Mohon tunggu...
Rafans Manado
Rafans Manado Mohon Tunggu... amtenar -

Aktivis ormas serta pemerhati bidang politik, pariwisata, dan kebudayaan Kota Manado,-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ragam Mata Pencaharian Hidup Non-pertanian Orang Minahasa

31 Oktober 2010   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 8844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mitos ‘Orientasi Amtenaar’ (PNS)

Dalam wacana antropologi, catatan ini masuk dalam kajian etnografi mata pencaharian hidup, di mana secara spesialisasi pengembangan kajiannya menjadi salah satu sub-disiplinnya, yakni antropologi ekonomi (ruang lingkup kajiannya mencakup ekonomi subsistensi maupun ekonomi pasar dalam konteks-konteks produksi, distribusi dan konsumsi).

Bahwa sumber mata-pencaharian orang Minahasa, selain sumber pendapatannya  dari sektor pertanian,  juga mengandalkan sumber-sumber  lain yang tersebar pada sektor-sektor formal maupun informal, seperti yang diidentifikasi  di bawah ini.

Sektor Formal, dalambidang publik/pemerintahan meliputi pegawai negeri sipil/PNS (dosen, guru, birokrat) serta menjadi abdi negara sebagai anggota TNI-POLRI.  Dan juga mereka yang kini berstatus sebagai pensiunan atau anggota veteran/LVRI. Dalam bidang swasta meliputi usaha-usaha konstruksi (pemborong), pengadaan barang, perkapalan, perikanan, peternakan dan usaha jasa yang berkaitan dengan perhotelan, restoran, salon, rental (properti, transportasi, hiburan), maupun sebagai karyawan swasta/buru (pabrik, perkantoran, pertokoan, foto copy, café/restoran).

Sektor Informal, meliputi usaha-usaha sebagai pedagang  kaki lima (rumah makan khas Minahasa), sopir, perbengkelan, pertukangan (tukang sol sepatu, reperator alat-alat elektronik, bas bangunan), penambangan emas, peternak dan usaha nelayan, tibo-tibo, calo (makelar), sopir, kondektur, buru bangunan, serta menjadi pembantu rumah tangga.

Secara umum dapat dikatakan, kehidupan ekonomi di sektor-sektor non-pertanian ini, didominasi oleh PNS maupun anggota TNI/POLRI. Sementara di sektor swasta itu sendiri, didominasi oleh pengusaha yang bergerak di bidang jasa konstruksi (kontraktor), properti (developer), media massa dan perkebunan. Khusus mengenai usaha-usaha di sektor non-pertanian yang dianggap merupakan identitas khas budaya ekonomi orang Minahasa, di mana di masing-masing pakasa’an memilikinya dapat disimak  di bawah ini.

1.  Usaha Produksi Perabot/Peralatan Rumah dan Lainnya. Seperti halnya usaha pembuatan rumah siap bangun di atas, usaha ini juga sudah menjadi identitas budaya ekonomi orang Minahasa. Dapat dikatakan ada dua lokasi tempat memproduksi pembuatan perabot rumah tangga, yaitu 1) di Desa Leilem Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa (Induk), dan 2) di Desa Toliang Oki Kecamatan Kombi/Eris Kabupaten Minahasa (Induk). Sebagaimana diketahui bahwa secara historis, sebelum memproduksi perabot atau peralatan rumahtangga, usaha ini lebih banyak memproduksi peralatan transportasi roda sapi  dan bendi (delman), di mana bahan-bahannya semua terdiri dari kayu. Kemudian seiring dengan kebutuhan pasar, akhirnya mereka menambah  ke pembuatan perabot atau peralatan rumah tangga. Ada berbagai jenis perabot atau peralatan rumah tangga, seperti tempat tidur, seperangkat kursi-meja tamu/makan, lemari pakaian, lemari makan, lemari tamu (befet), bahkan memproduksi mimbar gereja  dan fasilitas lainnya.

Dengan masuknya teknologi pertukangan (mesin gergaji, skap-vinishing), maka usaha ini dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang berarti, baik kuantitas maupun kualitas serta secara kreatifitas melakukan inovasi-inovasi disain maupun artistiknya, sehingga menghasilkan suatu karya yang tidak kalah dengan buatan dalam negeri/daerah lain (Bali dan Jepara) yang sudah lebih dahulu memproduksinya. Seperti halnya usaha pembuatan rumah siap bangun di atas, sitem manajemennya, ditangani secara perusahan (CV) maupun secara perorangan. Target pemasarannya juga demikian, ada yang memasarkan atau mendapat order dari luar juga sudah mulai ada yang mengeksport ke luar daerah.

2.  Usaha Kerajinan Keramik-Tanah Liat. Usaha ini sejak dahulu dilakukan oleh orang Pulutan Remboken dan orang Toliang-Oki Tondano. Pada mulanya usaha kerajianan ini hanya untuk pembuatan wadah yang digunakan untuk tempat bunga, dan makak (Kure), di mana bahan bakunya  dari tanah liat yang ada di sekitar deswa mereka. Sistem pemasaranya dilakukan secara nomaden, artinya dijual secara berkeliling dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan sampai di daerah Bolaang-Mongondouw. Makanya, tidak mengherankan orang Pulutan  dan Toliang-Oki ini mendapat julukan dalam dunia usaha ‘jual-jual tanah air’.

Sejak mendapat intervensi dari instansi terkait (Dinas Perindustrian) dan atas dasar kemauan pengrajin setempat untuk belajar bagaimana meningkatkan kualitasnya, maka sekarang ini tampilan kerajinan tanah liat ini semakin berbobot, baik dilihat dari aspek kekuatannya maupun variasi artistiknya (keindahan). Sementara itu, jenis-jenis kerajinan tanah liat ini tidak lagi terbatas pada pembuatan Kure, melainkan sudah berbagai jenis, antara lain guci (mulai dari ukukuran kecil, sedang sampai besar), patung, asbak, tempat telopon, tempak duduk, dsb.

Khususnya guci, tidak kalah nilai artistiknya dengan buatan cina (antik). Begitu juga dengan pemasarannya, tidak lagi seperti model nomaden, tetapi sudah dipasarkan ke tokoh-tokoh atau supermarlet tertentu. Tidak jarang pembelinya (biasanya dari kota Manado) datang sendiri ke desa tersebut.

3.  Usaha Properti Rumah Panggung. Usaha ini sudah menjadi identitas budaya ekonomi orang Minahasa yang dilakukan di setiap desa atau wanua. Biasanya di setiap desa ada orang-orang yang memiliki talenta ketrampilan sebagai tukang (bas). Apabila ada orang sekampung berkeinginan untuk membangun rumah tinggal sendiri, maka para bas melalui manejernya (kepala bas), setiap saat dapat dihubungi. Yang penting setelah tercapai kesepakatan mengenai sistem pembayaran (ongkos ‘maklun’), kepala bas yang bersangkutan segara mengkoordiner bas-bas lainnya yang ada di kampong untuk mengerjakann bangunan rumah yang dimaksud.

Tempo doeloe, dilakukan dengan menggunakan sistem mapalus. Dengan berjalannya waktu, pola pembuatan rumah-rumah panggung yang ada di masing-masing Wanua, mulai mengalami  perubahan. Sekarang ini, kelompok masyarakat yang secara umum mengenal sebagai produsen rumah siap pasang, adalah orang Tombulu, terletak di desa/kelurahan Woloan Kota Tomohon.

Hampir semua penduduk (keluarga-keluarga) di kelurahan ini, memiliki ketrampilan usaha pembuatan rumah siap pasang. Harga setiap rumah disuaikan dengan tipe rumah yang diproduksi serta variasi arsitekturnya. Mengenai sistem manajemen, selain ditangani secara perusahan (CV), ada yang masih secara perorangan.   Sementara itu, target pemasaran, di samping dipesan oleh pembeli lokal, tetapi juga mendapat pesanan dari luar daerah ini (Sulawesi Utara), seperti di beberapa daerah pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Dan Papua. Kecuali itu, dipasarkan ke maupun di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, beberapa negara Eropah, Cina, dan Australia (Kusen 1999).

4.  Usaha Kerajinan Anyaman Bambu. Usaha ini cenderung dilakukan oleh orang Tombulu. Apabila kita bepergian ke wilayah selatan Minahasa, secara kasat mata so pasti akan melewati salah satu desa/kelurahan di kota Tomohon yang bernama kelurahan Kinilow, akan ditemui sejumlah kios di pinggir jalan raya sebelah kiri yang tampak  memperagakan hasil kerajinan anyaman yang terbuat dari bambu. Jenis usaha ini, sangat bernuansa ke-Tombulu-an mengingat arti atau etimologi Tombulu (Tom=orang, Bulu=bambu). Dengan demikian, secara budaya usaha kerajian anyaman bambu ini merupakan identitas orang Minahasa pada umumnya, dan khususnya orang Tombulu.

5. Usaha Pembuatan Minuman Keras  ‘Tuak’ (Saguer- Cap-Tikus). Sebelum dikenal ekonomi uang, menyadap air tuak (saguer) dari pohon enau atau aren (seho) telah dikenal sejak tempo doeloe sebagai minuman khas orang Minahasa. Hampir semua wilayah pakasa’an di Minahasa memproduksi minuman ini. Orang Tountemboan dan Toulour menyebut Timpa, orang Tonsea Lepen, dan orang Tombulu Pehe. Pohon enau atau seho bukan tanaman yang dibudidaya, tetapi pohon ini tumbuh secara alamiah di hutan atau di kebun-kebun petani. Menurut adat orang Minahasa tempo doeloe, minuman saguer adalah minuman para dewa atau Opo/Dotu sehingga tidak diperkenankan untuk diperdagangkan. Nanti pada abad ke 18 minuman saguer sudah dapat diperdagangkan sebagai mata pencaharian tambahan petani. Kecuali minuman saguer, ditemukan juga minuman keras lainnya (mengandung alcohol), yang disebut Cap-Tikus. Minuman keras ini dibuat dari minuman saguer, di mana proses pengolahannya, ialah pertama air tuak/saguer yang sudah cukup lama (asam) ini direbus  sampai mendidih. Setelah mendidih uapnya disalurkan melalui cerobong bambu, kemudian diteteskan sampai menjadi minuman keras alias cap-tikus. Dalam kontes ekonomi, kedua jenis minuman ini ternyata memiliki nilai tambah sebagai komoditas yang patut untuk diperhitungkan.

Mengenai kegunaan air tuak saguer ini, tidak saja dimanfaatkan sebagai minuman yang sering disuguhkan  atau dikonsumsi pada acara-acara pesta di kampung-kampung atau dijual di warung-warung  dan  rumah  makan, tetapi juga dijadikan sebagai bahan baku untuk minuman captikus dan gula batu atau dibiarkan sampai asam untuk dijadikan sebagai  cuka yang dimanfaatkan kuah gohu atau rujak Manado.

Sejarah penamaan cap-tikus. Istilah cap-tikus muncul ketika pasukan mariner Belanda mulai ditempati di Manado menjelang tahun 1900 di mana pada waktu itu mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan minuman keras khas Eropa, yakni Bolls, Jenewer, dan Whisky. Hal ini bagi para pedagang Cina-Manado merupakan peluang bisnis untuk memasarkan minuman alkohol buatan pribumi Minahasa, dijual dalam bentuk botol dan diberi cap/label ‘cap-tikus’ (lihat Wenas 2007). Sejak saat itu minuman alcohol khas Miahasa dikenal dengan nama cap-tikus (warna putih bening). Kemudian dikembangkan atau diracik sedemikian rupa oleh orang Tonsea dinamai minuman Saledo yang tidak lagi berwarna putih, tapi sudah berwarna ‘kemerah-merahan’; ada juga yang meracik sendiri (kayu lawang, buah cengkeh, kayu manis, vanilla, dan janin anak rusa) yang disebut Pinaraci. Sementara itu, daerah pakasa’an yang paling terkenal memproduksi  minuman cap-tikus, selain Rurukan Tomohon/Tombulu, juga diproduksi oleh petani di kawasan Motoling. Memang harus diakui bahwa minuman cap tikus ini  sering  membawa  implikasi  sosial  yang negatif dalam konteks keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa pengaruh minuman ini terhadap mentalitas anak-anak muda sungguh sangat memprihatinkan. Tidak sedikit terjadi korban jiwa (penikaman) akibat tawuran atau perkelahian, disebabkan oleh pengaruh minuman keras ini. Dan yang sangat disesali adalah berkenaan dengan ketidaklulusan menjadi calon taruna polisi atau TNI karena gara-gara minuman alcohol ini.  Sementara itu, usaha untuk mengalihkan konsumsi minuman keras ini menjadi bahan untuk  keperluan kesehatan (alcohol) di rumah-rumah sakit, memang  pernah dilakukan, namun sejauh ini keberadaan cap-tikus cenderung masih dominan dikonsumsi sebagai minuman keras yang sehari-hari dijajakan di warung-warung yang ada di setiap desa/kelurahan di daerah ini. Bahkan secara ‘gelap’ diselundupkan ke luar MInahasa.

Sebagaimana sejarah cap-tikus yang dikemukakan di atas, sampai saat ini pihak yang mendapat keuntungan besar dari minuman cap-tikus adalah pedagang Cina-Manado, di mana jenis minuman alcohol yang bermerek ‘Kasegaran’ merupakan minuman yang laris dikonsumsi. Harganya per botol melampaui minuman bir. Padahal untuk membuat bahan bakunya cap-tikus ini memerlukan waktu yang relatif lama.

6.    Usaha Pembuatan Gula Batu. Seperti apa yang telah disinggung di atas, air tuak atau saguer yang berwarna putih kelabu, ternyata merupakan bahan baku dari pembuatan Gula Batu (Gula Aren). Dari beberapa desa di Minahasa yang memproduksi gula batu ini, boleh dikatakan desa Rurukan Tomohon merupakan pusat pembuatannya.

Kegunaan gula batu tersebut,  di samping untuk dijadikan bahan pemanis kolak ubi, kolak kacang ijo, minuman cendol, es kepala/alvokat, dan kacang goyang, juga sebagai bahan utama pembuatan berbagai jenis kue (kukis) khas Minahasa, yakni kukis cucur, kukis waji, kukis lemet, kukis apang, kukis kolombeng merah, kukis apang coe, kukis onde-onde, kukis koyabu dan kukis senegor. Oleh karena begitu banyak kegunaan dari gula batu ini, banyak dijual di pasar-pasar tradisional maupun swalayan yang ada di kota-kota.

7.     Usaha Jasa Restoran/Rumah Makan. Seperti halnya dengan usaha kerajinan anyaman bambu di atas, bahwa pada era tahun 60-an sampai tahun 70-an, apabila kita hendak ke Langoan atau sebaliknya ke Manado bertepatan waktu makan siang, maka so pasti akan mampir di restoran atau rumah makan yang berada di pinggiran jalan raya menuju Tomohon, tepatnya terletak di kawasan desa/kelurahan Tino’or. Dari berbagai kendaraan yang mampir di kawasan  rumah makan tersebut, yang masih dapat diingat adalah bus-bus penumpang bernama ‘Manguni Tulen’ merupakan langganan tetap sebagai konsumen dari rumah-rumah makan tersebut. Diinformasikan, bahwa sang sopir dan kondektur (knek), mendapat makan gratis atas kompensasinya karena telah membawa penumpang di rumah makan langganannya tersebut. Pada umumnya pengelola rumah makan di kawasan tersebut berasal dari desa Tino’or, di mana dari segi etnisitas, adalah orang Tountemboan (Sonder).

Seperti kenyataan yang ada sampai sekarang ini,  keberadaan rumah - rumah  makan   di  kawasan tersebut  masih  tetap  eksis alias tetap beroperasi. Namun sesuai dengan perkembangan jaman, pada umumnya rumah-rumah makan di kawasan tersebut, telah terjadi perubahan secara fisik, di mana kalau dahulu tiang-tiang penyangga rumah makan terbuat dari bambu, sekarang ini sudah cor beton. Berbagai jenis masakan dan minuman khas atau identitas orang Minahasa yang disajikan (disajikan juga pada pesta-pesta syukuran). Sistem penyajian pembayaran makan-minum di rumah-rumah makan khas Tino’or, berdasarkan pola prismanan, artinya semua jenis makanan diletakkan di atas meja dan bebas memilihnya, dibayar  per orang/kepala Rp.15.000. Kecuali minuman di luar air putih non kemasan, dan ada tambahan makanan seperti sate atau ikan baker pembayarannya akan ditambah.

Selain usaha rumah makan khas Minahasa di kawasan Tino’or, juga mulai marak di kota Manado munculnya usaha rumah-rumah makan khas Minahasa. Seperti di sepanjang Jl. Sam  Ratulangi, dan di kawasan Wakeke Kota Manado, banyak menjual masakan khas Tinutu’an atau bubur Manado.   Begitu juga  salah satu jenis makanan yang cukup populer di kalangan orang Tonsea adalah rumah makan yang secara khusus  menjual ikan air tawar (ikan mas dan mujair) yang dibakar maupun digoreng, dan kepala ikan yang dibakar secara pengasapan. Demikian pula dengan Sate Rage, yang terdapat  di Kawangkoan (Tountemboan) mulai ramai di datangi wisatawan.

8. Usaha Pembuatan Kacang ‘Tore’ dan Kacang Goyang. Adapun pembuatan kedua jenis usaha ini, adalah sebagai berikut:

Kacang ‘Tore’.Singkatnya usaha ini dapat dikatakan merupakan khas atau identitas budaya ekonomi orang Minahasa. Pada umumnya usaha ini dibuat oleh orang Kawangkoan (Tountemboan) yang oleh pemerintah dan masyarakat setempat menjadikan sebagai ‘Landmark’ kota Kawangkoandalam bentuk tugu yang berbentuk ‘kacang’. Sesuai dengan namanya  adalah sejenis makanan ringan yang dibuat dari kacang tanah yang dikeringkan, kemudian di masak dalam wajan goreng dengan cara menggoyang-goyang pakai sendok besar (songara) sehingga menghasilkan kacang masak  yang renyah alias ‘tore’. Pemasarannya langsung dijajakan disepanjang jalan pusat kota Kawangkoan. Pemasarannya selain tersebar di pertokoan yang ada di pusat kota Kawangkoan, juga diperdagaangkan di luar.

Kacang goyang. Seperti juga dengan usaha pembuatan kacang tore di atas,   usaha ini juga merupakan identitas budaya ekonomi orang Minahasa. Pada umumnya dibuat oleh orang Amurang (Minsel) di mana bahan bakunya terdiri dari kacang, gula aren (batu) untuk pembuatan kacang goyang berwarna merah, dan gula pasir. Baik kacang tore maupun kacang goyang, selain untuk dikonsumsi sebagaimana biasanya, tetapi juga sudah menjadi tradisi sebagai makanan ringan yang dijadikan ‘ole-ole’ ketika bepergian ke luar Minahasa (Jakarta, misalnya). Selain itu, dijual di sejumlah di pasar-pasar tradisional maupun swalayan yang ada di kota-kota.

9.    Usaha ‘Pandai Besi’. Pada  umumnya  usaha ini digeluti oleh orang Wulauan Tondano yang terkenal sebagai ‘pandai besi’ yang sejak lama membuat peralatan pertanian, sepeti membuat mata bajak, pacul dan sekop, peralatan rumahtangga, seperti aneka ragam parang (peda), termasuk membuat pedang khas orang Jepang ‘samurai’, pisau (pai), dan fasilitas lainnya seperti alas kaki kuda dsb.  Biasanya bahan baku besi diambil dari bekas-bekas ver dan chasis mobil. Sekarang ini para pandai besi mulai menggunakan material baja yg diambil dari cakram motor, khususnya untuk pembuatan parang atau pisau. Pemasarannya di pasar-pasar tradicional, dan dengan cara menjajahkannya sendiri.

10.  Usaha Jasa Konstruksi (Kontraktor). Tempo doeloe (abad 18) orang Tondano banyak memiliki ketrampilan atau kerajinan tangan, antara lain  membuat topi (capiau), tikar, tempat cerutu, kampi, tempat pinang, dan sebagainya. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, ketrampilan kerajianan ini tidak lagi dikembangkan sampai sekarang ini untuk dijadikan sebagai bagian dari aktivitas mata pencaharian hidup (lihat Graafland 1874:29-30) dalam Umboh (1985). Untuk itu, maka di kalangan orang Tondano masa kini selain bermata pencaharian sebagai petani, pegawai negeri/anggota TNI, dan pedagang, salah satu jenis usaha yang memiliki khas, adalah sebagai kontraktor alias menjadi pemborong bangunan (lihat my note sebelumnya).

11.  Usaha Penambangan Emas. Usaha di budang penambangan emas, yang disebut dengan istilah PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin, istilah yang diberikan oleh pemerintah) mulai marak sejak pasca kejayaan ‘emas coklat’ (cengkeh) pada era akhir tahun 80-an sampai tahun 90-an, banyak digumuli oleh anak-anak muda asal Minahasa. Daerah-daerah tambang seperti di kawasan Ratatotok Belang (Minahasa Tenggara), Dumoga Bolaang Mongondouw dan Likupang-Tatelu merupakan merupakan kawasan yang dijadikan sebagai garapan para penambang asal Minahasa tersebut.  Dan seperti diketahui bahwa untuk menggeluti dunia  PETI ini, tidak mengandalkan modal pendidikan formal, melainkan modal ‘nyali’ (keberanian) dan ketrampilan untuk membuat galian lubang tambang, terutama kecerdasan dalam menentukan jalur emas (rep). Istilah PETI sendiri ditolak dikenakkan keada para penambang, karena dianggap dengan istilah ini menjadi alasan aparat keamanan untuk melarang aktivitas mereka sebagai penambang.

Dalam melakukan aktivitas penambangan, dilakukan secara berkelompok, dipimpin oleh seseorang yang dinilai telah memenuhi kriteria sebagai Tona’as (memiliki kekuatan fisik, keberanian, karisma, dan sifat kepemimpinan) yang berperan untuk mengawasi sekaligus melindungi kelompoknya yang telah menguasasi satu lubang tambang yang mengandung emas (rep). Apabila sang Tona’as telah dikenal kemampuannya oleh kelompok lain sebagai ‘tuama’ yang berpengaruh, maka kelompok ini akan berhitung dua kali untuk merebut lubang yang telah dikuasainya.

Untuk itu, selain menyiapkan peralatan tambang (pacul, sekop, dan pakowel), juga dipunggung penambang terselip pedang ‘samurai’, atau menyiapkan tombak dan ‘panah wayer’ sebagai senjata yang digunakan dalam menghadapi ancaman dari kelompok lain yang sewaktu-waktu datang menyerang untuk merebut tambang tersebut. Tidak jarang, dalam upaya untuk merebut maupun untuk mempertahankan lubang tambang, terjadi konflik fisik (baku-skerem) antar kelompok yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa.  Boleh dikatakan budaya kekerasan yang berkembang di kalangan generasi muda orang Minahasa, keberadaannya sudah terkonstruksi secara sosial melalui dunia penambangan tersebut.  Setelah pemerintah setempat melalui aparat keamanan (POLRI dan TNI) mengobrak-abrik kawasan-kawasan penambangan emas tersebut, maka kegiatan-kegiatan PETI yang sering membawa implikasi ‘kekerasan’ berangsur-angsur mulai mengurang.

Invasi penambangan ke luar daerah. Pertengahan tahun 2000-an, ternyata usaha penambangan emas yang sebelumnya dilakukan di kawasan Minahasa, tapi sudah menyebar (invasi) ke luar daerah, yakni ke daerah Sulawesi Tengah dan Tenggara serta di Papua. Pada umumnya dilakukan oleh ank-anak muda yang berasal dari Tompaso Baru.

12.  Usaha Salon Kecantikan Boleh dibilang usaha ini sudah dilakukan oleh perempuan Minahasa sejak tahun 50-an, yang dikenal dengan nama usaha ’tempat krol/kriting rambut’. Disebut tempat kriting rambut, karena memang pada waktu itu usaha ini hanya melayani konsumen (pada umumnya perempuan) yang akan mengeritingkan rambutnya. Alat untuk mengeriting rambut belum menggunakan alat elektonik, melainkan secara manual menggunakan bara api  tempurung kelapa untuk memanaskan alat penjepit - pembuat kriting rambut.

Seiring dengan berjalannya waktu, usaha salon kecantikan ini semakin berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas. Usaha ini sudah menyebar ke berbagai daerah perkotaan dan pedesaan. Bahkan ada yang menjajah usaha ini secara berkeliling menggunakan kendaraan sepeda motor. Begitu juga variasi usaha kapsalon, tidak lagi semata-mata menata rambut, tapi ditambah dengan  yang bernuansa kesehatan tubuh, antara lain spa, lulur, refleksi telapak kaki + bersih-bersih kuku, dan massage tradisional/perawatan. Dan konsumennya tidak lagi terbatas pada kaum hawa (wewene) tapi juga bani adam/laki-laki (tuama) menggemarinya.

13. Usaha Tukang Sol Sepatu. Usaha ini pada umumnya dilakukan oleh orang Panasen Kakas dan orang Tondano. Mereka memulai profesi sebagai tukang sol sepatu/sandal (TSS) sejak tahun 70-an di pusat kota Manado. Usaha mereka ini digolongkan sebagai kaki lima karena tempat usahanya di emperan pertokoan. Kelompok TSS orang Panasen tempat usahanya terletak di kawasan Taman Kesatuan Bangsa (masuk lorong), sedangkan kelompok TSS orang Tondano terletak di kawasan Pasa 45 (catatan: sol sepatu artinya memperbaiki sepatu yang rusak, termasuk sendal dan memodifikasi bentuk sepatu).

Mengenai latar belakang sehingga mereka terjun menjadi TSS, singkatnya: 1) untuk kelompok TSS orang Panasen Kakas sebelumnya adalah karyawan toko sepatu (tahun 60-an) yang dikelola oleh orang Tionghoa di pusat kota (bendar). Oleh karena usaha jual sepatu mengalami kebangkrutan, beralihlah mereka sebagai TSS sampai sekarang ini; 2) untuk kelompok TSS orang Tondano (satu keluarga), sebelumnya adalah pedagang beras di pasar 45. Pada waktu pasar 45 dibangun kembali (awal tahun 70-an), mereka terpaksa tergusur dari kawasan pasar 45 karena tidak mampu untuk membayar sewah kios. Akhirnya salah seorang memang sudah memiliki ketrampilan sol sepatu beralih profesi sebagai TSS, kemudian diajak bebera[a kerabatnya untuk menggeluti profesi tersebut sampai sekarang ini.

14. Usaha-Usaha Lainnya. Adapun usaha-usaha lain yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:

1) Usaha Tibo-Tibo.  Usaha ini dilakukan oleh perempuan Minahasa (pada umumnya dari Kawangkoan dan Sonder) yang berperan sebagai pengumpul hasil pertanian (sayur, rica, tomat, bawang, rempah-rempah) dari perkebunan yang ada di sana kemudian mendistribusikan ke pasar-pasar yang ada. Mereka mulai beroperasi sejak subuh, ada yang menunggu pedagang dari pasar yang akan membeli hasil pertanian tersebut, dan ada juda yang mendistribusikan langsung menjajah sendiri di pasar;

2) Usaha Blante. Usaha ini sebenarnya usaha dagang jual-beli secara langsung yang disebut blante. Pada umumnya digumuli oleh orang Kawangkoan dan Sonder, mencakup usaha jual beli rumah, jual beli sapi, jual beli kebun dsb. Hal yang menarik dalam usaha blante ini (perlu diklarifikasi kebenarannya) adalah kelicikan sang penjual sapi, ketika menjual sapinya yang sudah berusia tua dan dalam kondisi sakit, bisa laku terjual dengan harga mahal karena di telapak kaki sapi ditusuk jarum, spontas sapi tsb bergerak lincah sehingga terkesan kelihatan sehat dan  muda;

3) Usaha Makelar. Hampir semua orang Minahasa melakukan usaha jasa ini. Pada umumnya mereka beroperasi di pusat-pusat kota sebagai perantara jual beli mobil, rumah, tanah/lahan perkebunan dan barang-barang berharga lainnya (perhiasan, alat-alat elektronik dan perabot rumah). Sebagai informasi, mereka yang menggeluti usaha ini telah membuat suatu organisasi Himpunan Usaha Makelar (HUM) se Sulut.

Refleksi

Menyimak ragam mata pencaharian hidup orang Minahasa di atas, mengindikasikan bahwa anggapan orang Minahasa

cenderung mengandalkan sektor formal (orientasi amtenaar= pegawai negeri/swasta) sebagai matapencaharian hidup, adalah mitos belaka. Dengan kata lain, Tou-Minahasa juga tidak tabu menggeluti pekerjaan di sektor informal (catatan: ditemukan sejumlah anak muda Minahasa (pada umumnya orang Paso) menjajah usaha dagang di  kaki lima di pasar-pasar (jual ikan).

Mengingat masalah lapangan kerja merupakan masalah yang sangat strategis untuk kepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia pada umumnya, dan khususnya di Minahasa (Sulawesi Utara), maka kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah (disnaker), agar dalam kebijakan pembangunan pembedayaan masyarakat sudah selayaknya mempertimbangkan kehadiran sektor informal sebagai sektor yang dapat diandalkan untuk menanggulangi masalah penggangguran yang semakin hari semakin bertambah. Untuk itu, perlu diperhatikan.

------------------------------------------

Dipenggal dari buku Antropologi Minahasa: Identitas dan Revitalisasi (Albert WS Kusen, 2006).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun