Bagian yang menyedihkan adalah jika konten jurnalistik tersebut membentuk ruang public yang tidak cerdas. Karena kurangnya minat baca beberapa pengguna Indonesia, mereka hanya asal menerima dan percaya pada informasi yang dibagikan tanpa mencari konfirmasi atau sumber berita yang lain. Kemalasan pengguna untuk membaca membuatnya terlena dengan asyiknya mengkonsumsi konten multimedia tanpa perlu mencari literasi tambahan. Hal ini bisa menjadi salah satu kelebihan sekaligus kekurangan jurnalisme multimedia; dimana kemasannya lebih menarik untuk dikonsumsi tapi sekaligus memupuk kemalasan pengguna untuk membaca.
Efek selanjutnya adalah pengguna yang hanya asal terima tadi membentuk ruang public baru, dimana diantara pengguna dalam jaringan ruang tersebut terdapat pengguna yang juga asal terima. Hal ini akan berakibat pada kesesatan informasi dan berpotenmsi menimbulkan berita bohong hingga konten kebencian. Namun itu bukan berarti konten jurnalisme multimedia dominan berpotensi buruk. Semua kembali pada pengguna untuk bijak dan bersikap kritis terhadap konten media manapun, tidak asal menerima dan mengamini tapi juga berfungsi kritik.
Kredibilitas jurnalisme multimedia juga masih perlu ditinjau. Sebagai pengguna aktif berhak untuk mendapatkan informasi yang berkualitas. Namun pengguna juga kadang masih sulit untuk membedakan produsen konten yang kredibel dengan yang hanya asal menarik. Karena terkadang ada kiriman pada linimasa yang terlihat menarik namun ternyata hanya berisi hal tidak penting. Pengguna banyak yang membagikan ulang kiriman tersebut hanya karena kemasannya menarik. Tapi ada juga kiriman yang sebetulnmya berisi konten penting yang disajikan dengan kemasan multimedia sekedarnya. Perlu diingat lagi bahwa bukan hal mudah untuk memproduksi sekaligus kemasan menarik dan konten yang berkualitas. Semua itu memerlukan kemampuan khusus yang mumpuni. Dalam hal ini, pengguna diharapkan teliti dalam memilih informasi dengan tidak hanya berdasarkan kemasan saja namun juga urgensi dan akurasi informasinya.
Proses distribusi konten berita dengan menggunakan jurnalisme multimedia bukanlah satu-satunya kemasan yang dibuat oleh produsen media. Aplikasi berita juga merupakan kemasan lain yang dilakukan produsen media. Namun sebetulnya keberadaan aplikasi berita tersebut hanya memindahkan konten yang terdapat pada website ke aplikasi dengan navigasi yang lebih mudah. Segala bentuk konten dari yang sekedar teks hingga multimedia dan hiperteks disatukan dalam naungan aplikasi portal berita. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjawab kemajuan teknologi media baru.
Dengan aplikasi portal berita, berbagai macam bentuk konten hingga navigasi dan fasilitas interaktivitas pengguna makin dimanjakan. Akses informasi menjadi lebih cepat dengan aplikasi, dan lagi tidak banyak terganggu dengan iklan. Beberapa aplikasi memasang iklan pada aplikasinya, namun sebagian lainnya tidak.
Sebagai contoh aplikasi berita tirto.id yang mengumpulkan grafik, video, foto, tulisan hingga hyperlink pada aplikasinya. Meskipun demikian, tirto.id tidak menyertakan iklan pada aplikasinya. Iklan hanya ada pada website resminya sebagai salah satu kebijakan redaksi untuk menerima iklan. aplikasi ini juga menyediakan fitur berbagi dengan media sosial, sehingga pengguna dapat membagikannya pada akun pribadinya. Aplikasi ini masih menyediakan fasilitas interaktif bahkan untuk membentuk ruang public.
Ruang public yang tercipta dari segala kegiatan pengguna media baru tersebut sedikit berbeda dengan ruang public yang dikemukakan oleh Habermas. Dimana ruang public Habermas cenderung pada ruang public yang sengaja dibuat secara institusional sedangkan ruang public pada media beru cenderung tercipta tanpa sengaja oleh pengguna. Meskipun demikian, ruang public yang tercipta oleh karena aktivitas pengguna ini masih memiliki esensi yang sama dengan Habermas. Karena ruang public pada media baru sama sama membahas isu public yang beredar dari sudut pandang manapun dan dengan asas kebebasan berpendapat dengan bantuan media.
Dapat disimpulkan bahwa ruang public yang tercipta sebagai akibat dari interaktivitas media baru khususnya jurnalisme multimedia memerlukan kebijaksanaan dari penggunanya. Ketelitian dan kekritisan pengguna sangat dibutuhkan dalam penggunaan fitur berbagi pada media. Jika kurang bijaksana, konten yang dibagikan dapat menjadi salah paham alih-alih personal branding yang baik. Selain itu hendaknya tidak malas untuk mencari sumber berita lain untuk melengkapi sudut pandang informasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari informasi yang berat sebelah. Karena dalam media baru khalayak tidak lagi audiens yang hanya mengkonsumsi, tapi adalah pengguna yang juga memproduksi konten media. Sehingga ada baiknya untuk menyeimbangkan informasi yang hendak disebarkan.
Sesuai dengan sifat komunikasi yaitu tidak dapat ditarik kembali, berita yang dibagikan ulang meskipun dapat dihapus namun tetap meninggalkan jejak pada linimasa. Bijaksana dalam membagikan berita, mencantumkan sumber, dan menuliskan caption dapat mengurangi kesalahpahaman antar pengguna. Budayakan bijaksana dalam setiap ruang public yang ada.
Sumber :
Golding, Peter & Graham Murdock. (1997). The Political Economy of the Media. Volume II.