Mohon tunggu...
Ekel Sadsuitubun
Ekel Sadsuitubun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado dan Politeknik Negeri Ambon

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kemampuan Mengasihi Diri Sendiri sebagai Jalan Mengasihi Sesama

8 Juli 2023   17:57 Diperbarui: 8 Juli 2023   18:11 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

2. Pentingnya Menghargai Diri Sendiri 

          Bagaimana kita dapat melaksanakan ajaran Tuhan Yesus tentang memberi makan kepada orang yang lapar, memaafkan orang yang menghina kita, atau mengasihi musuh atas nama Kristus? Itu adalah keutamaan-keutamaan yang luhur. Apa yang aku lakukan untuk salah seorang saudara yang paling hina, aku lakukan untuk Kristus. Namun apa yang terjadi jika orang yang paling hina, yang lapar, dan yang menjadi musuh berada di dalam diri saya sendiri? Apa yang harus saya lakukan bila musuh yang harus saya kasihi ternyata adalah diri saya sendiri? Berikut ini adalah beberapa point penting untuk membantu seseorang untuk bertumbuh menjadi matang dan dewasa.

2.1. Menerima Diri

Menerima diri seperti adanya adalah pergumulan tersendiri bagi setiap orang. Proses penerimaan diri harus terjadi apabila orang menginginkan perkembangan diri yang sehat. Kesulitan untuk menerima diri muncul dari kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain. Orang punya kecenderungan untuk menjadi diri yang lain seperti dilihat pada diri orang-orang lain yang menurut pendapatnya lebih baik, lebih pandai, lebih beruntung dan seterusnya. Hal itu mungkin sebagai protes terhadap keterbatasan-keterbatasan diri. Kalau orang merasakan adanya kelemahan tertentu, ia tidak mau mengakui kelemahan itu. Rasa tidak puas dengan diri membuat orang membanding-bandingkan diri dengan orang lain dan ingin menjadi seperti yang ia idealkan. Pergumulan untuk menerima diri ini mungkin lebih terasa pada orang muda, tetapi tidak tertutup kemungkinan juga untuk orang tua. Karena masalahnya bukan soal tua atau muda dalam usia, melainkan soal bagaimana seseorang berproses secara mental untuk menerima diri.[1]  

2.2. Menjadi Diri Sendiri

        Menerima diri akan memapukan orang untuk berkembang menjadi diri sendiri. Menerima diri menjadi syarat untuk menjadi diri supaya dapat berkembang menjadi diri sendiri (becoming oneself). Kita menjadi diri sendiri biasanya dihambat oleh perbagai ketakutan subjektif. Contonya, seseorang selalu saja berpikir untuk menjadi seperti yang dikehendaki oleh orang lain. Menjadi diri sendiri berarti bahwa seseorang berani tampil apa adanya, termasuk juga menerima keadaan diri yang dianggap kurang. Menjadi diri sendiri artinya orang tidak perlu diliputi ketakutan untuk menjadi seperti yang diharapkan oleh orang lain. Sehingga, ia memaksa diri untuk selalu tampil sempurna dan ada ketakutan untuk melakukan kesalahan. Namun hal itu dilakukan bukan  dengan ketalutan, melainkan dengan kesadaran dan kedewasaan. Supaya orang bisa tampil apa adanya, dibutuhkan penghargaan diri atau self-esteem yang sehat.[1] Sehubungan dengan penghargaan diri yang sehat, spiritualitas kristiani memberikan sumber kekuatan secara internal dan itu akan dibahas pada bagian berikut ini.  

2.3. Martabat Kristiani

        Kekristenan memberikan pencitraan yang tinggi bagi martabat manusia yang bisa disebut sebagai "inner glory". Martabat itu berasal dari visi iman tentang manusia. Manusia adalah gambaran Allah atau diciptakan secitra dengan Allah. Manusia ditebus oleh darah Kristus dan berkat sakramen permandian menjadi anak-anak Allah. Manusia memiliki martabat yang tinggi dari kenyataan dirinya sebagai manusia. Sehingga, nilai manusia tidak bisa diukur berdasarkan factor-faktor biologis (muda, sehat menarik), psikologis (berani, matang, percaya diri), intelektual (pandai, cerdas), sosiologis (jabatan, relasi, karier), dan ekonomis (kaya). Memang baiklah kalau kita memiliki semua itu. Tetapi pribadi kita sebagai manusia tetap tidak sama dengan semua yang ada pada kita. Pengakuan akan martabat manusia membawa konsekuensi moral bahwa orang perlu menghargai diri dan sesamanya sebagai seorang pribadi. Ketika berhadapan dengan orang atau kelompok yang secara ekonomis, intelektual dan lain-lainnya tidak setara dengan kita maka kita merendahkan atau menganggap remeh. Artinya bahwa tidak perlakukan mereka secara diskriminatif.[1]

2.4. Melupakan Diri Sendiri dan Berkorban Untuk Sesama

         Kalau orang sudah mencapai tahap kematangan kepribadian sehingga ia memiliki kebanggaan diri yang sehat bahkan lebih jauh lagi, ia memiliki kematangan rohani sehingga merasa diri tidak ada artinya sedikitpun dihadapan Allah namun serentak sadar akan martabatnya sebagai citra Allah dan anak Allah. Orang itu siap untuk melupakan dirinya sendiri. Melupakan diri dalam arti bisa berkurban demi sesama. Orang dapat mendahulukan kepentingan orang lain dengan akibat mengurbankan kepentingannya sendiri. Dalam ajaran kristiani, melupakan diri justru merupakan syarat supaya orang menjadi dirinya secara penuh (bdk. Lukas. 17:33). Melupakan diri juga berarti tidak mengandalkan pada kemampuan diri dan jasa-jasanya (bdk. Lukas. 17:10). Kemampuan untuk melupakan diri adalah tanda kematangan pribadi seseorang. Pribadi yang demikian akan memiliki kerendahan hati yang benar. Kerendahan hati itu dimotivasi oleh visi tentang diri yang sejati  di hadapan Allah dan sesame manusia.[1] Orang yang telah selesai dengan dirinya tentu mampu mengasihi sesama manusia dan alam ciptaan yang Allah ciptakan.

3. Mengasihi Sesama Ciptaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun