Antroposentrisme sudah berkembang sejak filsuf Aristoteles. Antroposentrisme tidak melihat nilai pada segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta baik makhluk yang hidup maupun yang mati. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pandangan antroposentrisme sama sekali tidak mengakui adanya hak asasi alam.[1] Demikian juga pandangan antroposentrisme tidak melihat hubungan antara segala sesuatu yang ada dalam alam semesta: bahwa semuanya saling membutuhkan satu dengan yang lain: manusia membutuhkan tumbuhan, hewan, batu, tanah dan lainya demi kelangsungan hidupnya atau sebaliknya hewan membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya.Â
     Dalam Ensiklik Laudato Si', Paus Fransiskus secara tajam melihat adanya pergesaran dari paham antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dan alam sebagai instrument, kini itu mengalami relativisme dimana manusia juga bisa memandang sesama manusia sebagai instrument. Sebuah antroposentrisme yang menyimpang itu kemudian mendorong manusia kepada gaya hidup yang menyimpang pula dan itu melahirkan suatu relativisme praktis yang tidak hanya mengeksploitasi dan merusak lingkungan tetapi kemudian serentak juga merusak dan mengeksploitasi sesama manusia. [2]Â
      Ensiklik Laudato Si' artikel 123 secara jelas dan tegas menjelaskan bahwa antroposentrisme pada tataran relativisme praktis adalah sebuah budaya yang berbahaya. Budaya relativisme sesungguhnya adalah penyakit yang sama, yang juga mendorong seseorang untuk mengeksploitasi sesamanya dan memperlakukannya sebagai objek, dengan mewajibkannya untuk melakukan kerja paksa atau memperbudaknya karena persolana hutang. Tidak hanya sampai di situ, sebab cara berpikir yang sama mendorong eksploitasi seksual terhadap anak-anak atau penelantaran terhadap orang yang lanjut usia karena dirasa tidak lagi berguna untuk kepentingan pribadi.[3]   Â
      Paradigma terhadap alam kini bukan lagi berlaku untuk alam saja tetapi juga berlaku terhadap manusia. Logika yang digunakan untuk mengeksploitasi alam kini dipakai untuk memperlakukan sesamanya. Logika relativisme turut membenarkan pembelian organ tubuh orang-orang miskin untuk dijual kembali atau digunakan dalam setiap proyek eksperimen atau membenarkan pembungan anak-anak bayi karena mereka tidak memenuhi keinginan orang tuanya. [4]
4. Penutup
KesimpulanÂ
     Kemampuan untuk mengasihi mengandaikan tercapainya suatu kematangan kepribadian.  Manusia seharusnya berkembang dari sifat egosentris ke arah altrosentris. Kalau orang memiliki cinta yang cukup untuk dirinya, ada penerimaan diri yang wajar. Maka, orang itu tidak akan menjadi egoistis. Orang itu bahkan bisa menjadi altruistis. Cinta akan diri sendiri menjadi batu pijakanyang kokoh supaya ia bisa mencintai sesamanya. Syarat yang sama diperlukan pula agar orang dapat mengasihi Allah dengan segenap hati.
     Terkadang kegagalan menuju sifat altrosentris karena pengaruh antroposentrisme pada tataran relativisme praktis. Relativisme praktis adalah sebuah budaya yang berbahaya. Budaya relativisme sesungguhnya adalah penyakit yang sama, yang juga mendorong seseorang untuk mengeksploitasi sesamanya. Inilah masalah terkini mengapa orang tidak bertumbuh di dalam kasih.
Daftar Pustaka
Sujoko Albertus. Identitas Yesus & Misteri Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Fransiskus Paus. Ensiklik Laudato Si'. Tentang Merawat Rumah Kita. Jakarta: Obor, 2015.