The Disruptors adalah film dokumenter rilisan tahun 2022 yang disutradarai oleh Stephanie Soechtig. Film ini berfokus dalam mengeksplor sifat dari ADHD itu sendiri, dimana berfokus kepada suatu perspektif kalau ADHD bukanlah suatu halangan, melainkan suatu aset bagi kehidupan. Dengan mengajak narasumber-narasumber pengidap ADHD yang sudah sukses dalam kehidupannya, film ini berusaha menyampaikan cerita-cerita mereka dalam hidup dengan ADHD serta perjuangan mereka dalam menghadapi segala persepsi dan miskonsepsi yang lingkungan terhadap kondisi mereka.Â
Tidak mudah dalam menganalisis aspek mise-en-scne dalam film dokumenter ketimbang film fiksi, meskipun demikian tetap ada beberapa aspek mise-en-scne yang dijaga atau dibuat filmmaker dokumenter untuk memberikan pesan tersirat atau hanya untuk sekedar menguatkan kedudukan atau cerita narasumber. Untuk memudahkan analisis, penulisakan mengkategorikan setiap mise-en-scne berdasarkan pembagian konteks naratif film yaitu ada tentang "Kehidupan dengan ADHD", "Mempelajari ADHD", dan "Menerima ADHD". Setiap konteks naratif memiliki fokus bahasan serta partisipan atau narasumber yang berbeda sehingga menghasilkan mise-en-scne yang beragam pula.Â
Living With ADHD
Pada bagian ini, film berfokus pada pengalaman serta cerita dari berbagai keluarga yang dimana salah satu anggota keluarga mereka mengidap ADHD. Jadi mise-en-scne yang dihasilkan pada bagian ini adalah bagaimana keadaan rumah, keseharian dari sebuah keluarga, dimana pastinya lebih berfokus kepada kenyamanan atau kesantaian yang sangat merefleksikan keluarga. Hal-hal tersebut dimunculkan dengan penggunaan color palette yang cerah dan warm, pakaian yang digunakan oleh para narasumber atau partisipan juga merupakan pakian sehari-sehari, dan juga banyak menggunakan teknik kamera hand-held ketika menunjukkan beberapa aktivitas tertentu yang memberikan kesan personal terhadap beberapa adegan.Â
Learning ADHDÂ
Lalu bagian selanjutnya ada "mempelajari ADHD". Pada bagian ini, film berusaha untuk menjelaskan serta mengedukasi penonton mengenai ADHD, Mulai dari gejala-gejalanya, bentukan kondisinya, hingga berbagai cara untuk mengurus mereka yang mengidap ADHD. Jadi tentunya narasumber atau partisipan yang ditunjukkan adalah ahli-ahli yang emiliki kompetensi di bidang ADHD, seperti psikolog, penulis buku, dan penggiat atau pendiri komunitas ADHD. Mise-en-scne yang paling utama atau menonjol pada bagian ini tentu saja dari aktor atau narasumber itu sendiri. Dimana para narasumber berbicara dan cara mereka menyampaikan suatu pernyataan secara lebih teratur dan terstruktur, merefleksikan sisi keprofessionalan mereka.Â
Terlepas dari subjek, mise-en-scne mengenai keprofessionalan dan keformalan para narasumber yang terbentuk pada bagian ini juga didukung oleh wardrobe, prop, color palatte, serta set atau latar tempat para narasumber. Dimana dari segi wardrobe, setiap narasumber berpakaian dengan formal seperti mengenakan kemeja, setelan jas, atau bahkan dress bagi yang perempuan. Lalu prop yang sering-kali dimunculkan adalah buku-buku menguatkan serta merefleksikan latar belakang pendidikan dari narasumber. Lalu warna dominan pada bagian ini adalah warna putih, hal ini dikarenakan putih memberikan kesan keformalan dan ketepatan. Lalu terakhir ada mise-en-scne yang terbentu dari set lokasi narasumber, dimana set nya menggunakan ruang kantor. Hal-hal tersebut-lah yang menjadi sebuah validasi kepada penonton terhadap kedudukan para narasumber sebagai ahli dan penyokong informasi.Â
Accepting ADHDÂ
Lalu yang terakhir ada bagian "menerima ADHD", bagian ini berfokus pada para pengidap ADHD itu sendiri. Mengenai bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka sebaik mungkin meskipun dengan kondisi yang mereka punya. Subjek-subjek atau narasumber pada bagian ini utamanya adalah anak-anak dari berbagai kalangan umur, tapi juga ada beberapa "artis-artis sukses" yang ternyata juga mengidap ADHD. Cerita mereka digunakan sebagai sebuah bukti nyata kalau ADHD bukanlah suatu kelainan, melainkan sebuah aset yang bisa membantu mereka menggapai prestasi. Jadi, mise-en-scne yang dihasilkan pada bagian ini tidak terlalu jauh berbeda dengan mise-en-scne yang sudah dijelaskan pada bagian pertama, karena tentu saja lingkungan anak tersebut pasti tak akan jauh berbeda dari lingkungan keluarganya.Â
Namun yang jadi pembeda adalah para narasumber "artis-artis sukses" nya. Pertama ada dari segi wardrobe, para narasumber artis memiliki mise-en-scne wardrobe yang bia dibilang unik keimbang narasumber-narasumber yang lain. Karena di satu sisi, mereka tahu kalau mereka hanya sedang melakukan wawancara santai, sehingga pakaian yang mereka pakai hanyalah pakian sehari-hari. Namun di sisi lain, kedudukan atau posisi mereka dalam kasta sosial tetap terasa seacara jelas melalui pakaian mereka yang tetap memiliki kelas walaupun hanya sebuah pakaian santai. Lalu penggunaan color palette hitam sebagai warnca background mereka juga memberikan kesan glamour.Â
Lalu ada satu aspek artistik yang menurut penulis menjadi keunikan mise-en-scne dari film ini. Yaitu penggunaan animasi sebagai penegas pernyataan atau sebagai rekonstruksi cerita. Sebagai penegas pernyataan, penggunaan animasi merupakan pilihan yang tepat karena tak hanya penonton bisa terpancing atensinya dengan visualisasi yang menarik, hal tersebut juga bisa jadi suatu bentuk validasi bagi pernyataan dari narasumber. Lalu ada juga penggunaan animasi ketika film berusaha merekonstruksi kejadian lalu dari si anak kecil, tak hanya ini menjadi suatu cara yang menarik untuk memvisualisasikan cerita dari narasumber, tapi keputusan artistik untuk menggunakan animasi sebagai medianya merupakan keputasan yang tepat karena hal tersebut sangat merefleksikan narasumber yang masih anak-anak. Animasi-animasi ini juga bisa ditafsirkan sebagai imajinasi dari pengidap ADHD, sehingga bisa terkomunikasikan kalau terdapat suatu keindahan dari kondisi yang mereka miliki.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI