KEMAMPUAN MENGASIHI DIRI SENDIRI SEBAGAI JALAN MENGASIHI SESAMA
                        (Mikael Ekel Sadsuitubun)
Abstract
   The ability to love presupposes the attainment of a personality maturity. Only people who have enough self-confidence can love others. Humans should develop from being egocentric to altrocentric. When people have enough love for themselves, there is a natural self-acceptance. Then, that person will not be selfish. The person may even be altruistic. Love for oneself becomes a solid stepping stone so that one can love one's neighbor. The same conditions are also needed so that people can love God with all their hearts.
    Sometimes the failure to be altrocentric is due to the influence of anthropocentrism at the level of practical relativism. Practical relativism is a dangerous culture. Cultural relativism is actually the same disease, which also encourages people to exploit others. This is the current problem why people don't grow in love.
Keywords: Love, Self, Fellow human beings, Anthropocentrism.
Pendahuluan
      Kasih kepada sesama perlu ditempatkan dalam rangka kasih kepada Allah. Orang yang mengasihi Allah tentu juga perlu mengasihi segala ciptaan Allah, termasuk manusia. Perintah Tuhan Yesus kepada kita untuk mengasihi sesama mengandung dua unsur yaitu kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Kasih kita kepada sesama harus sama seperti kasih kita kepada diri sendiri. Untuk mengasihi sesama kita juga perlu memiliki kasih kepada diri sendiri pula. Artinya seseorang mampu mengasihi sesamanya dan ciptaan Tuhan pada umumnya karena ia telah selesai dengan dirinya, ia telah matang dan bijaksana atau telah berproses dengan dirinya menjadi dewasa secara mental. Oleh karena itu maka artikel ini akan mengikuti alur pemikiran sebagai berikut: pertama membahas tentang Mengasihi Diri Sendiri. Kedua membahas tentang pentingnya menghargai diri sendiri dan ketiga membahas tentang mengasihi sesama ciptaan. Metode Penulisan Dalam penulisan artkel ini akan menggunakan metode kualitatif. Penulis menggunakan buku-buku dan artikel-artikel, untuk mendalami tentang pemahaman-pemahaman mengenai latar belakang kasih dan atroposentrisme zaman modern. Sehingga penulis memiliki pemahaman untuk menulis dan medalami tema artikel ini.
PEMBAHASANÂ
1. Mengasihi Diri Sendiri
     Kemampuan untuk mengasihi mengandaikan tercapainya suatu kematangan kepribadian. Hanya orang yang sudah cukup memiliki kepercayaan dirilah yang dapat mengasihi sesama. Manusia rupanya menempuh proses perkembangan dari tahap egosentris ke arah sikap altruis. Seorang bayi atau anak kecil belum mampu memperhatikann orang lain. Perhatian mereka masih terpusat pada diri sendiri. Kalau seseorang usdah dewasa, ia akan mampu memperhatikan orang lain. Ia bahkan mampu untuk tidak selalu mengingat kepentingan diri sendiri. Sifat orang dewasa yang sudah mampu keluar dari dirinya disebut sebagai sifat altruis. Manusia harus berkembang dari tahap egosentris menuju tahap altruis. Namun, perkembangan tersebut tidak selalu berhasil sehingga ada penyimpangan yang disebut sebagai sifat egoistis. Sifat egoistis ialah gejala tidak sehat yang muncul akibat perkembangan perkembangan yang salah. Manusia seharusnya berkembang dari sifat egosentris ke arah altrosentris. Sehubungan dengan sifat egoistis, ada kesan keliru bahwa orang yang egoistis adalah orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Namun para psikolog cenderung berpendapat bahwa orang yang egoistis adalah orang yang tidak cukup mencintai dirinya sendiri. Kalau orang memiliki cinta yang cukup untuk dirinya, ada penerimaan diri yang wajar. Maka, orang itu tidak akan menjadi egoistis. Orang itu bahkan bisa menjadi altruistis. Cinta akan diri sendiri menjadi batu pijakanyang kokoh supaya ia bisa mencintai sesamanya. Syarat yang sama diperlukan pula agar orang dapat mengasihi Allah dengan segenap hati. Namun ironisnya, agar manusia dapat mengasihi diri sendiri dengan cukup, ia perlu mendapatkan cinta yang cukup dari orang lain. Jadi disini ada lingkaran sebab akibat. Setelah memahami apa yang dimaksudkan dengan mengasihi diri sendiri, maka pada bagian berikut akan diuraikan tentang pentingnya menghargai diri sendiri agar mampu mengasihi sesama ciptaan Allah.
2. Pentingnya Menghargai Diri SendiriÂ
     Bagaimana kita dapat melaksanakan ajaran Tuhan Yesus tentang memberi makan kepada orang yang lapar, memaafkan orang yang menghina kita, atau mengasihi musuh atas nama Kristus? Itu adalah keutamaan-keutamaan yang luhur. Apa yang aku lakukan untuk salah seorang saudara yang paling hina, aku lakukan untuk Kristus. Namun apa yang terjadi jika orang yang paling hina, yang lapar, dan yang menjadi musuh berada di dalam diri saya sendiri? Apa yang harus saya lakukan bila musuh yang harus saya kasihi ternyata adalah diri saya sendiri? Berikut ini adalah beberapa point penting untuk membantu seseorang untuk bertumbuh menjadi matang dan dewasa.
2.1. Menerima Diri
Menerima diri seperti adanya adalah pergumulan tersendiri bagi setiap orang. Proses penerimaan diri harus terjadi apabila orang menginginkan perkembangan diri yang sehat. Kesulitan untuk menerima diri muncul dari kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain. Orang punya kecenderungan untuk menjadi diri yang lain seperti dilihat pada diri orang-orang lain yang menurut pendapatnya lebih baik, lebih pandai, lebih beruntung dan seterusnya. Hal itu mungkin sebagai protes terhadap keterbatasan-keterbatasan diri. Kalau orang merasakan adanya kelemahan tertentu, ia tidak mau mengakui kelemahan itu. Rasa tidak puas dengan diri membuat orang membanding-bandingkan diri dengan orang lain dan ingin menjadi seperti yang ia idealkan. Pergumulan untuk menerima diri ini mungkin lebih terasa pada orang muda, tetapi tidak tertutup kemungkinan juga untuk orang tua. Karena masalahnya bukan soal tua atau muda dalam usia, melainkan soal bagaimana seseorang berproses secara mental untuk menerima diri.[1] Â
2.2. Menjadi Diri Sendiri
    Menerima diri akan memapukan orang untuk berkembang menjadi diri sendiri. Menerima diri menjadi syarat untuk menjadi diri supaya dapat berkembang menjadi diri sendiri (becoming oneself). Kita menjadi diri sendiri biasanya dihambat oleh perbagai ketakutan subjektif. Contonya, seseorang selalu saja berpikir untuk menjadi seperti yang dikehendaki oleh orang lain. Menjadi diri sendiri berarti bahwa seseorang berani tampil apa adanya, termasuk juga menerima keadaan diri yang dianggap kurang. Menjadi diri sendiri artinya orang tidak perlu diliputi ketakutan untuk menjadi seperti yang diharapkan oleh orang lain. Sehingga, ia memaksa diri untuk selalu tampil sempurna dan ada ketakutan untuk melakukan kesalahan. Namun hal itu dilakukan bukan  dengan ketalutan, melainkan dengan kesadaran dan kedewasaan. Supaya orang bisa tampil apa adanya, dibutuhkan penghargaan diri atau self-esteem yang sehat.[1] Sehubungan dengan penghargaan diri yang sehat, spiritualitas kristiani memberikan sumber kekuatan secara internal dan itu akan dibahas pada bagian berikut ini. Â
2.3. Martabat Kristiani
    Kekristenan memberikan pencitraan yang tinggi bagi martabat manusia yang bisa disebut sebagai "inner glory". Martabat itu berasal dari visi iman tentang manusia. Manusia adalah gambaran Allah atau diciptakan secitra dengan Allah. Manusia ditebus oleh darah Kristus dan berkat sakramen permandian menjadi anak-anak Allah. Manusia memiliki martabat yang tinggi dari kenyataan dirinya sebagai manusia. Sehingga, nilai manusia tidak bisa diukur berdasarkan factor-faktor biologis (muda, sehat menarik), psikologis (berani, matang, percaya diri), intelektual (pandai, cerdas), sosiologis (jabatan, relasi, karier), dan ekonomis (kaya). Memang baiklah kalau kita memiliki semua itu. Tetapi pribadi kita sebagai manusia tetap tidak sama dengan semua yang ada pada kita. Pengakuan akan martabat manusia membawa konsekuensi moral bahwa orang perlu menghargai diri dan sesamanya sebagai seorang pribadi. Ketika berhadapan dengan orang atau kelompok yang secara ekonomis, intelektual dan lain-lainnya tidak setara dengan kita maka kita merendahkan atau menganggap remeh. Artinya bahwa tidak perlakukan mereka secara diskriminatif.[1]
2.4. Melupakan Diri Sendiri dan Berkorban Untuk Sesama
     Kalau orang sudah mencapai tahap kematangan kepribadian sehingga ia memiliki kebanggaan diri yang sehat bahkan lebih jauh lagi, ia memiliki kematangan rohani sehingga merasa diri tidak ada artinya sedikitpun dihadapan Allah namun serentak sadar akan martabatnya sebagai citra Allah dan anak Allah. Orang itu siap untuk melupakan dirinya sendiri. Melupakan diri dalam arti bisa berkurban demi sesama. Orang dapat mendahulukan kepentingan orang lain dengan akibat mengurbankan kepentingannya sendiri. Dalam ajaran kristiani, melupakan diri justru merupakan syarat supaya orang menjadi dirinya secara penuh (bdk. Lukas. 17:33). Melupakan diri juga berarti tidak mengandalkan pada kemampuan diri dan jasa-jasanya (bdk. Lukas. 17:10). Kemampuan untuk melupakan diri adalah tanda kematangan pribadi seseorang. Pribadi yang demikian akan memiliki kerendahan hati yang benar. Kerendahan hati itu dimotivasi oleh visi tentang diri yang sejati  di hadapan Allah dan sesame manusia.[1] Orang yang telah selesai dengan dirinya tentu mampu mengasihi sesama manusia dan alam ciptaan yang Allah ciptakan.
3. Mengasihi Sesama Ciptaan
      Antroposentrisme sudah berkembang sejak filsuf Aristoteles. Antroposentrisme tidak melihat nilai pada segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta baik makhluk yang hidup maupun yang mati. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pandangan antroposentrisme sama sekali tidak mengakui adanya hak asasi alam.[1] Demikian juga pandangan antroposentrisme tidak melihat hubungan antara segala sesuatu yang ada dalam alam semesta: bahwa semuanya saling membutuhkan satu dengan yang lain: manusia membutuhkan tumbuhan, hewan, batu, tanah dan lainya demi kelangsungan hidupnya atau sebaliknya hewan membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya.Â
     Dalam Ensiklik Laudato Si', Paus Fransiskus secara tajam melihat adanya pergesaran dari paham antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dan alam sebagai instrument, kini itu mengalami relativisme dimana manusia juga bisa memandang sesama manusia sebagai instrument. Sebuah antroposentrisme yang menyimpang itu kemudian mendorong manusia kepada gaya hidup yang menyimpang pula dan itu melahirkan suatu relativisme praktis yang tidak hanya mengeksploitasi dan merusak lingkungan tetapi kemudian serentak juga merusak dan mengeksploitasi sesama manusia. [2]Â
      Ensiklik Laudato Si' artikel 123 secara jelas dan tegas menjelaskan bahwa antroposentrisme pada tataran relativisme praktis adalah sebuah budaya yang berbahaya. Budaya relativisme sesungguhnya adalah penyakit yang sama, yang juga mendorong seseorang untuk mengeksploitasi sesamanya dan memperlakukannya sebagai objek, dengan mewajibkannya untuk melakukan kerja paksa atau memperbudaknya karena persolana hutang. Tidak hanya sampai di situ, sebab cara berpikir yang sama mendorong eksploitasi seksual terhadap anak-anak atau penelantaran terhadap orang yang lanjut usia karena dirasa tidak lagi berguna untuk kepentingan pribadi.[3]   Â
      Paradigma terhadap alam kini bukan lagi berlaku untuk alam saja tetapi juga berlaku terhadap manusia. Logika yang digunakan untuk mengeksploitasi alam kini dipakai untuk memperlakukan sesamanya. Logika relativisme turut membenarkan pembelian organ tubuh orang-orang miskin untuk dijual kembali atau digunakan dalam setiap proyek eksperimen atau membenarkan pembungan anak-anak bayi karena mereka tidak memenuhi keinginan orang tuanya. [4]
4. Penutup
KesimpulanÂ
     Kemampuan untuk mengasihi mengandaikan tercapainya suatu kematangan kepribadian.  Manusia seharusnya berkembang dari sifat egosentris ke arah altrosentris. Kalau orang memiliki cinta yang cukup untuk dirinya, ada penerimaan diri yang wajar. Maka, orang itu tidak akan menjadi egoistis. Orang itu bahkan bisa menjadi altruistis. Cinta akan diri sendiri menjadi batu pijakanyang kokoh supaya ia bisa mencintai sesamanya. Syarat yang sama diperlukan pula agar orang dapat mengasihi Allah dengan segenap hati.
     Terkadang kegagalan menuju sifat altrosentris karena pengaruh antroposentrisme pada tataran relativisme praktis. Relativisme praktis adalah sebuah budaya yang berbahaya. Budaya relativisme sesungguhnya adalah penyakit yang sama, yang juga mendorong seseorang untuk mengeksploitasi sesamanya. Inilah masalah terkini mengapa orang tidak bertumbuh di dalam kasih.
Daftar Pustaka
Sujoko Albertus. Identitas Yesus & Misteri Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Fransiskus Paus. Ensiklik Laudato Si'. Tentang Merawat Rumah Kita. Jakarta: Obor, 2015.
Keraf, Etika Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Konferensi Wali Gereja Regio Nusa Tenggara, KGK, Ende: Nusa Indah. 2007.
Paus Benediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est: Allah adalah Kasih, Seri Dokumen Gereja No. 83. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2006.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H