Mohon tunggu...
rafelrizki
rafelrizki Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Kembali

4 Desember 2024   08:32 Diperbarui: 4 Desember 2024   08:37 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah sekolah menengah pertama, saat lonceng jam istirahat berbunyi, aku pertama kali bertemu dengan Marcel. Dia kakak kelasku, seorang siswa kelas 9 yang dikenal ramah dan mudah bergaul. Sementara itu, aku masih duduk di kelas 8, menjalani masa-masa yang penuh warna.

Pertemuan awal kami sederhana. Siang itu, kantin sekolah ramai seperti biasa. Aku dan teman-temanku sedang asyik memilih makanan. Marcel, yang sedang jajan dengan teman-temannya, menyapaku dengan senyuman ringan.

Dia tersenyum kecil dan kembali berbincang dengan teman-temannya. Sapaan itu singkat, tapi cukup untuk membuatku memikirkannya sepanjang hari.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Marcel tiba-tiba mengirimiku pesan di media sosial. "Hai, aku Marcel. Kenalan, dong!" begitu isi pesannya.

Aku terkejut, tapi juga senang. Kami mulai berbincang melalui chat, saling bertukar cerita tentang sekolah, hobi, dan banyak hal lainnya. Seiring waktu, obrolan kami semakin intens, hingga suatu malam dia mengirim pesan yang membuatku terpaku.

"Aku mau ngomong sesuatu. Aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?" tulisnya.

Jantungku berdebar kencang membaca pesan itu. Aku tersenyum kecil, lalu mengetik jawaban dengan tangan gemetar. "Iya, aku mau," balasku singkat.

Sejak saat itu, kami resmi bersama. Walau awalnya terasa canggung, hubungan kami berjalan manis, penuh canda dan perhatian. Aku merasa istimewa, dan Marcel selalu tahu caranya membuatku bahagia.

 *Awal yang Manis* 

Hubungan kami dimulai dengan begitu indah. Marcel tahu caranya membuatku merasa spesial.Rasanya seperti aku adalah satu-satunya orang di dunia yang ia pedulikan.

Kami tidak pernah sekalipun bertengkar, apalagi soal hal-hal besar seperti perselingkuhan. Segalanya berjalan mulus, penuh canda tawa, dan rasa nyaman. Hubungan kami terasa seperti cerita dalam film romantis; tanpa masalah, tanpa keraguan.

Namun, kebahagiaan itu ternyata hanya bertahan selama tujuh bulan. Meskipun awalnya begitu manis, hubungan kami harus menghadapi kenyataan bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuat segalanya sempurna.

Seperti kata orang, kebahagiaan tak selalu bertahan lama. Ketika aku naik ke kelas 9 dan Marsel ke kelas 10, semuanya berubah. Kami tahu akan berpisah sekolah, dan Marcel mulai menjauh. Dia jarang mengajakku bicara, pesan-pesanku sering tidak dibalas. Hingga suatu sore, dia memutuskan hubungan kami dengan alasan yang tidak jelas.

"Maaf, aku nggak bisa terusin ini," katanya.

Aku terdiam, mencoba menahan air mata. Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menerimanya.

 *Hilang Kontak* 

Hari-hari setelah itu terasa hampa. Aku mencoba melanjutkan hidup, tapi hati ini tetap berharap Marcel akan kembali. Setelah putus, aku merasa tidak tertarik dengan lelaki manapun. Aku bahkan sempat mencoba melampiaskan perasaanku dengan beberapa orang, mencoba mengalihkan rasa sakit ini.

Namun, setiap kali aku melakukannya, ada rasa bersalah yang tak bisa diabaikan. Aku sadar itu tidak adil bagi mereka dan juga bagi diriku sendiri. Itu adalah bentuk pelarian yang hanya menambah luka, bukan menyembuhkannya.

Setelah merenung panjang, aku memutuskan untuk berhenti. Aku tak ingin menyakiti orang lain hanya karena aku sedang terluka. Aku tahu di dalam hatiku, hanya Marcel, cinta pertamaku, yang tetap kuharapkan.

Meski banyak yang berkata aku bodoh, aku tetap keras kepala. Aku memilih menunggu dia, walaupun aku sendiri tak tahu apakah dia akan kembali atau tidak.

Hari-hari setelah putus terasa hampa. Aku mencoba melanjutkan hidup, tapi hati ini tetap berharap Marcel akan kembali. Setahun berlalu tanpa kabar, namun rasa ini tak berubah.

Hingga setelah hari ulang tahunku, sesuatu yang tak terduga terjadi.Dia tiba-tiba memposting fotoku di media sosial. Hatiku berdebar melihatnya. Aku membalas postingannya dengan komentar singkat, dan dari situ, kami mulai berbicara lagi.

Harapanku kembali menyala. Perlahan, kami menjadi dekat seperti dulu, dan aku berpikir semuanya akan kembali seperti semula. Kami kembali bersama, meskipun hanya beberapa bulan saja.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu hari, dia mengirim pesan, "Aku butuh waktu buat sendiri dulu." Aku mencoba memahami dan memberi ruang, meski hati ini terasa berat. Tapi kenyataannya, alasan itu hanya kebohongan. Tak lama setelah aku menjauh, aku mendengar kabar bahwa dia telah menjalin hubungan dengan orang lain.

Rasanya seperti dikhianati untuk kedua kalinya. Aku terdiam, mencoba menerima kenyataan pahit bahwa dia telah memberikan harapan hanya untuk kembali mengecewakanku.

Hal ini terus berulang selama dua tahun. Marcel datang dan pergi sesuka hatinya, sementara aku tetap bertahan. Banyak yang mencoba mendekatiku, tapi aku menolak semuanya. "Aku cuma mau Marcel," jawabku setiap kali ada yang bertanya.

Namun, menunggu bukanlah hal yang mudah. Selama dua tahun itu, aku menghadapi banyak keraguan. Teman-teman dan keluargaku sering memintaku untuk melupakannya, tapi aku tetap keras kepala. Aku percaya bahwa cinta sejati layak diperjuangkan.

Hingga suatu hari,aku kehilangan kunci di jalan,dan aku iseng buat snapgram aku kehilangan kunci,akhirnya marcel membalas postinganku dan tidak ku sangka dia menawarkan bantuan untuk mencari kunci aku yang hilang.Dari Instragram,percakapan kami pindah ke WhatsApp.

Ketika percakapan mulai menghangat, Marsel tiba-tiba mengingatkan, "Ati-ati deket sama cowo itu." saat itu aku lagi dekat dengan cowo lain.

Aku terkejut dia ngomong seperti itu. "Kalo aja kita nggak udahan, pasti aku nggak bakal deket sama dia." balasku

Marcel terdiam sejenak sebelum menjawab, "Udah terlanjur kaya gini."

Aku membalas, "Kan bisa diperbaiki."

Dia ragu sejenak sebelum menjawab, "Perbaiki?"

"Iya, perbaiki," kataku penuh harap. Namun, aku tidak ingin ini sepihak".Aku menambahkan."Tapi aku maunya kita sama-sama mau memperbaiki, bukan cuma aku aja yang berusaha."

Marcel akhirnya menjawab, "Iya, sama-sama mau."

Saat itu, semua keraguan sirna. Kami berdua sepakat untuk memperbaiki hubungan yang sempat retak dua tahun lalu.

Hubungan kami tidak langsung berjalan mulus. Ada banyak luka yang harus disembuhkan, dan kepercayaan yang harus dibangun kembali. Namun, kali ini kami berusaha lebih keras. Kami saling mendukung dan belajar memahami satu sama lain lebih dalam.

 *Perjuangan untuk Bertahan* 

Kini, setelah semua yang kami lalui, aku dan Marcel masih bersama. Hubungan ini jauh dari sempurna, dan semua terasa berat. Kami sering ribut, sering menerapkan diam-diaman, sering cekcok dan adu mulut. Namun, di balik semua itu, kami selalu menemukan cara untuk kembali bersama. Banyak sekali rintangan yang harus kami hadapi, mulai dari perbedaan pendapat hingga tekanan dari lingkungan sekitar.

Setiap pertengkaran membawa luka baru, tetapi juga kesempatan untuk belajar dan memahami satu sama lain lebih baik. Kami belajar untuk tidak membiarkan emosi menguasai, melainkan mencari solusi bersama. Ada kalanya kami merasa lelah dan ingin menyerah, namun kenangan manis di awal hubungan kami selalu menjadi motivasi untuk terus berjuang.

Banyak teman dan keluarga yang meragukan keputusan kami untuk tetap bersama, namun kami percaya bahwa cinta sejati layak diperjuangkan. Kami belajar untuk saling mendukung dalam setiap tantangan. Kepercayaan yang sempat hilang kini kami bangun kembali dengan komunikasi yang lebih terbuka dan jujur.

Meskipun sering kali hubungan ini terasa seperti badai yang tak kunjung reda, kami tahu bahwa di balik setiap awan gelap, selalu ada cahaya yang menanti. Kami terus berusaha untuk tumbuh bersama, belajar dari kesalahan, dan menghargai setiap momen yang kami miliki. Perjuangan ini memang tidak mudah, namun kami yakin bahwa setiap tetes keringat dan air mata yang kami curahkan akan membuahkan hasil yang indah di masa depan.

Cinta kami tumbuh lebih dewasa. Aku sadar bahwa mencintai bukan hanya tentang bahagia, tapi juga tentang menerima luka dan berjuang bersama untuk sembuh. Meskipun penuh rintangan, aku percaya bahwa perjalanan ini layak diperjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun