Mohon tunggu...
Rafans Manado
Rafans Manado Mohon Tunggu... amtenar -

Aktivis ormas serta pemerhati bidang politik, pariwisata, dan kebudayaan Kota Manado,-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ragam Mata Pencaharian Hidup Non-pertanian Orang Minahasa

31 Oktober 2010   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 8844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

7.     Usaha Jasa Restoran/Rumah Makan. Seperti halnya dengan usaha kerajinan anyaman bambu di atas, bahwa pada era tahun 60-an sampai tahun 70-an, apabila kita hendak ke Langoan atau sebaliknya ke Manado bertepatan waktu makan siang, maka so pasti akan mampir di restoran atau rumah makan yang berada di pinggiran jalan raya menuju Tomohon, tepatnya terletak di kawasan desa/kelurahan Tino’or. Dari berbagai kendaraan yang mampir di kawasan  rumah makan tersebut, yang masih dapat diingat adalah bus-bus penumpang bernama ‘Manguni Tulen’ merupakan langganan tetap sebagai konsumen dari rumah-rumah makan tersebut. Diinformasikan, bahwa sang sopir dan kondektur (knek), mendapat makan gratis atas kompensasinya karena telah membawa penumpang di rumah makan langganannya tersebut. Pada umumnya pengelola rumah makan di kawasan tersebut berasal dari desa Tino’or, di mana dari segi etnisitas, adalah orang Tountemboan (Sonder).

Seperti kenyataan yang ada sampai sekarang ini,  keberadaan rumah - rumah  makan   di  kawasan tersebut  masih  tetap  eksis alias tetap beroperasi. Namun sesuai dengan perkembangan jaman, pada umumnya rumah-rumah makan di kawasan tersebut, telah terjadi perubahan secara fisik, di mana kalau dahulu tiang-tiang penyangga rumah makan terbuat dari bambu, sekarang ini sudah cor beton. Berbagai jenis masakan dan minuman khas atau identitas orang Minahasa yang disajikan (disajikan juga pada pesta-pesta syukuran). Sistem penyajian pembayaran makan-minum di rumah-rumah makan khas Tino’or, berdasarkan pola prismanan, artinya semua jenis makanan diletakkan di atas meja dan bebas memilihnya, dibayar  per orang/kepala Rp.15.000. Kecuali minuman di luar air putih non kemasan, dan ada tambahan makanan seperti sate atau ikan baker pembayarannya akan ditambah.

Selain usaha rumah makan khas Minahasa di kawasan Tino’or, juga mulai marak di kota Manado munculnya usaha rumah-rumah makan khas Minahasa. Seperti di sepanjang Jl. Sam  Ratulangi, dan di kawasan Wakeke Kota Manado, banyak menjual masakan khas Tinutu’an atau bubur Manado.   Begitu juga  salah satu jenis makanan yang cukup populer di kalangan orang Tonsea adalah rumah makan yang secara khusus  menjual ikan air tawar (ikan mas dan mujair) yang dibakar maupun digoreng, dan kepala ikan yang dibakar secara pengasapan. Demikian pula dengan Sate Rage, yang terdapat  di Kawangkoan (Tountemboan) mulai ramai di datangi wisatawan.

8. Usaha Pembuatan Kacang ‘Tore’ dan Kacang Goyang. Adapun pembuatan kedua jenis usaha ini, adalah sebagai berikut:

Kacang ‘Tore’.Singkatnya usaha ini dapat dikatakan merupakan khas atau identitas budaya ekonomi orang Minahasa. Pada umumnya usaha ini dibuat oleh orang Kawangkoan (Tountemboan) yang oleh pemerintah dan masyarakat setempat menjadikan sebagai ‘Landmark’ kota Kawangkoandalam bentuk tugu yang berbentuk ‘kacang’. Sesuai dengan namanya  adalah sejenis makanan ringan yang dibuat dari kacang tanah yang dikeringkan, kemudian di masak dalam wajan goreng dengan cara menggoyang-goyang pakai sendok besar (songara) sehingga menghasilkan kacang masak  yang renyah alias ‘tore’. Pemasarannya langsung dijajakan disepanjang jalan pusat kota Kawangkoan. Pemasarannya selain tersebar di pertokoan yang ada di pusat kota Kawangkoan, juga diperdagaangkan di luar.

Kacang goyang. Seperti juga dengan usaha pembuatan kacang tore di atas,   usaha ini juga merupakan identitas budaya ekonomi orang Minahasa. Pada umumnya dibuat oleh orang Amurang (Minsel) di mana bahan bakunya terdiri dari kacang, gula aren (batu) untuk pembuatan kacang goyang berwarna merah, dan gula pasir. Baik kacang tore maupun kacang goyang, selain untuk dikonsumsi sebagaimana biasanya, tetapi juga sudah menjadi tradisi sebagai makanan ringan yang dijadikan ‘ole-ole’ ketika bepergian ke luar Minahasa (Jakarta, misalnya). Selain itu, dijual di sejumlah di pasar-pasar tradisional maupun swalayan yang ada di kota-kota.

9.    Usaha ‘Pandai Besi’. Pada  umumnya  usaha ini digeluti oleh orang Wulauan Tondano yang terkenal sebagai ‘pandai besi’ yang sejak lama membuat peralatan pertanian, sepeti membuat mata bajak, pacul dan sekop, peralatan rumahtangga, seperti aneka ragam parang (peda), termasuk membuat pedang khas orang Jepang ‘samurai’, pisau (pai), dan fasilitas lainnya seperti alas kaki kuda dsb.  Biasanya bahan baku besi diambil dari bekas-bekas ver dan chasis mobil. Sekarang ini para pandai besi mulai menggunakan material baja yg diambil dari cakram motor, khususnya untuk pembuatan parang atau pisau. Pemasarannya di pasar-pasar tradicional, dan dengan cara menjajahkannya sendiri.

10.  Usaha Jasa Konstruksi (Kontraktor). Tempo doeloe (abad 18) orang Tondano banyak memiliki ketrampilan atau kerajinan tangan, antara lain  membuat topi (capiau), tikar, tempat cerutu, kampi, tempat pinang, dan sebagainya. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, ketrampilan kerajianan ini tidak lagi dikembangkan sampai sekarang ini untuk dijadikan sebagai bagian dari aktivitas mata pencaharian hidup (lihat Graafland 1874:29-30) dalam Umboh (1985). Untuk itu, maka di kalangan orang Tondano masa kini selain bermata pencaharian sebagai petani, pegawai negeri/anggota TNI, dan pedagang, salah satu jenis usaha yang memiliki khas, adalah sebagai kontraktor alias menjadi pemborong bangunan (lihat my note sebelumnya).

11.  Usaha Penambangan Emas. Usaha di budang penambangan emas, yang disebut dengan istilah PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin, istilah yang diberikan oleh pemerintah) mulai marak sejak pasca kejayaan ‘emas coklat’ (cengkeh) pada era akhir tahun 80-an sampai tahun 90-an, banyak digumuli oleh anak-anak muda asal Minahasa. Daerah-daerah tambang seperti di kawasan Ratatotok Belang (Minahasa Tenggara), Dumoga Bolaang Mongondouw dan Likupang-Tatelu merupakan merupakan kawasan yang dijadikan sebagai garapan para penambang asal Minahasa tersebut.  Dan seperti diketahui bahwa untuk menggeluti dunia  PETI ini, tidak mengandalkan modal pendidikan formal, melainkan modal ‘nyali’ (keberanian) dan ketrampilan untuk membuat galian lubang tambang, terutama kecerdasan dalam menentukan jalur emas (rep). Istilah PETI sendiri ditolak dikenakkan keada para penambang, karena dianggap dengan istilah ini menjadi alasan aparat keamanan untuk melarang aktivitas mereka sebagai penambang.

Dalam melakukan aktivitas penambangan, dilakukan secara berkelompok, dipimpin oleh seseorang yang dinilai telah memenuhi kriteria sebagai Tona’as (memiliki kekuatan fisik, keberanian, karisma, dan sifat kepemimpinan) yang berperan untuk mengawasi sekaligus melindungi kelompoknya yang telah menguasasi satu lubang tambang yang mengandung emas (rep). Apabila sang Tona’as telah dikenal kemampuannya oleh kelompok lain sebagai ‘tuama’ yang berpengaruh, maka kelompok ini akan berhitung dua kali untuk merebut lubang yang telah dikuasainya.

Untuk itu, selain menyiapkan peralatan tambang (pacul, sekop, dan pakowel), juga dipunggung penambang terselip pedang ‘samurai’, atau menyiapkan tombak dan ‘panah wayer’ sebagai senjata yang digunakan dalam menghadapi ancaman dari kelompok lain yang sewaktu-waktu datang menyerang untuk merebut tambang tersebut. Tidak jarang, dalam upaya untuk merebut maupun untuk mempertahankan lubang tambang, terjadi konflik fisik (baku-skerem) antar kelompok yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa.  Boleh dikatakan budaya kekerasan yang berkembang di kalangan generasi muda orang Minahasa, keberadaannya sudah terkonstruksi secara sosial melalui dunia penambangan tersebut.  Setelah pemerintah setempat melalui aparat keamanan (POLRI dan TNI) mengobrak-abrik kawasan-kawasan penambangan emas tersebut, maka kegiatan-kegiatan PETI yang sering membawa implikasi ‘kekerasan’ berangsur-angsur mulai mengurang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun