Tuhan meninggalkan singgasananya sebentar. Berjalanlah Ia ke belakang istana-Nya yang megah bertaburkan emas dan permata menuju tempat paling sakral di seluruh surga. Langkah kakinya pelan namun mantap.
Jika dia berjalan di tanah bumi, mungkin si kuat pohon beringin dan si tinggi hati pohon kelapa akan segara merunduk. Gunung-gunung nan jumawa akan kehilangan harga dirinya. Ombak-ombak yang makin cerewet ketika matahari mulai tenggelam pun pasti terdiam hening.
Para Serafim yang senantiasa berada di sisinya hanya bisa bertanya-tanya “ke mana Tuan kita ini melangkah?”. Serafim lainnya menggelengkan kepala karena tak tahu apa yang ada di belakang singgasana.
“Pernahkah kau melihat ada apa di belakang singgasana?” tanya seorang Serafim
“Entahlah, aku ingin memastikan” jawab yang Serafim ada di pojok kanan baris terdepan
“Yakin kah kau? Bagaimana kalau Dia nanti marah?” tanya Serafim yang pertama kali punya rasa kepo dari dalam dirinya.
“Tuan kita marah? Yang benar saja kamu. Hanya yang bodoh yang merasa Tuan kita ini pemarah”, jawab Serafim pojok lagi.
“Kau, malaikatku yang berani ingin mencari tahu apa yang ada di sini maka kemarilah”, suara Tuhan yang agung mengejutkan para Serafim dari belakang istana yang menunjukkan betapa besar kuasa-Nya..
Hanya dia yang berani bertanya yang akan mendapatkan jawaban Tuhan. Maka sang Serafim yang berani memastikan akan mendapat jawaban. Berjalanlah ia naik ke sebelah singgasana.
Ia terus melangkah ke belakang istana dan mendapati sebuah ruang sakral nan agung di sana. Pintunya tinggi sekali berlambangkan 2 bentuk aneh yang sama sekali tidak bisa dia mengerti.
Di sisi kiri terlihat seperti sebuah kepala dengan badan nan kekar dengan pedang di tangannya. Di sisi kiri dia seperti melihat sebuah kasih yang tiada tara yang membawa lilin kecil. Ia semakin bingung dengan pintu ini. Ruang apa sebenarnya?