Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bom

16 Januari 2016   22:11 Diperbarui: 16 Januari 2016   22:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari sudah naik, dan aku belum juga salat subuh. Pada saat yang sama, aku juga harus siap-siap berangkat ke kantor. Dan ini sudah lewat lima belas menit. Sebentar lagi Afis akan bangun, dan aku belum masak apapun untuk sarapannya. Para tetangga ada yang tetap pada tempatnya. Sebagian yang lain langsung naik ke kendaraannya dan melengos pergi dengan tatapan takut ke arah rumah kami. Belum sampai kuberpikir lebih jauh, Afis muncul dari pintu depan. Mau tak mau, Mbak Lastri langsung membawanya masuk, lalu tak keluar lagi. Dan ketika Gambir menyadari hal itu, ia melesat pergi ke arah lapangan utama.

Jelas saja. Tak ada yang pernah datang ke sini. Masyarakat hanya datang kalau lomba agustusan tiba, atau saat pemilihan umum. Lebihnya, segerombolan ABG kampung biasa bermain bola hingga tak tau waktu. Tapi pagi itu, benar saja, kami jadi bintang dalam sekejap! Seperti magnet, orang-orang yang selama ini kami kenal, termasuk yang belum pergi kerja, para ahli masjid, guru PAUD dekat rumah, dan anak-anak dalam busana merah-putih, semua muncul, tak mau melewatkan momen berharga ini.

“Anjani!” mulai Gambir. “Kamu pulang saja! Di sini berbahaya!”

“Mas, kamu kenapa?” kataku, menjaga volume. “Sudah yuk, pulang! Bikin malu saja!” sambil menyodorkan tangan.

“Din,” intonasinya berubah; maka kupasang telinga baik-baik. “Aku—aku minta maaf.”

Sudah kuduga! Apa maksudnya? Apa dia sengaja membawaku ke tempat ini hanya untuk bersandiwara? Duh, aku benar-benar tak punya waktu! Tapi biarlah. Orang-orang sudah tau, bahwa ia sedang tak sehat. Jadi kurasa, akan lebih bijak kalau memanfaatkan momentum ini untuk membuktikan pada mereka semua bahwa suamiku baik-baik saja.

“Mas, kamu ngomong apa?”

“Kamu jangan sedih, Allah sudah kasih Afis—”

Mendengarnya barusan, entah mengapa hatiku langsung panas. Kepalaku penuh. Mungkin sebentar lagi memang akan terjadi karena sinar matahari terasa amat terik.

“Mas, gak di sini Mas. Tolong!” Aku hampir berlutut.

“Anjani, biarlah ini jadi momen kita. Sebelum semuanya terlambat, aku mesti bicara yang sejujurnya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun