Pria itu menghela napas panjang, memandang ke arah air yang mengalir di kanal di sampingnya. "Dosa terbesarku adalah mengetahui rahasia yang tidak diinginkan oleh para Dewa untuk diketahui siapa pun. Rahasia yang jika terungkap, akan mengguncang seluruh dunia. Dan mereka yang memiliki kekuasaan tak akan segan-segan menghapus siapa pun yang bisa mengungkap kebenaran itu."
Jiyan menatap pria itu dengan intensitas yang mendalam. Ia tahu bahwa di dunia ini, para Dewa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, namun mereka juga menyimpan banyak rahasia. Kebenaran yang mereka sembunyikan adalah sesuatu yang begitu dalam, begitu gelap, sehingga tak seorang pun diizinkan mendekatinya.
"Jadi, apa rahasia yang kau sembunyikan itu?" tanya Jiyan, mencoba mencari tahu lebih lanjut.
Pria itu terdiam sesaat, tatapannya tajam namun penuh keraguan, seakan mengukur apakah Jiyan layak untuk mengetahui hal ini.
"Rahasia yang kusimpan ini adalah tentang dunia yang kita huni, tentang para Dewa yang kalian anggap. Mereka hanyalah pion dalam permainan besar yang dijalankan oleh entitas yang lebih kuat, lebih kuno," bisik pria itu. "Dewa Air, yang begitu kau percayai, hanyalah salah satu dari mereka yang bersedia menyerahkan rakyatnya untuk permainan ini. Dalam dunia ini, bahkan jiwa-jiwa kita adalah bahan bakar bagi ambisi kekuasaan."
Verina menelan ludah, wajahnya pucat. "Jadi... maksudmu, Dewa kita tidak benar-benar melindungi kita?"
Pria itu mengangguk pelan. "Mereka berusaha, beberapa dari mereka mungkin tulus. Tetapi ketika kekuasaan lebih diutamakan daripada jiwa, maka tak ada yang benar-benar aman. Di antara Dewa itu, hanya sedikit yang masih peduli dengan kehidupan manusia. Kebanyakan dari mereka telah menyerah pada permainan yang dijalankan oleh prinsip surgawi, dan mereka tidak lebih dari bidak yang bergerak mengikuti aturan."
Jiyan merasa dadanya sesak, merasakan kebenaran yang pahit dari kata-kata pria itu. Ia tahu bahwa dunia ini penuh dengan misteri yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan, tetapi mendengar kebenaran yang begitu dingin tetap mengguncang hatinya.
"Aku tahu bahwa sekarang kalian mungkin bingung dan marah," lanjut pria itu. "Tetapi apa yang kalian lakukan setelah ini terserah pada kalian. Aku hanya berharap... bahwa pada akhirnya, kalian bisa melihat dunia ini dengan mata terbuka, bukan melalui lensa kepalsuan yang mereka ciptakan."
Dengan kata-kata terakhir itu, pria tersebut melangkah mundur, memudar dalam kegelapan lorong, seolah-olah ia hanyalah bayangan yang muncul dan menghilang dalam sekejap. Jiyan dan Verina hanya berdiri di sana, terpaku, mencoba mencerna semua yang baru saja mereka dengar.
Setelah hening yang panjang, Verina akhirnya berbicara dengan suara bergetar, "Jiyan, apakah kita benar-benar bisa mempercayai kata-katanya? Apa yang harus kita lakukan?"