Mohon tunggu...
Ramdziana F Yustitianto
Ramdziana F Yustitianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Narablog yang adiktif terhadap aktivitas membaca, menulis, dan teknologi terbuka. Punya blog pribadi di *ramdziana.wordpress.com* dan blog tentang Linux di *kabarlinux.web.id*.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Di Amerika, Isu Privasi Munculkan Media Sosial Baru

21 Agustus 2015   10:50 Diperbarui: 5 Maret 2018   12:25 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu privasi online menjadi hal yang sangat sensitif, khususnya di Amerika Serikat. Isu ini bisa muncul dari perangkat keras (smartphone, komputer pribadi, dsb) maupun dari perangkat lunak (media sosial, mesin pencari, dsb) dan bisa berbentuk komersialisasi data oleh entitas perusahaan hingga penyadapan oleh organisasi intelijen pemerintah Amerika Serikat.

Semua orang pasti sudah mengerti dengan penyadapan yang dilakukan National Security Agency (NSA) setelah Edward Snowden menjadi pembocor agenda NSA. Tapi bagaimana dengan komersialisasi data yang dilakukan perusahaan? Isu privasi inilah yang seringkali muncul melalui media sosial dan selalu kita alami.

Isu privasi pada Facebook

Salah satu media sosial atau jejaring sosial yang sensitif dengan isu seperti ini adalah Facebook. Ya, Facebook!

Media sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg ini sudah terkenal sebagai "pembocor" informasi pribadi para pengguna. Baik itu karena kelalaian pengguna sendiri maupun karena memang tujuan Facebook seperti itu.

Tiga tahun lalu (2012), Consumer Reports merilis beberapa catatan penting (saya tulis dua yang paling penting):


  • Hampir 13 juta pengguna tidak pernah meyetel privacy control, bahkan banyak pula yang tidak tahu bahwa fitur ini ada. Dan 28 persennya membagi semua hal yang mereka unggah secara publik; status, foto, data pribadi, dan lainnya.

  • Facebook mengumpulkan data-data pengguna. Facebook akan selalu mendapatkan laporan tentang semua aktivitas penggunanya seperti menge-like sesuatu, mengunggah sesuatu, mengeklik sesuatu, dll.

Catatan pertama merupakan kelalaian pengguna. Hal-hal yang pengguna bagikan secara publik bisa dipakai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di luar Facebook. Dalam kasus ini Facebook tidak salah, kesalahan ada pada para penggunanya yang tidak menyetel privacy control.

Tapi tahukah Anda bahwa catatan kedua merupakan kesalahan Facebook? Sudah menjadi rahasia umum, media sosial seperti Facebook menjual data para pengguna ke para pengiklan. Iklan-iklan hasil penjualan data biasa ditampilkan di kolom kanan dan di timeline dengan keterangan sponsored.

Bagi para pengguna yang cuek dengan hal ini mungkin merasa biasa saja dan justru diuntungkan. Karena mereka jadi tahu link atau laman Facebook yang berhubungan dengan ketertarikan mereka.

Tapi berbeda dengan pengguna yang peduli dengan privasi, mereka lebih memilih untuk menggunakan fitur Do Not Track atau memakai addons/extension anti-pelacak (anti-tracker). Yang lebih ekstrim, mereka meninggalkan Facebok dan mencari media sosial baru.

Isu privasi seperti ini tidak hanya bisa ditemukan di Facebook, tapi juga bisa ditemukan di Twitter, Google, dan yang lainnya.

Keadaan seperti itu membuat para pemerhati privasi berusaha mengembangkan media sosial yang fokus pada pengamanan privasi pengguna.

Era munculnya media sosial bebas iklan

Tahun 2015 ini, media sosial bebas iklan dan anti kolektor data pengguna menjadi primadona di negara barat. Sebut saja Ello.

Media sosial yang didirikan oleh Paul Budnitz, seorang warga Amerika, ini mempunyai manifesto yang sangat menarik.

Dalam manifesto tersebut disebutkan bahwa di media sosial/jejaring sosial manapun pengguna adalah produk yang bisa dibeli dan dijual. Berbeda dengan Ello, media sosial ini benar-benar fokus menyediakan platform berbagi apapun (status, foto, musik, dsb).

Bagaimana Ello mendanai hidupnya?

"Sebut saja Anda adalah musisi atau band, dan Anda ingin mengelola akun lebih dari satu dari hanya satu login," ujar Budnitz. "Kami bisa menjual fitur ini $2. Fitur ini tidak untuk semua orang."

Budnitz juga mengklaim bahwa sudah ada ribuan email yang dikirimkan pengguna yang berminat membayar untuk fitur-fitur tertentu.

Selain aksi yang dilakukan oleh Paul Budnitz, pendiri Wikipedia—Jimmy Wales—juga mendirikan media sosial baru bernama TPO (The People's Operator). Tak seperti Ello, Wales menentukan pendanan TPO mirip seperti apa yang ia lakukan dengan Wikipedia yakni melalui donasi.

Isu privasi memang menjadi hal yang super sensitif di era informasi, tapi apakah isu privasi mempengaruhi netizen Indonesia? Kemungkinan tidak. Netizen Indonesia sepertinya juga belum perlu fokus ke ranah ini. Mereka hanya perlu menjadi pengguna militan produk-produk dalam negeri seperti Mindtalk dan Sebangsa, bukan menjadi pengguna militan produk-produk Barat.

Update (5/3/18): Saya mencabut penyataan di atas yang menyebut netizen Indonesia belum perlu fokus ke ranah privasi. Netizen Indonesia harus mulai fokus menjaga privasi mereka, entah saat menggunakan media sosial luar maupun dalam negeri.

Gambar utama: Foto Grafiti di Shoreditch, London oleh KylaBorg (Creative Commons)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun