnya. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara terus memantau berbagai kebijakan dari pemerintah. Namun setiap kebijakan yang dikeluarkan pasti selalu ada spekulasi-spekulasi yang membingungkan. Kita lihat pada saat ini, sebagian masyarakat cenderung menerima informasi mentah tanpa memverifikasi atau mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Sebuah berita disiarkan oleh lembaga penyiaran resmi, tetapi kemudian diolah menjadi konten dan dibumbui oleh narasi dan diksi sehingga menjadikannya viral. Para media seharusnya menjadi corong bagi pemerintah untuk mengomunikasikan kebijakan kepada publik.

"Apapun kebijakan pemerintah, kesalahan terbesarnya adalah komunikasi dan publikasi."

Saat ini adalah zaman mewabahnya berita bohong (hoaks). Berita-berita tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga tidak lagi bisa dibedakan kebenarannya. Banyak berita yang menjadi sasaran hoaks ini, terutama berita politik dan hiburan. Apalagi di saat mendekati musim pesta demokrasi, banyak ditemukan berita miring yang menyudutkan masing-masing paslon. Sejumlah isu yang usang kembali diungkit, mulai dari kesalahan pemerintah, ujaran kebencian, diskriminasi sosial, sampai fanatisme. Jika terus dibiarkan akan berdampak pada hilangnya kesadaran persatuan dan kesatuan.

Masih banyak ditemukan masyarakat awam yang minim literasi tetapi pintar dalam beropini. Di media sosial, banyak konten berupa video pendek yang menarasikan isu-isu yang tidak valid tetapi seakan benar. Video yang aktual sekalipun sering diambil sebagian cuplikan dan mengabaikan isi yang sebetulnya bisa mengklarifikasi cuplikan tersebut. Mereka --terutama generasi muda- lebih suka dengan konten-konten berbau pedas tetapi viral daripada yang bersifat inspiratif. Seharusnya sebagai manusia yang berintelektual baik tentu mencermati apapun berita yang didapat, bukan justru mempercayai dan menyebarkannya pada orang lain. Kita juga perlu paham adanya UU Informasi dan Telekomunikasi Elektronik (ITE) yang membatasi konten-konten tertentu yang berpotensi menyesatkan publik.

Sebagai dampak dari minimnya literasi menimbulkan munculnya persepsi-persepsi yang menimbulkan kontroversi. Banyak orang yang tidak cakap pemahamannya tetapi ikut-ikutan berkomentar tentang suatu opini. Berbagai fitnah, kedengkian, penyesatan, ujaran kebencian, loyalitas rendah, dan hilangnya kode etik menjadi umpan bagi provokator untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap berseberangan.

Pemerintah seringkali dijadikan sasaran luapan emosi rakyat yang terpengaruh dengan hal-hal politis, namun tidak tahu pihak mana yang menjadi dalang dari beragam kontroversi. Penulis berasumsi bahwa anggapan ketimpangan demokrasi yang lebih buruk justru terjadi di masa pemerintahan presiden Joko Widodo selama 2 periode. Sebagai gambaran, demokrasi di Indonesia sekarang berada di peringkat ke-54 dunia dengan skor 6,71. Hal ini jelas membuat negara kita masih menyandang status negara demokrasi cacat (flawed democracy) versi EIU.

"Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini, sekali lagi polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia. Memang tidak semua seperti itu. Saya melihat mayoritas masyarakat juga sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut. Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani kita semua, nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik."

-Presiden Joko Widodo, dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2023-

4.Polarisasi dan fanatisme politik

Musim pesta demokrasi Pemilihan Umum 2024 menjadi salah satu fenomena yang memungkinkan untuk terjadinya polarisasi dan fanatisme politik bagi rakyat. Sangat memprihatinkan, mengingat pemilu yang seharusnya disambut dengan kegembiraan karena akan menentukan regenerasi pemimpin nyatanya dijadikan sarana perpecahbelahan rakyat. Kita sudah tahu, saat ini akan dideklarasikan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden (tidak perlu disebutkan nama-namanya). Tetapi yang menjadi konsen utamanya adalah mengapa masih terulang kekacauan pada pemilu-pemilu sebelumnya? Hampir setiap periode pemilu diangkat isu-isu yang memanas tetapi sama sekali tidak membangun mentalitas rakyat. Sebagai gambaran, pada pilpres 2004 terjadi desakan pembatalan hasil penghitungan suara dari beberapa pihak. Pada pilpres 2009 masih terjadi kontroversi yang serupa. Kemudian pada pilpres 2014 terkuak isu-isu politik identitas. Pada pilpres 2019 banyak kasus ujaran kebencian. Teranyar, pemilu 2024 belum digelar sudah banyak aksi saling melempar tudingan dan fanatisme dukungan terhadap kubu masing-masing calon.

Aneh, fanatisme sudah terjadi saat calon pemimpin belum pasti

Menurut sudut pandang penulis seharusnya polarisasi seperti ini tidak terjadi lantaran hanya merusak nilai-nilai pesta demokrasi. Padahal inti dari pemilu itu bukan melihat siapa pemimpinnya, tetapi apa yang akan dilakukannya untuk rakyat. Seringkali terdengar gaungan kampanye dari rakyat untuk rakyat yang hanya berfokus pada pemberian solusi secara insentif terhadap persoalan rakyat tetapi bukan berfokus pada evaluasi dan penataan bangsa Indonesia ke depan.

"Siapapun pemimpinnya akan dibebankan moralitas yang sama, tanggung jawab yang sama, dan tujuan yang sama. Gitu aja kok repot?"

5.Skeptisis terhadap demokrasi dan dinamika zaman

Belakangan demokrasi di Indonesia terombang-ambing oleh ketidakjelasan dan ketidakloyalan pemerintah maupun rakyatnya. Kita perlu berkaca, sudah seberapa banyak persepsi publik yang dirusak sehingga menimbulkan kesan skeptisis (keragu-raguan). Sudah banyak kebijakan pemerintah yang memicu persoalan bagi rakyat (dibahas pada artikel selanjutnya) tidak terlepas dari adanya komunikasi yang menimbulkan multitafsir. Teranyar, pembangunan infrastruktur dan investasi yang terus bergeliat dipahami oleh sebagian rakyat sebagai keambiguan. Sebagai contoh, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sudah resmi dicanangkan sejak 2022 lalu ternyata menimbulkan kontradiktif. Sebagian pihak menyebut pembangunan IKN tidak begitu krusial dan hanya menguras APBN negara, merusak hutan lindung dan eksploitasi sumber daya alam, menambah beban utang negara, hanya mementingkan ego pemerintah dan investor, mengabaikan masyarakat adat, dan lainnya. Padahal sudah berkali-kali disampaikan bahwa IKN termasuk program prioritas pemerintah yang berkonsep smart green city, zero carbon emission, ramah pejalan kaki, dan terpenting memadukan unsur kebhinekaan.

Skeptisis dan pesimis yang menjadi benak bagi sebagian rakyat juga berkaca pada inovasi-inovasi yang dikembangkan. Misalkan, berita pengecatan ulang pesawat kepresidenan RI yang mengeluarkan dana Rp2,1M pada 2021 diprotes beberapa tokoh publik. Alasannya saat itu negara tengah dalam krisis pandemi. Hal ini menimbulkan perspektif bahwa pengecatan tersebut tidak ada gunanya dan lebih baik diberikan untuk kebutuhan rakyat miskin. Memang betul, tetapi apa bedanya kalau dibandingkan dengan pembelian pesawat kepresidenan seharga Rp820 miliar pada masa SBY padahal kala itu ekonomi Indonesia relatif stabil?

Perspektif yang teranyar adalah pembangunan kereta cepat WHOOSH (Waktu Hemat Operasi Optimal Sistem Hebat) yang diresmikan 2 Oktober 2023 lalu. Kereta tersebut dibangun untuk menghubungkan Jakarta-Bandung, alih-alih diteruskan ke Surabaya. Mungkin sebagian masyarakat memandang tidak begitu memerlukan transportasi tersebut, apalagi dikenakan kompesasi kepada pihak KCIC. Bahkan dinilai akan mematikan peran transportasi lainnya seperti KA Argo Parahyangan. Hal ini jelas keliru sebab dengan adanya kereta cepat bukankah itu akan mempercepat mobilisasi publik dan mendorong transformasi kereta cepat di Indonesia.

Satu hal yang penulis sorot berkaitan dengan adanya sentimen anti-Tionghoa. Sentimen ini sudah ada sejak kericuhan diskriminasi pada tahun 1997-1998, bersamaan dengan krisis ekonomi. Orang Tionghoa dipandang sebagai kaum yang sengaja memonopoli ekonomi berbagai negara, termasuk Indonesia. Apalagi di zaman sekarang, pangsa perekonomian Indonesia sudah dimiliki Cina dalam berbagai sektor. Masyarakat yang bersentimen ini kemudian memandang sebagai ancaman yang dianggap membinasakan eksistensi mereka.

Penulis berasumsi bahwa kebanyakan dari kita masih nyaman dengan zona nyaman (hidup apa adanya) dan abai dengan dinamika zaman. Masih longgar rasanya setiap pagi terlepas dari hiruk-pikuk luar dengan bersantai, ngopi, dan tiduran. Padahal di luar sana mulai membutuhkan tangan-tangan kita untuk giat dan mau berinovasi. Terpikirkah bahwasanya untuk mencapai kesejahteraan rakyat salah satunya dengan bersaing secara global dan menginovasikan sesuatu yang mendatangkan income besar untuk negara? Kalau sekiranya masih menerapkan pola tradisional dan tidak mau berkembang, kesejahteraan rakyat akan tetap berjalan di tempat sampai kapanpun.

Konservatisme dalam hal pelestarian budaya dan nilai moral bagus

Namun tidak pada pemikiran

Manakah kemapanan yang perlu dipertahankan?

*****

Kelima faktor tersebut seharusnya menjadi perhatian serius, bagi pemerintah maupun rakyat. Di saat seperti inilah menjadi saat yang tepat untuk mentransformasikan negara kita. Negara ini tidak hanya membutuhkan perubahan (semua dimulai dari nol), melainkan perbaikan dan peningkatan dengan memberdayakan semua potensi negara yang sudah ada. Dengan demikian, visi Indonesia 2045 bisa dipastikan tercapai  dan Indonesia akan menjadi negara maju sesuai dengan dambaan kita bersama.

************************  

Referensi:

https://setkab.go.id/peluncuran-indonesia-emas-2045-di-djakarta-theater-kota-administrasi-jakarta-pusat-provinsi-dki-jakarta-15-juni-2023/

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/04/indonesia-naik-kelas-jadi-negara-menengah-atas-peringkat-berapa-di-asia-tenggara

https://www.kominfo.go.id/content/detail/50815/manfaatkan-peluang-bonus-demografi-dan-kepercayaan-internasional/0/berita

https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-nenek-minah--pembuka-fenomena-penerapan-restorative-justice-lt64ad8fa40c796/

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/10/05200021/akhir-perjalanan-kasus-ferdy-sambo-sang-mantan-jenderal-yang-lolos-dari

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/08/05450061/menyoal-dan-mengukur-kualitas-demokrasi-kita?page=all

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun