Sebagai remaja yang hidup di abad ke-21, saya melihat industri film Indonesia sudah semakin maju dalam banyak hal: sinematografi, musik, teknik narasi, dan bahkan dialog. Niatan saya bukan ingin membandingkan film-film yang ada di jaman ini dengan jaman misalnya tahun 1950 hingga 1980an, karena masing-masing era memiliki masa emasnya sendiri. Ditambah film itu masalah selera dan rasa tiap orang, jadi saya gak mau bilang film jaman ini relatif lebih baik dari film di jaman lain.
Setidaknya ada tiga film yang jadi perhatian saya di daftar box office minggu ini: Aku Ingin Ibu Pulang, Surat Untukmu, dan Ini Kisah Tiga Dara, dan pilihan saya jatuh ke film terakhir. Saya tertarik karena ini adalah film remake atau yang terinspirasi dari film Tiga Dara tahun 1956. Kapan lagi? Pikir saya. Posternya yang penuh warna, sedikit futuristik, ditambah disain judulnya yang retro-looking, membuat saya langsung memilihnya tanpa pikir dua kali. Belum lagi melihat nama Nia Dinata di posisi sutradara, wah udah deh hehe. Dan benar saja, saya tidak kecewa dibuatnya.
Dan inilah beberapa alasannya:
- Cerita
Dari Arisan! dan Arisan! 2, saya langsung jatuh cinta dengan karya-karya Nia Dinata. Ia banyak mengangkat isu-isu yang belum terekspos atau dianggap tabu atau mungkin "pamali" oleh sebagian orang awam yang juga penikmat film. Di film Ini Kisah Tiga Dara, isu keluarga, kepercayaan, dan kemandirian perempuan menjadi poin sentral. Masing-masing isu itu kemudian dapat dikemas dengan baik tanpa kesan menasihati melalui cara yang tidak kaku.
Gendis (Shanty Paredes) sebagai anak pertama yang mendominasi dua adiknya, Ella (Tara Basro) dan Bebe (Tatjana Akman), bisa dibilang adalah perwakilan perempuan umur 30-an yang independen dan ingin "serba sendiri." Sementara Ella, sebagai anak kedua, adalah perwakilan mereka yang butuh pengakuan dari anggota keluarganya, bahwa ia bisa melakukan sebaik dan setelaten kakaknya. Ia juga digambarkan selalu tak mau kalah dalam persaingan dengan kakaknya menggaet Yudha (Rio Dewanto). Semuanya ia anggap kompetisi yang harus ia menangkan. Terakhir, Bebe adalah gambaran perempuan muda yang masih senang bermain-main dengan kehidupan cintanya, seperti kebanyakan cewek-cewek 19 tahun, tapi untungnya, percaya bahwa apa yang dilakukannya akan berujung pada konsekuensi yang entah menguntungkannya atau malah membahayakannya.
Tiga karakter ini bisa dibilang wakil bagi perempuan-perempuan abad ke-21 di Indonesia. Punya bisnis sendiri, hidup sendiri, atau berpacaran dengan orang asing, terlepas dari tuntutan sosial, atau tuntutan "Oma", yang mengekang mereka, dan Nia Dinata berhasil mengeksplor karakter-karakter ini dalam porsi yang pas.
- Sinematografi
Setelah Petualangan Sherina (2000), Ini Kisah Tiga Dara menawarkan sinematografi yang epik! Mengambil latar tempat di Maumere, sebuah kabupaten di pulau Flores, film ini sudah punya nilai jual lebih tak hanya di mata orang Indonesia tapi juga di mata orang asing. Hampir di sepanjang film tampak lanskap luas pegunungan atau laut khas Nusa Tenggara Timur yang membentang dari kiri ke kanan layar bioskop. Jika mungkin orang asing sudah bosan dengan fakta bahwa Indonesia adalah Bali dan sebaliknya, maka kini mereka sudah punya referensi lebih.
Berbagai lokasi di Maumere seperti Gereja Katolik di Kabupaten Sikka, lalu Pasar Alok atau Pasar Geliting, dan Lepo Gete atau rumah besar panggung khas Sikka, benar-benar memanjakan mata. Montage-montage yang ditampilkan membuat saya sadar: wah ternyata Indonesia punya yang begini? Hehe.
- Musik
Karena ini film musikal, tentu musik jadi salah satu elemen yang sangat penting. Dari awal, penonton disuguhkan dengan penampilan Oma (Titiek Puspa) dengan sentuhan manis piano dan violin, berbarengan dengan musik bertempo sedang a la broadway yang dibawakan oleh "tiga dara" dalam taksi yang sedang menuju rumah omanya. Aghi Narottama dan Bembi Gusti sebagai penggubah musiknya, membuat lagu-lagu di sepanjang film pas dengan sequence yang sedang terjadi, sehingga musik dan adegannya bisa dinikmati dengan porsi yang pas. Ditambah juga dengan lirik yang padan, lagu-lagu yang dibawakan sepanjang film sudah jadi kebahagiaan tersendiri untuk penonton.
Lagu favorit saya adalah lagu duetnya Tara Basro dan Reuben Alishama. Mengambil tempat di sebuah bungalow atas air, penampilan mereka berdua mungkin bisa langsung masuk ke deretan adegan paling romantis di sejarah film Indonesia. Saya tak menyangka juga Reuben ternyata punya suara emas. Diiringi dengan petikan gitar akustik, suaranya terdengar matang untuk ukuran vokal pria.
Shanti memang tak diragukan lagi kemampuan vokalnya karena ia memang penyanyi. Begitu pula Titiek Puspa yang sudah jauh lebih senior dalam industri tarik suara. Yang agak mengejutkan adalah Tara dan Tatjana. Penampilan perdana mereka berdua di film musikal memang menjadi sedikit "gebrakan" di antara deretan aktris yang lain dalam film ini. Namun begitu, pembawaan mereka yang percaya diri ditambah koreografi yang manis, membuat kekurangan yang ada jadi kabur.
- Dialog
Masih setia dengan penggunaan dialog kelas menengah atas yang sehari-hari, Nia berhasil melakukannya lagi. Setidaknya ada lima bahasa yang digunakan di film ini: Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda (mungkin), Flores, dan Sunda. Dan bagi saya, kelima-limanya digunakan dengan baik dan tepat. Saya bilang begitu karena jarang sekali saya menonton film Indonesia yang kerap menggunakan bahasa asing atau campur Inggris-Indonesia atau sebaliknya (zig-zag) yang penggunaan nada atau intonasinya kurang tepat, sehingga penonton pun jadi mengerutkan dahi: ini dia mau ngomong apa sih? Namun, itu tidak berlaku bagi film ini.
Titiek Puspa lah yang sepertinya paling banyak menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah (Jawa halus) ke dalam dialognya. Beberapa kali terdengar ia menyebut tiga dara dengan panggilan berbunyi [syekhe]. Awalnya saya bingung tapi untunglah ada translasi bahasa Inggris dan Indonesia di bawah layar, sehingga artinya menjadi jelas. Hampir seluruh aktor di film ini dituntut menggunakan bahasa Inggris dalam dialognya, dan semuanya terdengar natural.
Terakhir, saya perlu bilang bahwa ini adalah jenis film seperti ini adalah jenis film yang jarang dibuat di Indonesia. Film komedi drama musikal yang tak hanya beralur "awal berantem akhirnya jadian" tapi juga yang mampu mengangkat hal-hal yang belum pernah dilihat orang atau dianggap remeh. Ini Kisah Tiga Dara, dengan begitu, menawarkan apa yang film-film Indonesia belum pernah tawarkan sebelumnya. Dengan cerita yang mengangkat isu keseharian dan "begitulah adanya", sinematografi yang menampilkan wajah baru "citra" Indonesia, musik dan lagu yang digubah tanpa mengabaikan rasa dalam segmen filmnya, serta dialog yang cerdas dan tak muluk-muluk, saya bisa bilang:
Ini Kisah Tiga Dara telah menorehkan catatan baru dalam sejarah industri perfilman Indonesia. Selamat!
Sumber:
http://www.pesona.co.id/read/nia-dinata-rilis-ost-ini-kisah-tiga-dara-
juga dipublikasikan di blog pribadi saya di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H