Tahun 2015 ini, media sosial bebas iklan dan anti kolektor data pengguna menjadi primadona di negara barat. Sebut saja Ello.
Media sosial yang didirikan oleh Paul Budnitz, seorang warga Amerika, ini mempunyai manifesto yang sangat menarik.
Dalam manifesto tersebut disebutkan bahwa di media sosial/jejaring sosial manapun pengguna adalah produk yang bisa dibeli dan dijual. Berbeda dengan Ello, media sosial ini benar-benar fokus menyediakan platform berbagi apapun (status, foto, musik, dsb).
Bagaimana Ello mendanai hidupnya?
"Sebut saja Anda adalah musisi atau band, dan Anda ingin mengelola akun lebih dari satu dari hanya satu login," ujar Budnitz. "Kami bisa menjual fitur ini $2. Fitur ini tidak untuk semua orang."
Budnitz juga mengklaim bahwa sudah ada ribuan email yang dikirimkan pengguna yang berminat membayar untuk fitur-fitur tertentu.
Selain aksi yang dilakukan oleh Paul Budnitz, pendiri Wikipedia—Jimmy Wales—juga mendirikan media sosial baru bernama TPO (The People's Operator). Tak seperti Ello, Wales menentukan pendanan TPO mirip seperti apa yang ia lakukan dengan Wikipedia yakni melalui donasi.
Isu privasi memang menjadi hal yang super sensitif di era informasi, tapi apakah isu privasi mempengaruhi netizen Indonesia? Kemungkinan tidak. Netizen Indonesia sepertinya juga belum perlu fokus ke ranah ini. Mereka hanya perlu menjadi pengguna militan produk-produk dalam negeri seperti Mindtalk dan Sebangsa, bukan menjadi pengguna militan produk-produk Barat.
Update (5/3/18): Saya mencabut penyataan di atas yang menyebut netizen Indonesia belum perlu fokus ke ranah privasi. Netizen Indonesia harus mulai fokus menjaga privasi mereka, entah saat menggunakan media sosial luar maupun dalam negeri.
Gambar utama: Foto Grafiti di Shoreditch, London oleh KylaBorg (Creative Commons)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H