Lalu yang terakhir ada bagian "menerima ADHD", bagian ini berfokus pada para pengidap ADHD itu sendiri. Mengenai bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka sebaik mungkin meskipun dengan kondisi yang mereka punya. Subjek-subjek atau narasumber pada bagian ini utamanya adalah anak-anak dari berbagai kalangan umur, tapi juga ada beberapa "artis-artis sukses" yang ternyata juga mengidap ADHD. Cerita mereka digunakan sebagai sebuah bukti nyata kalau ADHD bukanlah suatu kelainan, melainkan sebuah aset yang bisa membantu mereka menggapai prestasi. Jadi, mise-en-scne yang dihasilkan pada bagian ini tidak terlalu jauh berbeda dengan mise-en-scne yang sudah dijelaskan pada bagian pertama, karena tentu saja lingkungan anak tersebut pasti tak akan jauh berbeda dari lingkungan keluarganya.Â
Namun yang jadi pembeda adalah para narasumber "artis-artis sukses" nya. Pertama ada dari segi wardrobe, para narasumber artis memiliki mise-en-scne wardrobe yang bia dibilang unik keimbang narasumber-narasumber yang lain. Karena di satu sisi, mereka tahu kalau mereka hanya sedang melakukan wawancara santai, sehingga pakaian yang mereka pakai hanyalah pakian sehari-hari. Namun di sisi lain, kedudukan atau posisi mereka dalam kasta sosial tetap terasa seacara jelas melalui pakaian mereka yang tetap memiliki kelas walaupun hanya sebuah pakaian santai. Lalu penggunaan color palette hitam sebagai warnca background mereka juga memberikan kesan glamour.Â
Lalu ada satu aspek artistik yang menurut penulis menjadi keunikan mise-en-scne dari film ini. Yaitu penggunaan animasi sebagai penegas pernyataan atau sebagai rekonstruksi cerita. Sebagai penegas pernyataan, penggunaan animasi merupakan pilihan yang tepat karena tak hanya penonton bisa terpancing atensinya dengan visualisasi yang menarik, hal tersebut juga bisa jadi suatu bentuk validasi bagi pernyataan dari narasumber. Lalu ada juga penggunaan animasi ketika film berusaha merekonstruksi kejadian lalu dari si anak kecil, tak hanya ini menjadi suatu cara yang menarik untuk memvisualisasikan cerita dari narasumber, tapi keputusan artistik untuk menggunakan animasi sebagai medianya merupakan keputasan yang tepat karena hal tersebut sangat merefleksikan narasumber yang masih anak-anak. Animasi-animasi ini juga bisa ditafsirkan sebagai imajinasi dari pengidap ADHD, sehingga bisa terkomunikasikan kalau terdapat suatu keindahan dari kondisi yang mereka miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H