***
Teriakan panjang itu terdengar lagi. Pagi tiba lebih awal, dan kelas akan mulai beberapa jam kemudian. Bunyi jarum jam terdengar seperti bom waktu. Jentiknya terus mengikutiku—ke kamar mandi, ke kamar lagi, ke ruang makan, ke dalam mobil, lalu di depan gerbang sekolah. Rasa takut yang sama menggerayangiku lagi dan menjadi semakin parah saat aku turun dari mobil dan membanting pintunya. Mataku aktif mencari-cari sebongkah wajah, berharap tak berpapasan dengan mata itu. Aku pun berdoa diam-diam agar tak ada satupun teman sekelas yang mendapati wajahku, khususnya Ingga. Apa yang kira-kira akan ia katakan saat aku berpapasan dengannya? Di mana dia sekarang? Segera kuambil langkah menuju kelas, mengingat bel masuk akan berdering tujuh menit lagi. Anak-anak kelas lain berjalan berdampingan denganku. Beberapa tampak berkelompok, yang lain tampak menyendiri. Di sanalah ia! Richie berdiri tegak di depan kelas seperti menunggu seseorang. Kedua bibirnya tertutup rapat, bersama kedua tangannya yang dilipat di dada; tak bergerak. Sinar matahari mulai benderang dan bel pun berbunyi. Seharusnya tak ada lagi siswa yang berkeliaran di luar kelas saat ini. Semuanya sudah harus siap membaca Al-Ma’tsurat pagi di kursi masing-masing.
Aku masih di luar, menunggu Richie masuk. Tapi sialnya ia tetap di sana! Tak mau beranjak. Nyaliku pun ciut. Kakiku gemetaran hebat sampai-sampai tak sadar mundur beberapa langkah dari tempatku berdiri semula. Aku mulai mengendap-endap, persis seperti rubah mengintai ayamnya. Bedanya kasusku bukan sembunyi untuk memakan, melainkan sebaliknya. Sembunyi untuk kabur, lari sejauh-jauhnya dari peredaran. Tak lama guru pertama akan masuk dan, kalau aku tak sembunyi, ia akan membawaku ke ruang guru dan memperkuat statusku sebagai anak aneh di sekolah.
“Tiamat!” suara Richie menggantung di sudut-sudut koridor. Tidak! Aku mending mati saja. Tanpa bergerak, aku tenang membelakanginya, menganggap tak ada apa-apa. Namun, Richie terus memanggil-manggil hingga sudah tepat di belakangku.
“Assalamu’alaikum,” ia memulai, ragu.
“Wa—wa’alaikumussalam,” jawabku membalikkan badan.
“Lu—gapapa Mat?”
“Hah?” Aku kembali ke posisi awal. “Maksud lu?”
“Lu masih marah sama gua?” Volume suaranya menurun. “Yaudah kalo masih marah. Gue minta maaf deh soal kemarin. Habisnya lu ngeselin sih. Khilaf gua, Mat. Sori ya,” sambil menyodorkan tangan kanannya.
Belum sampai aku bereaksi, Bu Ida sudah terlihat di koridor, menyuruh kami masuk kelas. Dan kami langsung menaatinya, tanpa basa-basi. Aku tak tau harus bereaksi apa saat masuk kelas. Semua orang tampak lega melihatku jalan berdampingan dengan Richie pagi itu. Beberapa dari mereka tersenyum ke arah kami, yang kutangkap sebagai ekspresi merendahkan. Aku tak betul-betul bisa memutuskan harus memaafkan Richie atau tidak. Julukan “anak setan” memang tak kudengar setiap hari, dan itu adalah sebuah penghinaan besar, jelas. Amarahku terbit. Kelas pun mulai tertib. Sekarang kami berdua sudah berada di kursi masing-masing, menyusul anak-anak lainnya yang sudah lebih dulu duduk manis di tempat mereka sendiri. Lucunya, Ingga justru satu-satunya anak yang tak masuk hari itu. Ia meninggalkan sebuah korek api gas dan catatan kecil di atas bangkunya sendiri. Persis seperti tulisan yang ia buat untukku kemarin. Dengan krayon merahnya, ia menulis:
Bakar!
Dan sekarang aku tau siapa musuhku sebenarnya.