Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia-Manusia

16 Februari 2016   10:01 Diperbarui: 16 Februari 2016   16:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teras surau sudah ramai, dan celoteh orang-orang, tak laki tak perempuan, membuat suasana jadi heboh. Yang muda bercampur dengan yang muda, yang tua juga sama. Masing-masing kelompok bertukar cerita tentang hari-hari mereka. Ada yang penuh tawa, ada yang diam-diam saja. Tapi itu tak penting. Karena berada dalam kelompoklah yang membuat semuanya menjadi benar. Tujuh meter ke depan, sepuluh pemuda sudah siap dalam posisinya masing-masing. Sementara Petugas Burmeus sedang dibacakan jampi-jampi oleh Pengatas Bursan, sebelum kemudian siaga dengan betong dan pentungnya.

Saat Pengatas Jemawa menggaungkan takbir, jangkrik pun terdiam. Semua kesibukan, tukar salam, dan tukar celoteh, semua lesap ditelan khidmat. Kesunyian itu begitu hadir hingga membuatku sadar: sejak tadi aku tak melihat Jim. Yah, memang sepulang sekolah, ia belum lagi keluar rumah; padahal kutau ia biasa beli cah kangkung di seberang jalan rumahku untuk makan sore. Tapi entahlah. Aku sangsi.

“Allahu Akbar.” Semua tubuh merunduk. Aku kedapatan di saf kedua terakhir, jadi mungkin aku bisa melihat sarung Jim dari balik lututku. Maka pelan-pelan kulirik ke belakang; kucari warna khas sarungnya: akua. Mataku cepat menyapu sarung di saf belakang, tapi mendadak semua orang sudah berdiri tegak.

Di rakaat selanjutnya, sekelebat bayangan muncul dalam benakku. Bayangan yang diceritakan Jim tadi pagi. Bahwa ia datang dan berdiri tepat di belakangnya. Aku penasaran, dia berkata bohong atau jujur ya? Mendadak bulu kudukku merinding, meski tak terasa hawa dingin. Begitu juga di rakaat terakhir, rasa penasaran berubah menjadi rasa takut. Apa ya yang terjadi kalau habis salam nanti benar ada “ujung tombak” yang menusuk punggungku? Ah tapi itu tak mungkin. Itu takkan pernah terjadi. Kalau memang terjadi, si penusuk itu pasti akan langsung ditangkap dan digebuki. Tapi bagaimana mungkin? Ah, sungguh tak masuk akal! Aaaaaaaaa!

“Assalamualaikum warahmatullah.” Dua kali kupatahkan kepala, dan pertanyaan di dalamnya semakin banyak.

Apa Jim benar berbohong? Kalau iya, sungguh ia telah mempermalukan diri dan keluarganya. Parahnya lagi, aku percaya setiap kata yang dia ucapkan! Sinting! Dasar tukang khayal! Apa sebetulnya yang ada dalam kepalanya? Sepertinya memang dia terlalu rajin membaca buku agama, sampai khayalannya tentang sosok ini dan sosok itu sudah mencapai langit ke sekian! Lihat saja, Sabtu kliwon selanjutnya, aku akan berakting persis seperti apa yang Jim lakukan, dan orang-orang akan membicarakanku, lalu Karis akan jalan denganku, dan Remis akan menelan kesombongannya mentah-mentah. Ya! Akan kulakukan itu. Diam-diam, aku nyengir tak keruan, membayangkan betapa mulusnya rencana itu akan berjalan.

Hujan mendadak deras; aku jadi masygul. Beberapa orang yang sudah terlanjur keluar harus mempercepat kaki agar air tak menggerogoti bajunya. Tak lama setelah itu, angin bertiup kencang, tapi kemudian reda lagi. Di pintu surau, kulihat butir air yang bertengger di tepi atap selama sepersekian detik, sebelum kemudian jatuh dan bercampur dengan kubangan di tanah.

Satu per satu jamaah mulai bubar. Ada yang berdiam dulu, ada yang tengah membuka payung, dan ada yang nekat menerabas. Kulihat lagi selayang ke arah para pemuda Inggit itu, dan sungguh tak terduga mereka sedang melihat balik ke arahku. Dari kiri ke kanan, tatapannya serupa: menanti sesuatu, kecuali Kahlo. Ia membatu. Matanya tak mengedip melihatku; bibirnya terpisah jauh. Tampak Petugas Burmeus menghampirinya, dan satu tangannya mengangkat, meluruskan telunjuknya ke arahku. Seketika, semua orang melihat ke arahku dan tak ada reaksi apa-apa. Kahlo kemudian ber-istighfar dengan lantang, sukses melawan gemuruh yang baru saja mendamprat pohon pisang di samping surau, dan aku bisa mendengarnya.

Tiba-tiba, aku ingin pulang. Aku tak yakin apakah yang Kahlo tunjuk benar aku, atau orang lain, karena juga banyak orang yang tengah beranjak keluar surau. Tanpa tedeng aling-aling, kuseret langkahku dalam lumpur yang seolah menolakku untuk pergi. Aku terkejut benar ketika pandangan Kahlo dan Petugas Burmeus tidak lepas dari arah tubuhku. Aku tak peduli, aku harus segera tiba di rumah, mengerjakan tugas, dan pergi tidur.

Sandalku mendadak terasa berat, dan mendadak waktu berjalan begitu pelan. Kawung Nawula seperti bergerak dalam sebongkah siput raksasa. Berbungkus kain putih yang sudah kuyup, aku terus menerabas air, dan betapa kusadar air hujan bisa sebegini sakitnya menghantam ubun-ubun. Kulihat lagi, Kahlo seperti tak percaya apa yang dilihatnya. Ia terkesiap.

Tapi, tak kuhiraukan dia, karena seperti pemuda Inggit yang lainnya, aku tau aku baik-baik saja.

Aku memang baik-baik saja.

 

FEBRUARI 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun