“Jim?”
Ia menghela. Matanya jauh, menatap ruang kosong di bawahnya, dan aku berubah jadi hantu:
“Aku sebenernya gak mau cerita, Ruq. Tapi aku percaya kamu. Semalam sebelum nginggit, Bapakku marah besar. Ia lihat nilai rapot semesterku yang jeblok dan menyemprotku habis. Hanya satu nilai yang lulus: Agama Islam; sisanya, jangan ditanya. Beliau pun bilang bahwa kalau semester ini nilaiku masih pas-pasan, aku tak akan sekolah di sini lagi, entah di mana—beliau tidak bilang. Aku sangat sedih, dan tiap kali kucoba pejamkan mata, nilai-nilai jelek itu menggelayut di kelopak mataku sebelum tertutup penuh. Aku merasa telah membuat Bapak kecewa luar biasa. Jadi, aku hanya tidur ayam.
“Belum selesai, keesokan paginya sesuatu terjadi lagi. Karena telat bangun, aku subuh di rumah. Rakaat pertama, aku tak fokus. Sesuatu membuat ruanganku jadi dingin. Sesosok makhluk bertubuh dua kali dariku, berjubah hitam, dan bertongkat, berjalan pelan entah dari mana, dan berdiri tepat di belakangku. Ingin setengah mati aku tengok, tapi tentu, salatku akan batal. Seluruh bulu kudukku berdiri; dingin dan tajam. Baru kemudian kusadar, ujung tongkat makhluk itu ditempelkannya ke punggungku. Maka, pikiranku mulai liar. Saraf-sarafku seperti lepas tak terkendali.”
Perlu beberapa menit bagiku untuk mencerna ini semua. Aku tak yakin bisa tahan mendengarkan penjelasannya lebih lama lagi. Ia pun meneruskan:
“Setelah salam, ujung tombaknya menyusup masuk menembus dada, melumat habis sejumlah anak tulang punggung, limpa, hati, urat arteri, jantung, dan anak tulang rusukku, dalam satu gerakan yang supercepat. Tapi itu bukan bagian yang paling menyakitkan. Setelah pori-poriku robek, dan darah segar membuncah deras membasahi sajadah, ia tarik lagi tongkatnya. Dan sakitnya menjadi dua kali lebih parah.”
“Jim—Jim,” aku sungguh tak tahan, “istighfar, Jim!”
Sejurus air matanya tumpah, dan ia tumbang di pelukanku.
***
19.10. Dari jendela kamar, tampak tiga pemuda bergerombol untuk menjalani ritual malam ini. Beberapa dari mereka membawa payung, dan beberapa lagi tidak (karena tidak punya payung). Kulihat wajah mereka satu-satu: Mulut Kahlo tampak komat-kamit; aku tak bisa bilang apakah Kahlo sedang menggerutu kesal karena ini sudah keempat kalinya atau sedang berzikir. Ginggi sedang lompat-lompat kegirangan, mungkin karena ini pertama kalinya, dan Tresla—wajahnya tak begitu jelas karena ia tengah menjepit sarung dengan dagunya.
Azan pun didengarkan.