“Hari ini di sekolah ada apa?”
Tamat riwayatku sudah. “Hah? Ada apa, Yah?” sembari menyeruput es buah.
Ayah mengisap rokoknya dalam-dalam, yang bagiku terlihat seperti sedang mengokang senjatanya, siap menembakku bertubi-tubi. “Lho kok malah nanya balik kamu?”
“Gak ada apa-apa deh,” jawabku singkat.
“Lucu,” ia nyengir, “tadi siang ayahnya Richie nelfon Ayah tuh.”
Baru saja Ayah melepaskan peluru pertamanya ke angkasa, pertanda perang sudah dimulai. Aku hanya bisa meringkuk di balik tameng bajaku yang rapuh. “Dia bilang kamu ngebanting tab-nya Richie sampe pecah berantakan?” Dua-tiga percik abu rokok dijentikkannya ke dalam asbak, siap melontarkan tembakan selanjutnya. “Betul, Mat?”
Mataku berpindah TV-lantai-TV-lantai, hingga akhirnya lantai terus. Darah seketika berdesir, bergejolak di dalam pembuluh otakku. Aku bisa merasakan Ibu sedang memelototiku dari dapur, menguping pembicaraanku lantaran berpura-pura sibuk membereskan piring bekas makan malam. Aku makin tak nyaman.
“Mat?—Mat?” Ayah terus menembakiku, tak tau aku sudah meringkuk sekarat di atas kursi ini.
“Ha--habisnya dia bilang aku anak setan!”
Saat hari makin gelap, aku terbangun tiba-tiba. Udara kali itu lebih dingin dari biasanya, dan Ibu lupa membawakan selimut untukku. Aku pun mulai gemetar. Kuperhatikan sekeliling, dan jendelanya terbuka lebar, menghembuskan angin malam. Kubangkit dari rebahku dan turun untuk menutupnya. Tapi, saat kakiku memijak lantai, udara menjadi semakin dingin. Kurapatkan baju tidurku dan berjalan pelan menuju jendela itu. Cahaya bulan menyiram sebagian tubuh saat aku melongo ke luar. Masya Allah! Sebuah penampakan yang mengerikan hadir di dalam bola mataku. Kulihat pohon-pohon terbungkus api berwarna merah; jelaganya membakar ujung langit, menyesakkan kawanan burung yang sedang bergerombol menyelamatkan diri. Seluruh jenis hewan lari tunggang langgang dari hutan itu, beberapa di antaranya membawa bayi dan anak-anak mereka yang belum mampu berjalan. Dari jauh terdengar suara lenguhan yang berat dan panjang, seperti merintih, meminta tolong, mencoba memberitahu siapapun bahwa rumah mereka sudah dibakar habis. Warna merah begitu menyala. Ingin setengah mati kulompat dari jendela kamarku dan membantu mereka bertahan, memperpanjang kehidupan. Dan aku juga harus segera lari karena apinya lambat laun pasti akan menghampiri rumahku pula. Ya, betul! Aku harus lari sekarang. Oh! Tidak. Aku harus membangunkan Ayah, Ibu, dan Ezra lebih dulu. Bagaimana mungkin mereka bisa tetap tidur dalam kekacauan ini? Sayangnya, kakiku tak bisa digerakkan. Terpaksa aku harus meratap menatapi pemandangan ini tanpa bisa berbuat apa-apa. Kutenangkan diri, kuatur napas, dan kuperhatikan baik-baik. Jauh di dalam hutan, sepotong siluet berbentuk gadis kecil setinggiku sedang berdiri diam di sana. Rambut sebahunya tampak tergerai, tapi tampak kabur. Tangan kanannya tampak terjuntai lemah di sisinya, menggenggam sesuatu. Aku tak tau apa itu. Baru sejenak kemudian kuperhatikan lebih dekat: kedua ujung bibirnya, pelan-pelan, ditarik menuju telinganya, lurus-lurus ke arah mataku.