Kesuksesan ASEAN dalam konflik Vietnam-Kamboja menunjukkan efektivitas ASEAN Way dalam menyelesaikan konflik intra-kawasan melalui dialog dan konsensus.Â
Namun, pendekatan ini juga memperlihatkan kelemahannya, yakni proses yang lambat dan sering kali tidak cukup tegas dalam menghadapi situasi mendesak.Â
Meski demikian, keberhasilan ini tetap menjadi bukti bahwa kerja sama regional yang fleksibel dapat menghasilkan solusi damai dalam konflik kompleks.Â
Berbeda dengan kasus Vietnam-Kamboja, sengketa Laut Cina Selatan menghadirkan tantangan yang lebih rumit bagi ASEAN.
Sengketa ini melibatkan klaim teritorial oleh beberapa negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, yang berhadapan dengan klaim luas Tiongkok berdasarkan garis sembilan putus (nine-dash line).Â
Kawasan ini memiliki nilai strategis yang sangat tinggi, baik dari segi sumber daya alam maupun jalur perdagangan internasional. Ketegangan meningkat ketika Tiongkok mulai membangun pulau-pulau buatan dan memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut.Â
Dalam menghadapi sengketa ini, ASEAN tetap menggunakan pendekatan ASEAN Way.
Deklarasi Perilaku Pihak-Pihak di Laut Cina Selatan atau Declaration On Conduct Of Parties (DOC) yang ditandatangani pada tahun 2002 menjadi salah satu upaya awal ASEAN untuk mengelola ketegangan.
 Dokumen ini menegaskan komitmen semua pihak untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Namun, karena sifatnya yang tidak mengikat, DOC tidak mampu menghentikan aktivitas agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan.Â
ASEAN juga mencoba merumuskan Kode Etik (Code of Conduct/COC) yang lebih mengikat sebagai langkah lanjutan dari DOC. Namun, proses negosiasi yang berlangsung bertahun-tahun belum menghasilkan kesepakatan yang konkret hingga kini.Â