Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bom

16 Januari 2016   22:11 Diperbarui: 16 Januari 2016   22:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum sampai aku turun dari ranjang, dan Mbak Lastri berjingkat ke arah kami, lelaki di atas ranjang berteriak: “Jangan dekat-dekat!”

Asistenku tiba-tiba membeku, sambil menekuk alis dalam-dalam. Aku tak peduli dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air suci.

“Ni! Ke mana kamu?” kata suamiku lantang, membuat langkahku ragu. Ia lantas rogoh bagian bawah ranjang hingga tangannya sekarang menggenggam plastik besar berwarna hitam. Dengan gerakan cepat, ia bungkus guling yang dipeluknya semalaman, teman tidurnya, dan menjulurkannya padaku tanpa membuka mata, “tolong buang!”

Aku dan Mbak Lastri saling bertatapan satu-dua detik, mencerna apa yang sedang terjadi.

“Kenapa, Mas?” kataku pada akhirnya.

Ia jauhkan bungkus itu dari tubuhnya sebelum mendongak: “Ini bom!”

Sebelum ada yang sempat membuka mulut, ia tetiba hengkang dari ranjang dan melengos keluar. Kami dari belakang pun menyusulnya terengah-engah. Ia kebingungan di tengah sana, mencari tanah lapang, untuk jadi korban ledakan pertama dari isi bungkusnya. Sungguh malu saat kudapati sejumlah tetangga sudah terjaga, namun hanya mampu mengintip apa yang terjadi dari balik jeruji pagar masing-masing, tak cukup berani untuk menampakkan diri. Di tengah-tengah halaman, inilah kami bertiga—bintang Kompleks Pondok Aren pagi itu. Dalam hati, kusiapkan diri, seminggu atau sebulan ke depan (atau entah sampai kapan), orang-orang akan membicarakan insiden ini. Mungkin juga, kasus terburuknya, media akan buat berita yang tidak-tidak. Tetanggaku yang paling dekat, Nyonya Anastasia, bahkan sudah melontarkan umpatan yang sungguh tak enak: “Woy Bu Anjani! Nape tuh suaminya? Dipasung mulu kali, begitu dah jadinya!”

Aku tak ingin membela, tapi jelas kuakui, dampratan perempuan yang sudah bau tanah itu ada benarnya juga. Jam tujuh pagi, tetangga lain akan segera keluar untuk pergi bekerja, membersihkan halaman, mengantar anak, dan urusan lain. Maka, sebelum itu terjadi, aku harus hentikan ini semua. Sejak bersamaku, Mbak Lastri hanya bisa bergetar, menjadikan tubuhku tamengnya, sambil sesekali berbisik, “Bu, bapak kenopo, Bu?” dalam logat Tegalnya yang membuat suasana jadi makin runyam, jadi kusuruhnya ber-istighfar.

Untunglah, Pak Nandang, pemimpin di daerah itu, tinggal dua rumah saja dari rumah kami. Dalam busana serba minim, wajah dan rambut baru-bangun-tidurnya, ia menghampiri suamiku tanpa tedeng aling-aling.

“Pak Gambir, tenang!” mencoba menghalau. Bukannya mendengarkan, laki-laki yang diajak bicara malah jadi liar.

“Heh, jangan dekat-dekat!” semprotnya memukul mundur. “Bapak mau mati?” digoyangkannya lagi bungkusan hitam itu di ruang kosong di depan kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun