“Ruq, kalian semua sudah tertipu!” Remis memulai, tanpa sedikitpun menoleh ke arah yang diajak bicara.
“Tau dari mana?” kata-kataku bercampur dengan gilasan nasi panas dan seperempat telur rebus dalam mulut, sementara Pa’ dan ibu tiriku semangat memotong-motong paha ayam.
“Jangan asal ngomong, Mis,” kata Pa’, “salah-salah bicara di sini kamu tau sendiri.”
“Lho bukan, Pa’. Dia itu belum cukup lama ngintit. Baru empat kali. Lha tiap tahun anak-anak yang baru empat kali ngintit sangat sulit lewat, Pa’,” Remis bicara seperti Para Pengatas.
Pada kunyahan ke sekian, aku akhirnya mendongak, “jadi maksudmu?”
“Dia pasti curang!” nadanya naik lebih tinggi dari sebelumnya. “Wong aku saja harus ngintit sepuluh kali baru bisa lolos. Teman-temanku dulu tak ada yang bisa lewat di malam keempat. Mustahil.”
“Ah, itu memang sudah waktumu saja, Jim,” ibu tiriku, akhirnya, “tak bisa kamu samakan orang dengan sudut pandang begitu.”
Remis langsung membuang muka, “Ya ndak tau sih ya. Tapi kurasa si Jimbot kepingin cari sensasi saja. Jangan-jangan, orangtuanya sudah nyuapi Para Pengatas biar dia diloloskan.”
“Hus! Jangan ngelantur kamu!” sergah Pa’, membisukan semua. “Inggit Kawulan itu sangat sakral! Tau ndak? Yang kamu bilang itu penghinaan! Pengatas yang ngadakan, moso’ mereka juga yang melanggar? Seenak udel membiarkan ABG yang doyannya cengengesan, mesum, dan bicara ndak penting di telpon untuk urusan semacam ini? Bisa-bisa mereka dikutuk Gusti Aloh! Dilaknat sampai liang kuburnya!”
Denting tabrakan suara garpu dengan piring lesap bersama udara dingin. Selama lima detik, ruang makan menjadi kuburan.
“Benar kata Pa’mu, Mis,” ibu tiriku mencairkan, “Burmeus pasti tau kalau bocah-bocah Inggit itu melihat sesuatu. Tak boleh ada yang ragu soal itu.”