[caption caption=""Hutan Api" (sumber: deviantart)"][/caption]
Rasa takut menggerayangi sekujur tubuh saat bayangan matahari sudah memanjang. Atmosfer Tangerang dan suasana hatiku benar-benar sedang tak sependapat. Dengan malas kusampirkan tas di atas kepala untuk menghadang cahaya panas. Jalan pulang tampak berliku. Sepi. Hanya tiupan angin panas dan bunyi knalpot motor bebek yang mondar-mandir dengan pasokan sayur atau buah tergantung dalam jumlah besar di jok belakang, membuatnya terlihat seperti seonggok rambut keribo berjalan. Hening lagi. Tak terasa dua-tiga butir keringat meluncur pelan dari keningku, dan milyaran butir lain di dalam baju ini membuat wajahku kebas. Sedetik ingin kuberhenti dan kembali saja. Namun aku tak mau memicu lebih banyak masalah, tapi juga tak mau buru-buru pulang ke rumah.
Di halaman depan, ibu sedang duduk membaca Al-Quran. Tanpa menoleh, ia menjawab salamku lantaran aku merangsek masuk melewatinya. Tak ada senyum, tak ada “eh sudah pulang” atau “nggak bareng Ingga?” seperti tiga tahun belakangan. Sudahlah. Aku pun berpikir tak ada gunanya mendengar basa-basi semacam itu. Toh aku bukan bocah lagi sekarang. Sebelum masuk ke kamar, kuputar kepala agar bisa mendapati Ibu yang masih membelakangiku. Seiring dengan sinar yang mengemas, hangat yang dulu hadir menjalar pelan ke lubuk hati. Azan hampir bergaung. Ibu biasa akan melirik ke kamarku dan berkata “jangan lupa ganti baju, Mat” tanpa pernah mendengar tanggapanku. Aku hanya cukup menggumam tak jelas dan Ibu akan sudah melengos pergi, kembali ke siklus kehidupannya yang membosankan. Sekarang, ia sedang duduk di ruang keluarga membaca buku-buku tebal karya sejumlah alumnus perguruan tinggi Mesir. Kalau sudah begitu, tak ada yang boleh mengganggunya. Andai saja aku duduk di sana lebih awal, pasti aku sudah menonton film serial kesukaanku yang tayang tiap dua hari. Sempat kumembatin, memangnya apa sih menariknya lembaran-lembaran itu dibandingkan kubus kecil yang di dalamnya terdapat seluruh kebahagiaan duniawi? Aku berdecak heran. Suara sepatu sekolah bergelemetuk menuju pintu depan. Itu adik kecilku, Ezra. Ia cukup membuka percakapan dengan mengucap salam, dan Ibu akan menyerangnya dengan sederet omong kosong. Aku hanya bisa menggerutu dari dalam kamar.
Sepuluh menit menjelang ashar, aku harus siap-siap mandi. Namun belum sampai aku menanggalkan pakaian, mataku tertuju pada tas sekolah yang tergantung di pundak kursi belajar. Ada sesuatu yang ganjil di sana: resleting bagian depannya menganga lebar, padahal aku ingat betul sebelum bel pulang berdering, semua resleting sudah kututup rapat-rapat. Bagian belakang kuisi buku pelajaran, seikat mushaf, dan sepasang baju olahraga, bagian tengah dompet dan pengisi daya baterai ponsel, dan di bagian depan alat tulis, beberapa koin sisa uang jajan, dan sebuah korek api gas bekas milik Ingga. Aku pun berasumsi seseorang iseng membukanya diam-diam dan mencoba memasukkan sesuatu. Mungkin karena barang bawaanku yang tak terlalu banyak yang membuat tasku begitu enteng, sehingga tak terasa jika ada orang yang mencoba membuka atau melakukan sesuatu. Entahlah. Kudekati saja tas itu, dan, benar, secarik kertas putih yang dilipat dan dimasukkan secara tergesa-gesa menyembul keluar dari sana! Tulisan tangan bagus yang ditulis dengan krayon merah mendominasi pandangan:
“Richie ngamuk. Guru-guru tau.
Besok jangan masuk.”
Lewat bentuk hurufnya, dapat kuterka itu tulisan Ingga, teman sebangku sekaligus karibku. Segulung petir menyambar—kilatnya membutakanku sejenak. Aku sudah tau Richie akan marah, tapi aku sungguh tak menduga beritanya akan menyebar secepat itu. Aku tak tau harus bereaksi apa. Pikiranku berkelebat, bersama jantung yang berdegup tak beraturan. Kucoba tenangkan diri dan menarik napas sedalam yang kumampu. Sebenarnya, aku tak begitu peduli kalau Richie marah. Begitu juga dengan para guru. Mereka hanya pura-pura peduli dan lebih ingin tau tentang masalah-masalahku dibandingkan membantu mencarikan jalan keluarnya. Permasalahan sesungguhnya terletak pada kalimat terakhir di kertas itu. Kalau aku memang harus bolos sekolah besok, itu sama artinya dengan menabuh genderang perang. Semoga suasana hati Ayah sedang bagus malam ini.
***
TV berceloteh pelan. Benda itulah satu-satunya penyelamat kami dari kecanggungan yang membunuh. Sudah sepuluh menit sejak Ibu berkata, “yuk makan semua,” dan tak ada yang bicara setelahnya. Aku dan Ezra tengah memerhatikan Ibu yang sedang mengaduk-ngaduk nasi, meruapkan kepul panas wangi pandan kesukaan Ayah. Setelah itu, baru aku yang kebagian mengambil nasi. Ayah sudah lahap melumat kepala ikan tembak dari piringnya, sementara Ibu langsung menjejalkan setengah potong terong sambal ke dalam mulutnya yang sudah setengah terisi nasi. Di meja itu, kulihat sekat-sekat imajiner kasatmata yang membatasi ruang gerak kami, sehingga masing-masing orang, meskipun bisa saling melihat, tak bisa berkomunikasi satu sama lain, dan piring ini seperti portal menuju dunia lain yang kami ciptakan sendiri. Cukup dengan melihatnya. Klik! Kami semua sudah berada di tempat lain. Meskipun begitu, semua orang tampak tenang, kecuali aku. Apa yang harus kulakukan?
Tiga puluh menit setelahnya kurasa adalah waktu yang paling tepat untuk memulai pembicaraan. Kupisahkan bibirku.
“Mat…” Ayah justru yang memulai.
Aku tersedak air liur sendiri. Kutenangkan diri. “I-iya?” berharap Ayah akan membicarakan hal nonpersekolahan.
“Hari ini di sekolah ada apa?”
Tamat riwayatku sudah. “Hah? Ada apa, Yah?” sembari menyeruput es buah.
Ayah mengisap rokoknya dalam-dalam, yang bagiku terlihat seperti sedang mengokang senjatanya, siap menembakku bertubi-tubi. “Lho kok malah nanya balik kamu?”
“Gak ada apa-apa deh,” jawabku singkat.
“Lucu,” ia nyengir, “tadi siang ayahnya Richie nelfon Ayah tuh.”
Baru saja Ayah melepaskan peluru pertamanya ke angkasa, pertanda perang sudah dimulai. Aku hanya bisa meringkuk di balik tameng bajaku yang rapuh. “Dia bilang kamu ngebanting tab-nya Richie sampe pecah berantakan?” Dua-tiga percik abu rokok dijentikkannya ke dalam asbak, siap melontarkan tembakan selanjutnya. “Betul, Mat?”
Mataku berpindah TV-lantai-TV-lantai, hingga akhirnya lantai terus. Darah seketika berdesir, bergejolak di dalam pembuluh otakku. Aku bisa merasakan Ibu sedang memelototiku dari dapur, menguping pembicaraanku lantaran berpura-pura sibuk membereskan piring bekas makan malam. Aku makin tak nyaman.
“Mat?—Mat?” Ayah terus menembakiku, tak tau aku sudah meringkuk sekarat di atas kursi ini.
“Ha--habisnya dia bilang aku anak setan!”
Saat hari makin gelap, aku terbangun tiba-tiba. Udara kali itu lebih dingin dari biasanya, dan Ibu lupa membawakan selimut untukku. Aku pun mulai gemetar. Kuperhatikan sekeliling, dan jendelanya terbuka lebar, menghembuskan angin malam. Kubangkit dari rebahku dan turun untuk menutupnya. Tapi, saat kakiku memijak lantai, udara menjadi semakin dingin. Kurapatkan baju tidurku dan berjalan pelan menuju jendela itu. Cahaya bulan menyiram sebagian tubuh saat aku melongo ke luar. Masya Allah! Sebuah penampakan yang mengerikan hadir di dalam bola mataku. Kulihat pohon-pohon terbungkus api berwarna merah; jelaganya membakar ujung langit, menyesakkan kawanan burung yang sedang bergerombol menyelamatkan diri. Seluruh jenis hewan lari tunggang langgang dari hutan itu, beberapa di antaranya membawa bayi dan anak-anak mereka yang belum mampu berjalan. Dari jauh terdengar suara lenguhan yang berat dan panjang, seperti merintih, meminta tolong, mencoba memberitahu siapapun bahwa rumah mereka sudah dibakar habis. Warna merah begitu menyala. Ingin setengah mati kulompat dari jendela kamarku dan membantu mereka bertahan, memperpanjang kehidupan. Dan aku juga harus segera lari karena apinya lambat laun pasti akan menghampiri rumahku pula. Ya, betul! Aku harus lari sekarang. Oh! Tidak. Aku harus membangunkan Ayah, Ibu, dan Ezra lebih dulu. Bagaimana mungkin mereka bisa tetap tidur dalam kekacauan ini? Sayangnya, kakiku tak bisa digerakkan. Terpaksa aku harus meratap menatapi pemandangan ini tanpa bisa berbuat apa-apa. Kutenangkan diri, kuatur napas, dan kuperhatikan baik-baik. Jauh di dalam hutan, sepotong siluet berbentuk gadis kecil setinggiku sedang berdiri diam di sana. Rambut sebahunya tampak tergerai, tapi tampak kabur. Tangan kanannya tampak terjuntai lemah di sisinya, menggenggam sesuatu. Aku tak tau apa itu. Baru sejenak kemudian kuperhatikan lebih dekat: kedua ujung bibirnya, pelan-pelan, ditarik menuju telinganya, lurus-lurus ke arah mataku.
***
Teriakan panjang itu terdengar lagi. Pagi tiba lebih awal, dan kelas akan mulai beberapa jam kemudian. Bunyi jarum jam terdengar seperti bom waktu. Jentiknya terus mengikutiku—ke kamar mandi, ke kamar lagi, ke ruang makan, ke dalam mobil, lalu di depan gerbang sekolah. Rasa takut yang sama menggerayangiku lagi dan menjadi semakin parah saat aku turun dari mobil dan membanting pintunya. Mataku aktif mencari-cari sebongkah wajah, berharap tak berpapasan dengan mata itu. Aku pun berdoa diam-diam agar tak ada satupun teman sekelas yang mendapati wajahku, khususnya Ingga. Apa yang kira-kira akan ia katakan saat aku berpapasan dengannya? Di mana dia sekarang? Segera kuambil langkah menuju kelas, mengingat bel masuk akan berdering tujuh menit lagi. Anak-anak kelas lain berjalan berdampingan denganku. Beberapa tampak berkelompok, yang lain tampak menyendiri. Di sanalah ia! Richie berdiri tegak di depan kelas seperti menunggu seseorang. Kedua bibirnya tertutup rapat, bersama kedua tangannya yang dilipat di dada; tak bergerak. Sinar matahari mulai benderang dan bel pun berbunyi. Seharusnya tak ada lagi siswa yang berkeliaran di luar kelas saat ini. Semuanya sudah harus siap membaca Al-Ma’tsurat pagi di kursi masing-masing.
Aku masih di luar, menunggu Richie masuk. Tapi sialnya ia tetap di sana! Tak mau beranjak. Nyaliku pun ciut. Kakiku gemetaran hebat sampai-sampai tak sadar mundur beberapa langkah dari tempatku berdiri semula. Aku mulai mengendap-endap, persis seperti rubah mengintai ayamnya. Bedanya kasusku bukan sembunyi untuk memakan, melainkan sebaliknya. Sembunyi untuk kabur, lari sejauh-jauhnya dari peredaran. Tak lama guru pertama akan masuk dan, kalau aku tak sembunyi, ia akan membawaku ke ruang guru dan memperkuat statusku sebagai anak aneh di sekolah.
“Tiamat!” suara Richie menggantung di sudut-sudut koridor. Tidak! Aku mending mati saja. Tanpa bergerak, aku tenang membelakanginya, menganggap tak ada apa-apa. Namun, Richie terus memanggil-manggil hingga sudah tepat di belakangku.
“Assalamu’alaikum,” ia memulai, ragu.
“Wa—wa’alaikumussalam,” jawabku membalikkan badan.
“Lu—gapapa Mat?”
“Hah?” Aku kembali ke posisi awal. “Maksud lu?”
“Lu masih marah sama gua?” Volume suaranya menurun. “Yaudah kalo masih marah. Gue minta maaf deh soal kemarin. Habisnya lu ngeselin sih. Khilaf gua, Mat. Sori ya,” sambil menyodorkan tangan kanannya.
Belum sampai aku bereaksi, Bu Ida sudah terlihat di koridor, menyuruh kami masuk kelas. Dan kami langsung menaatinya, tanpa basa-basi. Aku tak tau harus bereaksi apa saat masuk kelas. Semua orang tampak lega melihatku jalan berdampingan dengan Richie pagi itu. Beberapa dari mereka tersenyum ke arah kami, yang kutangkap sebagai ekspresi merendahkan. Aku tak betul-betul bisa memutuskan harus memaafkan Richie atau tidak. Julukan “anak setan” memang tak kudengar setiap hari, dan itu adalah sebuah penghinaan besar, jelas. Amarahku terbit. Kelas pun mulai tertib. Sekarang kami berdua sudah berada di kursi masing-masing, menyusul anak-anak lainnya yang sudah lebih dulu duduk manis di tempat mereka sendiri. Lucunya, Ingga justru satu-satunya anak yang tak masuk hari itu. Ia meninggalkan sebuah korek api gas dan catatan kecil di atas bangkunya sendiri. Persis seperti tulisan yang ia buat untukku kemarin. Dengan krayon merahnya, ia menulis:
Bakar!
Dan sekarang aku tau siapa musuhku sebenarnya.
JULI 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H