*Sikap Indonesia Dalam Menanggapi Konflik di Uighur*
Indonesia merupakan negeri mayoritas muslim terbesar dunia, namun saat 43 negara termasuk AS mengecam China terkait isu Uighur, pemerintah Indonesia menyatakan tidak ikut serta dalam pengecaman terhadap tindakan China terkait isu Uighur di Xinjiang.
Juru bicara Kemenlu RI Teuku Faizasyah mengatakan Indonesia  tetap menyuarakan isu HAM sejalan dengan mekanisme HAM PBB, selain itu Indonesia juga menggunakan mekanisme bilateral yang ada untuk membicarakan berbagai isu yang menjadi kepedulian bersama.Menurut Faizasyah "Ini termasuk isu-isu kelompok minoritas," tandasnya.(Sumber: Republika.co.id)
*Apakah tindakan ini cukup mengingat Indonesia adalah negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ?*
Indonesia seharusnya melakukan lebih dari itu, mengingat intervensi pemerintah China untuk muslim uighur sudah diluar batas kemanusiaan.Seperti pelarangan puasa di bulan Ramadhan, pelarangan memakai jilbab, hingga mengirimkan muslim uighur di kamp-kamp konsentrasi.
Indonesia seharusnya memutuskan hubungan bilateral terhadap negara yang telah mengitimidasi muslim Uighur, apapun itu bentuknya.
Ini adalah bentuk persaudaraan dalam Islam, dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda :
"Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Dari hadis di atas ,haruslah pemerintah Indonesia bersikap demikian yaitu marah , geram ,dan gelisah mengingat muslim uighur terkekang oleh otoritas China.
Tapi yang dilakukan pemerinth malah sebaliknya, tetap bermanis muka, melenggangkan investasi China di negeri tercinta ini. Seolah penderitaan yang dialami muslim Uighur bukanlah masalah bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.
Inilah hasil dari nasional state  yang menganggap masalah bangsa lain bukanlah masalah dalam negeri suatu bangsa, meskipun itu sesama muslim.
Sikap acuhnya pemerintah juga merupakan buah dari sekulerisme yang tidak menetapkan hukum syara sebagai landasan untuk melakukan aktivitas politiknya, alhasil pemerintah tetap berjabat tangan seolah ada ketakutan jika hubungan bilateral antar negara terusik akan menghambat laju investasi.