Keberadaan media baru dalam kehidupan manusia telah mengubah khalayak yang semula hanya sebagai audiens kini menjadi pengguna bahkan produsen berita. Hal ini menyebabkan persebaran informasi semakin luas. Khalayak semakin aktif seiring berkembangnya media baru.
Perubahan peran khalayak ini membuat perusahaan media komersil juga harus mengubah cara penyajian beritanya agar tetap menjadi acuan informasi utama. Informasi yang semula hanya berupa teks, beberapa dibantu dengan gambar, kini harus menggabungkan lebih dari dua bentuk media agar sesuai dengan ketertarikan khalayak. Mengingat minat baca khalayak Indonesia masih tergolong rendah, jurnalisme dalam bentuk multimedia dapat menjadi solusi.
Keaktifan pengguna media baru tidak hanya mampu memproduksi berita, namun juga menciptakan ruang public baru bagi pengguna lainnya. Interaktivitas media baru menghasilkan ruang public yang padat dan bebas, tidak hanya pada konten milik perusahaan media mayor namun juga pada konten milik perorangan.
Portal berita milik perusahaan media mayor sudah banyak yang menyediakan kolom komentar pada tiap kontennya sebagai fasilitas kebebasan berpendapat di muka umum yang dijamin oleh konstitusi. Pada kesempatan itulah tercipta ruang public seperti yang dikemukakan oleh Habermas. Dimana khalayak yang aktif berkumpul berdasarkan asas kebebasan berpendapat dan membicarakan isu yang sifatnya public. Hal ini, menurut Habermas, membutuhkan media dimana isu tersebut diterbitkan.
Tersedianya fasilitas komentar ini ternyata belum cukup untuk khalayak sebagai pengguna. Keaktifan khalayak yang kini mampu memproduksi konten tidak hanya ingin mengomentari karya jurnalistik media mayor dan hanya diketahui oleh khalayak yang hadir dalam ruang public tersebut. Khalayak saat ini juga ingin menghadirkan ruang public pada akun pribadi mereka bahkan membentuk portal berita amatir mereka sendiri.
Sehingga kini ruang public baru tercipta atas konten yang diproduksi media mayor namun terdapat pada profil pribadi pengguna. Pengguna media baru kini dapat membagikan konten yang mereka konsumsi pada khalayak lainnya. Personal branding merupakan salah satu tujuan dari khalayak membagikan konten berita. Dimana mereka ingin dipandang peduli dan mengerti akan isu yang beredar. Hal ini tentu selain akan membentuk kesan pada pengguna juga akan membentuk ruang public baru yang meneruskan ruang public media mayor.
Fenomena ini membuka cara baru media mayor untuk memperluas persebaran beritanya. Awalnya pengguna mengedit sendiri konten mana yang dianggap penting untuk dibagikan, entah untuk dikritik atau untuk disetujui, namun kini media mayor menyediakan konten yang sudah dipotong pada bagian yang berpotensi menjadi perhatian pengguna. Dengan potongan konten ini, pengguna yang tertarik akan membagikan konten pada akun pribadinya dan membentuk ruang public baru. Dari ruang public baru ini, pengguna lainnya yang belum menyaksikan konten secara lengkap akan mengunjungi portal berita yang memproduksi konten tersebut untuk memperoleh informasi lengkap dan menjadi bagian dari ruang public media mayor tersebut. Dengan ini, pengguna akan membentuk jaringan informasi untuk sebuah isu public.
Sebagai contoh, berita yang dimuat pada channel youtube.com Indonesia Lawyers Club TVONE tertanggal  19 September 2017. Channel ini memuat keseluruhan konten berita yang disiarkan TVONE yang sudah dibagi dalam tujuh bagian dengan durasi sekitar 20 hingga 51 menit setiap videonya. Disamping menyediakan konten secara utuh, channel tersebut juga telah menyiapkan potongan konten yang dianggap sebagai konten menarik. Channel ini saja sudah menciptakan ruang public. Potongan-potongan konten tersebutlah yang biasanya dibagikan oleh pengguna pada akun pribadinya. Dengan dibagikannya potongan konten tersebut, maka tercipta lagi satu ruang public terhadap isu public yang sama. Padahal tidak hanya satu pengguna saja yang membagikannya. Hal ini belum ditambah pengguna yang membagikan tautan yang dibagikan pengguna lainnya atau biasa disebut dengan repost. Tentunya akan menciptakan ruang public baru lagi berdasarkan jaringan pengguna yang bersangkutan.
Dengan rendahnya minat baca pengguna Indonesia, konten multimedia merupakan konten yang menarik untuk disimak dan dibagikan. Meskipun beberapa pengguna juga masih tertarik untuk membagikan konten yang berupa jurnalisme online (teks dan gambar). Namun ternyata tetap saja menciptakan ruang public baru pada akun penggunanya dimana ini merupakan karakteristik dari media baru; interaktivitas.
Selain pengguna secara pribadi yang turut menyebarkan konten jurnalisme multimedia, ada pula akun anonym yang menyebarkan konten. Motifnya bisa berbagai macam, keberpihakannya pun bisa kemana saja, begitu pula kepentingannya. Namun, isu public yang dibagikan oleh akun anonym atau akun aktivis tersebut, baik sebagai kritikan maupun persetujuan, selalu membentuk ruang public baru.
Sebagai contoh adalah dalam akun resmi line Amazing video yang membagikan video tentang kopi jawa yang dibuat oleh akun instagram opini.id. dan kiriman tersebut masih dapat dibagikan lagi oleh akun lain maupun pengguna secara pribadi.
Bagian yang menyedihkan adalah jika konten jurnalistik tersebut membentuk ruang public yang tidak cerdas. Karena kurangnya minat baca beberapa pengguna Indonesia, mereka hanya asal menerima dan percaya pada informasi yang dibagikan tanpa mencari konfirmasi atau sumber berita yang lain. Kemalasan pengguna untuk membaca membuatnya terlena dengan asyiknya mengkonsumsi konten multimedia tanpa perlu mencari literasi tambahan. Hal ini bisa menjadi salah satu kelebihan sekaligus kekurangan jurnalisme multimedia; dimana kemasannya lebih menarik untuk dikonsumsi tapi sekaligus memupuk kemalasan pengguna untuk membaca.
Efek selanjutnya adalah pengguna yang hanya asal terima tadi membentuk ruang public baru, dimana diantara pengguna dalam jaringan ruang tersebut terdapat pengguna yang juga asal terima. Hal ini akan berakibat pada kesesatan informasi dan berpotenmsi menimbulkan berita bohong hingga konten kebencian. Namun itu bukan berarti konten jurnalisme multimedia dominan berpotensi buruk. Semua kembali pada pengguna untuk bijak dan bersikap kritis terhadap konten media manapun, tidak asal menerima dan mengamini tapi juga berfungsi kritik.
Kredibilitas jurnalisme multimedia juga masih perlu ditinjau. Sebagai pengguna aktif berhak untuk mendapatkan informasi yang berkualitas. Namun pengguna juga kadang masih sulit untuk membedakan produsen konten yang kredibel dengan yang hanya asal menarik. Karena terkadang ada kiriman pada linimasa yang terlihat menarik namun ternyata hanya berisi hal tidak penting. Pengguna banyak yang membagikan ulang kiriman tersebut hanya karena kemasannya menarik. Tapi ada juga kiriman yang sebetulnmya berisi konten penting yang disajikan dengan kemasan multimedia sekedarnya. Perlu diingat lagi bahwa bukan hal mudah untuk memproduksi sekaligus kemasan menarik dan konten yang berkualitas. Semua itu memerlukan kemampuan khusus yang mumpuni. Dalam hal ini, pengguna diharapkan teliti dalam memilih informasi dengan tidak hanya berdasarkan kemasan saja namun juga urgensi dan akurasi informasinya.
Proses distribusi konten berita dengan menggunakan jurnalisme multimedia bukanlah satu-satunya kemasan yang dibuat oleh produsen media. Aplikasi berita juga merupakan kemasan lain yang dilakukan produsen media. Namun sebetulnya keberadaan aplikasi berita tersebut hanya memindahkan konten yang terdapat pada website ke aplikasi dengan navigasi yang lebih mudah. Segala bentuk konten dari yang sekedar teks hingga multimedia dan hiperteks disatukan dalam naungan aplikasi portal berita. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjawab kemajuan teknologi media baru.
Dengan aplikasi portal berita, berbagai macam bentuk konten hingga navigasi dan fasilitas interaktivitas pengguna makin dimanjakan. Akses informasi menjadi lebih cepat dengan aplikasi, dan lagi tidak banyak terganggu dengan iklan. Beberapa aplikasi memasang iklan pada aplikasinya, namun sebagian lainnya tidak.
Sebagai contoh aplikasi berita tirto.id yang mengumpulkan grafik, video, foto, tulisan hingga hyperlink pada aplikasinya. Meskipun demikian, tirto.id tidak menyertakan iklan pada aplikasinya. Iklan hanya ada pada website resminya sebagai salah satu kebijakan redaksi untuk menerima iklan. aplikasi ini juga menyediakan fitur berbagi dengan media sosial, sehingga pengguna dapat membagikannya pada akun pribadinya. Aplikasi ini masih menyediakan fasilitas interaktif bahkan untuk membentuk ruang public.
Ruang public yang tercipta dari segala kegiatan pengguna media baru tersebut sedikit berbeda dengan ruang public yang dikemukakan oleh Habermas. Dimana ruang public Habermas cenderung pada ruang public yang sengaja dibuat secara institusional sedangkan ruang public pada media beru cenderung tercipta tanpa sengaja oleh pengguna. Meskipun demikian, ruang public yang tercipta oleh karena aktivitas pengguna ini masih memiliki esensi yang sama dengan Habermas. Karena ruang public pada media baru sama sama membahas isu public yang beredar dari sudut pandang manapun dan dengan asas kebebasan berpendapat dengan bantuan media.
Dapat disimpulkan bahwa ruang public yang tercipta sebagai akibat dari interaktivitas media baru khususnya jurnalisme multimedia memerlukan kebijaksanaan dari penggunanya. Ketelitian dan kekritisan pengguna sangat dibutuhkan dalam penggunaan fitur berbagi pada media. Jika kurang bijaksana, konten yang dibagikan dapat menjadi salah paham alih-alih personal branding yang baik. Selain itu hendaknya tidak malas untuk mencari sumber berita lain untuk melengkapi sudut pandang informasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari informasi yang berat sebelah. Karena dalam media baru khalayak tidak lagi audiens yang hanya mengkonsumsi, tapi adalah pengguna yang juga memproduksi konten media. Sehingga ada baiknya untuk menyeimbangkan informasi yang hendak disebarkan.
Sesuai dengan sifat komunikasi yaitu tidak dapat ditarik kembali, berita yang dibagikan ulang meskipun dapat dihapus namun tetap meninggalkan jejak pada linimasa. Bijaksana dalam membagikan berita, mencantumkan sumber, dan menuliskan caption dapat mengurangi kesalahpahaman antar pengguna. Budayakan bijaksana dalam setiap ruang public yang ada.
Sumber :
Golding, Peter & Graham Murdock. (1997). The Political Economy of the Media. Volume II.
Cheltenham, UK: An Elgar Reference Collection.
http://www.komunikasipraktis.com/2013/03/pengertian-jurnalisme-dan-jurnalistik.html?m=1
Lister, Martin, Jon Dovey, Seth Giddings, Iain Grant, & Kieran Kelly. (2009). New Media A Critical Introduction. Volume II.
NY, USA: Routledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H