Mohon tunggu...
Rafans Manado
Rafans Manado Mohon Tunggu... amtenar -

Aktivis ormas serta pemerhati bidang politik, pariwisata, dan kebudayaan Kota Manado,-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ragam Mata Pencaharian Hidup Non-pertanian Orang Minahasa

31 Oktober 2010   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 8844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3.  Usaha Properti Rumah Panggung. Usaha ini sudah menjadi identitas budaya ekonomi orang Minahasa yang dilakukan di setiap desa atau wanua. Biasanya di setiap desa ada orang-orang yang memiliki talenta ketrampilan sebagai tukang (bas). Apabila ada orang sekampung berkeinginan untuk membangun rumah tinggal sendiri, maka para bas melalui manejernya (kepala bas), setiap saat dapat dihubungi. Yang penting setelah tercapai kesepakatan mengenai sistem pembayaran (ongkos ‘maklun’), kepala bas yang bersangkutan segara mengkoordiner bas-bas lainnya yang ada di kampong untuk mengerjakann bangunan rumah yang dimaksud.

Tempo doeloe, dilakukan dengan menggunakan sistem mapalus. Dengan berjalannya waktu, pola pembuatan rumah-rumah panggung yang ada di masing-masing Wanua, mulai mengalami  perubahan. Sekarang ini, kelompok masyarakat yang secara umum mengenal sebagai produsen rumah siap pasang, adalah orang Tombulu, terletak di desa/kelurahan Woloan Kota Tomohon.

Hampir semua penduduk (keluarga-keluarga) di kelurahan ini, memiliki ketrampilan usaha pembuatan rumah siap pasang. Harga setiap rumah disuaikan dengan tipe rumah yang diproduksi serta variasi arsitekturnya. Mengenai sistem manajemen, selain ditangani secara perusahan (CV), ada yang masih secara perorangan.   Sementara itu, target pemasaran, di samping dipesan oleh pembeli lokal, tetapi juga mendapat pesanan dari luar daerah ini (Sulawesi Utara), seperti di beberapa daerah pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Dan Papua. Kecuali itu, dipasarkan ke maupun di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, beberapa negara Eropah, Cina, dan Australia (Kusen 1999).

4.  Usaha Kerajinan Anyaman Bambu. Usaha ini cenderung dilakukan oleh orang Tombulu. Apabila kita bepergian ke wilayah selatan Minahasa, secara kasat mata so pasti akan melewati salah satu desa/kelurahan di kota Tomohon yang bernama kelurahan Kinilow, akan ditemui sejumlah kios di pinggir jalan raya sebelah kiri yang tampak  memperagakan hasil kerajinan anyaman yang terbuat dari bambu. Jenis usaha ini, sangat bernuansa ke-Tombulu-an mengingat arti atau etimologi Tombulu (Tom=orang, Bulu=bambu). Dengan demikian, secara budaya usaha kerajian anyaman bambu ini merupakan identitas orang Minahasa pada umumnya, dan khususnya orang Tombulu.

5. Usaha Pembuatan Minuman Keras  ‘Tuak’ (Saguer- Cap-Tikus). Sebelum dikenal ekonomi uang, menyadap air tuak (saguer) dari pohon enau atau aren (seho) telah dikenal sejak tempo doeloe sebagai minuman khas orang Minahasa. Hampir semua wilayah pakasa’an di Minahasa memproduksi minuman ini. Orang Tountemboan dan Toulour menyebut Timpa, orang Tonsea Lepen, dan orang Tombulu Pehe. Pohon enau atau seho bukan tanaman yang dibudidaya, tetapi pohon ini tumbuh secara alamiah di hutan atau di kebun-kebun petani. Menurut adat orang Minahasa tempo doeloe, minuman saguer adalah minuman para dewa atau Opo/Dotu sehingga tidak diperkenankan untuk diperdagangkan. Nanti pada abad ke 18 minuman saguer sudah dapat diperdagangkan sebagai mata pencaharian tambahan petani. Kecuali minuman saguer, ditemukan juga minuman keras lainnya (mengandung alcohol), yang disebut Cap-Tikus. Minuman keras ini dibuat dari minuman saguer, di mana proses pengolahannya, ialah pertama air tuak/saguer yang sudah cukup lama (asam) ini direbus  sampai mendidih. Setelah mendidih uapnya disalurkan melalui cerobong bambu, kemudian diteteskan sampai menjadi minuman keras alias cap-tikus. Dalam kontes ekonomi, kedua jenis minuman ini ternyata memiliki nilai tambah sebagai komoditas yang patut untuk diperhitungkan.

Mengenai kegunaan air tuak saguer ini, tidak saja dimanfaatkan sebagai minuman yang sering disuguhkan  atau dikonsumsi pada acara-acara pesta di kampung-kampung atau dijual di warung-warung  dan  rumah  makan, tetapi juga dijadikan sebagai bahan baku untuk minuman captikus dan gula batu atau dibiarkan sampai asam untuk dijadikan sebagai  cuka yang dimanfaatkan kuah gohu atau rujak Manado.

Sejarah penamaan cap-tikus. Istilah cap-tikus muncul ketika pasukan mariner Belanda mulai ditempati di Manado menjelang tahun 1900 di mana pada waktu itu mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan minuman keras khas Eropa, yakni Bolls, Jenewer, dan Whisky. Hal ini bagi para pedagang Cina-Manado merupakan peluang bisnis untuk memasarkan minuman alkohol buatan pribumi Minahasa, dijual dalam bentuk botol dan diberi cap/label ‘cap-tikus’ (lihat Wenas 2007). Sejak saat itu minuman alcohol khas Miahasa dikenal dengan nama cap-tikus (warna putih bening). Kemudian dikembangkan atau diracik sedemikian rupa oleh orang Tonsea dinamai minuman Saledo yang tidak lagi berwarna putih, tapi sudah berwarna ‘kemerah-merahan’; ada juga yang meracik sendiri (kayu lawang, buah cengkeh, kayu manis, vanilla, dan janin anak rusa) yang disebut Pinaraci. Sementara itu, daerah pakasa’an yang paling terkenal memproduksi  minuman cap-tikus, selain Rurukan Tomohon/Tombulu, juga diproduksi oleh petani di kawasan Motoling. Memang harus diakui bahwa minuman cap tikus ini  sering  membawa  implikasi  sosial  yang negatif dalam konteks keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa pengaruh minuman ini terhadap mentalitas anak-anak muda sungguh sangat memprihatinkan. Tidak sedikit terjadi korban jiwa (penikaman) akibat tawuran atau perkelahian, disebabkan oleh pengaruh minuman keras ini. Dan yang sangat disesali adalah berkenaan dengan ketidaklulusan menjadi calon taruna polisi atau TNI karena gara-gara minuman alcohol ini.  Sementara itu, usaha untuk mengalihkan konsumsi minuman keras ini menjadi bahan untuk  keperluan kesehatan (alcohol) di rumah-rumah sakit, memang  pernah dilakukan, namun sejauh ini keberadaan cap-tikus cenderung masih dominan dikonsumsi sebagai minuman keras yang sehari-hari dijajakan di warung-warung yang ada di setiap desa/kelurahan di daerah ini. Bahkan secara ‘gelap’ diselundupkan ke luar MInahasa.

Sebagaimana sejarah cap-tikus yang dikemukakan di atas, sampai saat ini pihak yang mendapat keuntungan besar dari minuman cap-tikus adalah pedagang Cina-Manado, di mana jenis minuman alcohol yang bermerek ‘Kasegaran’ merupakan minuman yang laris dikonsumsi. Harganya per botol melampaui minuman bir. Padahal untuk membuat bahan bakunya cap-tikus ini memerlukan waktu yang relatif lama.

6.    Usaha Pembuatan Gula Batu. Seperti apa yang telah disinggung di atas, air tuak atau saguer yang berwarna putih kelabu, ternyata merupakan bahan baku dari pembuatan Gula Batu (Gula Aren). Dari beberapa desa di Minahasa yang memproduksi gula batu ini, boleh dikatakan desa Rurukan Tomohon merupakan pusat pembuatannya.

Kegunaan gula batu tersebut,  di samping untuk dijadikan bahan pemanis kolak ubi, kolak kacang ijo, minuman cendol, es kepala/alvokat, dan kacang goyang, juga sebagai bahan utama pembuatan berbagai jenis kue (kukis) khas Minahasa, yakni kukis cucur, kukis waji, kukis lemet, kukis apang, kukis kolombeng merah, kukis apang coe, kukis onde-onde, kukis koyabu dan kukis senegor. Oleh karena begitu banyak kegunaan dari gula batu ini, banyak dijual di pasar-pasar tradisional maupun swalayan yang ada di kota-kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun