Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia-Manusia

16 Februari 2016   10:01 Diperbarui: 16 Februari 2016   16:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandangan mulai bias, di dalam surau tertangkap dua-tiga sosok manusia yang masih salat, beberapa sudah dalam posisi sila. Satu orang tampak hendak pergi. Mataku sebenarnya sudah tak tahan melawan dingin dan angin, tapi air yang melindasnya memaksaku untuk membukanya besar-besar. Entah sudah berapa kali aku menguap sejak pertama kali berdiri di sini. Duh, cepatlah beres…

Pong! Pong! Pong!…

Bambu betong sudah terdengar. Tidak! Aku tak mau kembali lagi. Tugas sekolahku menggunung. Minggu depan ada janji kencan. Belum lagi sorenya mesti bantu Pa’ mengepak barang-barang untuk pindahan kerjanya. Sebelum itu aku harus terima tamu ibu tiriku yang katanya saudara jauhnya, sementara ia pergi belanja. Ah! Sungguh membuang-buang waktu jika harus menunggui orang salat di balik semak-semak saat hujan. Apa Para Pengatas tidak peduli kesehatanku dan lain-lainnya? Atau memang mereka tidak pernah peduli? Tak taulah. Pikiranku akhirnya jadi ke mana-mana. Walhasil di bunyi ke sembilan, kumantapkan diri: sesuatu harus terjadi malam ini. Kupejamkan mata dan berdoa dalam diam, berharap malam ini adalah malam finalku. Mendadak suara hujan menjelma jadi bunyi denting tajam yang entah menenangkan atau memekakkan telinga.

“ASTAGHFIRULLAH!” Jimbara mengagetkan kami semua, dan Petugas Burmeus segera menghampirinya. Semua menoleh ke arah mereka berdua, dan dari tempatku berdiri, mata Jim terbelalak, posisinya membeku, dan mulutnya setengah terbuka. Butuh lima detik untukku sadar bahwa ia belum mengedipkan mata. Yang lain akhirnya mendekat; aku mengintili.

“Bilang…” Petugas Burmeus berhati-hati, “kamu lihat apa?” dengan satu tangan tersampir di pundak Jim.

Tanpa bahasa, Jim mengangkat telunjuknya tepat ke depan, ke arah Pengatas Jemawa yang sedang membuka payung. Semua orang ikut melihat, dan hawa dingin menyumsum. Semua orang tak sabar menunggu apa yang sedang terjadi, apa yang dilihatnya, maka mereka menghindari banyak tanya. Hingga akhirnya Jim merapatkan bibir, “ba-ba-badannya…” dingin menjalar lagi, “berdarah...”

Semua terperanjat: antara kaget, ngeri, dan lega pada saat yang sama.

“D-da—" Jim berjuang, "dadanya bolong, Pak. Se-seperti habis ditikam berkali-kali.”

“Astaghfirullahal aziim,” Petugas Burmeus menundukkan kepala.

Sulit kubendung hasratku untuk diam saja dan tak bergerak lebih dekat ke Jimbara. Raut wajahnya masih sama seperti pertama kali kami melihatnya. Oh, tak ada yang lebih mengerikan dibandingkan menyaksikan pemandangan itu. Tapi, semua orang di sana tau, tak ada yang lebih menyiksa dibandingkan tau bahwa sebenarnya, di mata kami, tak ada yang salah pada tubuh Pengatas Jemawa.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun