Mohon tunggu...
Radhi Maulana
Radhi Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa suka sibuk, sedikit.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Pernikahan Dini terhadap Kekerasan pada Perempuan

15 Desember 2023   19:00 Diperbarui: 8 Juni 2024   17:18 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai jalan bagi mereka-manusia untuk memiliki keturunan, beranak, menjaga eksistensi peradaban manusia, setelah masing-masing dari mereka (laki-laki dan perempuan) sudah siap menjalankan peran positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan yang sah. Suatu pernikahan sebaiknya memiliki kemampuan untuk menjalankan peran, materi, usia, hingga kematangan psikologis. Hal-hal tersebut nantinya akan menentukan kelangsungan atau umur dari sebuah pernikahan. Perwujudan dari tujuan pernikahan secara baik, tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Ketentuan dalam 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawian hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun, ketentuan tersebut dapat memungkinkan terjadi perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang tentang Perubahan Atas Unndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengaturan batas minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum, wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.

Pada UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini, batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 tahun. Batas usia yang dimaksud, dinilai telah matang secara jiwa dan raga untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas.

Mengenal Lebih Dekat dengan Pernikahan Dini

State of world Population 2013 yang diluncurkan Lembaga Dana Kependudukan PBB (UNFPA) dalam (Ningsih dan Rahmadi, 2020) menyebutkan, bahwa 70 ribu kematian remaja terjadi setiap tahun akibat komplikasi yang dialami semasa kehamilan maupun persalinan. Angka risiko dari kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting. Lebih lagi, pernikahan dini juga berkorelasi erat dengan perosalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tingginya angka putus sekolah, bahkan risiko tertular penyakit seperti HIV / AID dan Obstetric Fistula. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dalam (Liesmayani et al., 2022) menunjukkan bahwa sebanyak 16 juta kelahiran terjadi pada ibu yang berusia 15 - 19 tahun atau 11 % dari seluruh 3 kelahiran di dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara berkembang.

Masa remaja adalah periode transisi di antara masa kecil dan dewasa, yang dicirikan oleh pertumbuhan dan perkembangan biologis, serta psikologis. Secara biologis, ditandai oleh perkembangan organ seksual primer dan skunder, sementara dari segi psikologis. terlihat dalam sikap, perasaan, keinginan, dan emosi yang cenderung labil. Pernikahan dini menjadi sorotan dalam percakapan remaja dan masyarakat. Fenomena ini, turut menyebabkan banyak remaja menghentikan pendidikannya, menyia-nyiakan kesempatan untuk megejar ilmu. Dalam konteks pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua, anak, dan mayarakaat dapat menyebabkan kecenderungan untuk menikahkan anak di usia dini, hingga membawa risiko yang signifikan bagi ibu dan janin selama proses persalinan.

Pernikahhan pada usia dini, seringkali menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Tidak dapat disangkal, bahwa fenomena ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan pernikahan, baik itu berasal dari internal keluarga kecil itu sendiri, maupun berasal dari faktor di luar keluarga. Penyebab pernikahan usia dini antara lain dapat terjadi karena adanya paksaan dari pihak orang tua, pergaulan bebas, rasa keingintahuan tentang dunia seks, faktor lingkungan, rendahhya pendidikan, hingga faktor ekoomi. Pernikahan dini juga dinilai mempunyai risiko yaang cukup serius yerkait permasalahan kemiskinan, kesehatan bayi, hingga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) khusunya berdampak pada perempuan.

Dispensasi Pernikahan yang Dikabulkan oleh Pengadilan Agama

Dispensasi pernikahan artinya keringanan yang diberrikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan pernikahan. Dispensasi pernikahan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7, sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Orang tua pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukuup.

3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pernikahan dini merupakan alternatif pilihan terakhir (ultimatum remedium), maka untuk melangsungkan pernikahan pada usia dini perlu adanya dispensasi pernikahan dari Pengadilan. Tingginya tingkat dispensasi pernikahan pada usia dini, disebabkan oleh tantangan yang menjadi hambatan dalam implementasi UU No. 16 Tahun 2019. Tantangan yang dihadapi adalah sosialisasi kebijakan terebut yang belum dilakukan secara maksimal, serta mudahnya permohonan dispensasi pernikahan untuk dikabulkan oleh Pengadilan. Kemudahan dapat disebabkan oleh beberapa hal yang disebabkan definisi situasi mendesak, seperti anak perempuan yang telah hamil, anak berisiko atau sudah berhubungan seksual, anak dan pasangannya sudah saling mencintai, serta  stigma orang tua bahwa berhhubungan di luar nikah, memiliki risiko dalam melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina. Hal-hal tersebut diterangkan menjadi alasan pengabulan permohonan oleh Hakim. Angka dispensasi pernikahan pada tahun 2016 hingga 2022 dapat dilihat pada gambar grafik berikut.

Berdasarkan sumber di atas (Gambar.1), menunjukkan adanya penurunan angka dispensasi pernikahan yang dikabulkan oleh Pengadilan. Penurunan tersebut dapat menjadi awal bagi pencegahan pernikahan dini. Sosialisasi pernikahan dini sebagai pelanggaran terhadap hak anak, terutama anak perempuan dan diharpkan angka ini, semakin menurun jumlahnya. Meskipun angka dispensasi pernikahan turun 12,3% dibandingkan tahun lalu, pernikahan pada usia dini masih menjadi persoalan yang dapat dikatakan suatu hal yang urgen. Dalam CATAHU 2023, terdapat kehamilan yang tidak diinginkan pada anak-anak yang kemudian dinikahkan. Hal tersebut menjadi perhatian utama bagi semua pihak. Pernikahan dini merupakan persoalan genting karena dapat menimbulkan dampak terhadap anak baik dampak psikis, sosial, ekonomi, maupun dampak kesehatan, khusunya kesehatan terhadap sistem reproduksi, yang menjadi salah satu risiko terjadinya kanker rahim karena telah melakukan hubungan seksual lebih awal di usia dini, serta belum matangnya alat reproduksi, ketika harus hamil di usia dini.

Hubungan Pernikahan Usia DIni dengan Risiko Kekerasan pada Anak Usia Prasekolah

Dalam (Hertika et al., 2017), penelitian yang telah dilakukan menggunakan metode purposive samling dengan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 77 responden, diambil sesuai dengan kriteria. Kriteria inklusi penelitian adalalh ibuu yang memiliki anak usia 2 - 5 tahun dan merupakan anak kandung, ibu yang bersedia menjadi responden, ibu yang berdomisili di Kelurahan Sumbersari. Hasil penelitian mennjukkan penikahan usia dini memiliki risiko melakukan tindak kekerasan sejumlah 33,8% dan tidak berisiko sejumlah 16,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang perempuan yang menikah pada usia dini, belum memiliki kematangan baik secara fisik maupun psikologis. Pernikahan pada usia dini dapat menyebabkan stres, ketika melakukan kegiatan pengasuhan, dikarenakan ibu pada usia dini masih kurang memahami bagaimana cara merawat anak dengan baik. Stres ketika mengasuh yang dialami ibu pada usia dini dapat berpengaruh terhadap  tanggung jawab orang tua dalam merawat anaknya.

Korban KDRT dan TPPO dalam Kasus Pornografi di Garut

Dalam CATAHU Tahun 2021, pada Agustus 2019 publik dkejutkan dengan unggahan video hubungan seksual antara satu perempuan dengan 3 orang lelaki. Komnas Perepuan melakukan pemantauan lapangan dan menemukan fakta bahwa PA, perempuan berumur 19 tahun merupakan korban perikahan pada usia dini, korban KDRT dalam berbagai bentuk (fisik, psikis, seksual, dan ekonomi), juga korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Pada suatu waktu, suami dari PA mulai memaksa PA untuk melakukan hubungan seksual dengannya dan orang lain secara bersama-sama, dengan tegas PA menolak ajakan tersebut dengan kabur dari kediaman bersama. Namun, PA kembali lagi setelah suami berjanji tidak akan memaksa lagi. Dengan tipu daya suami, mengajak PA ke suatu penginapan untuk istirahat atau bosan dengan suasana rumah, sementara itu di sana telah ada laki-laki yang sebelumnya telah bertransaksi dengan suaminya.

Komnas Perempuan menjadi Ahli dalam persidangan untuk menyampaikan pendapat tentang posisi rentan PA sebagai anak korban TPPO dan KDRT, relasi kuasa dalam pernikahan dan riwayat kekerasan yang dialami PA yang seharusnya mendapatkan perlindujngan dan tidak dapat dipidana. Majelis Hakim tingkat pertama menyatakan PA terbukti bersalah melanggar UU Pornografi, yaitu menjadi objek pornografi dan menghukum pidana penjara selama 3 tahun dan denda 1 miliar rupiah dengan subsider 3 bulan penjara. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tingkat Banding. Atas kerugiannya sebagai korban TPPO, PA mengajukan uji materil Pasal 8 UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, MK menolah permohonan PA dengan menilai permohonan tidak beralasan menurut hukum.

Pernikahan Dini Membuat Perempuan Menjadi Korban Kekerasan

Pada UU 16 Tahun 2019 tentang perubahan norma dalam UU Nomor 1 Tahhun 1974 tentang Perkawinan menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur pernikahan bagi wanit, yaitu dari 16 tahun diubah menjadi 19 tahun. State of world Population 2013 yang diluncurkan Lembaga Dana Kependudukan PBB (UNFPA) dalam (Ningsih dan Rahmadi, 2020) menyebutkan, bahwa 70 ribu kematian remaja terjadi setiap tahun akibat komplikasi yang dialami semasa kehamilan maupun persalinan. Angka risiko dari kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting. Lebih lagi, pernikahan dini juga berkorelasi erat dengan perosalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tingginya angka putus sekolah, bahkan risiko tertular penyakit seperti HIV / AID dan Obstetric Fistula. 

Pada saat terdapat situasi yang mendesak, seperti anak perempuan yang telah hamil, anak berisiko atau sudah berhubungan seksual, anak dan pasangannya sudah saling mencintai, serta  stigma orang tua bahwa berhubungan di luar nikah, memiliki risiko dalam melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina. Hal-hal tersebut diterangkan menjadi alasan pengabulan dispensasi pernikahan oleh Pengadilan. Dalam (Hertika et al., 2017), pernikahan pada usia dini memiliki risiko melakukan tindak kekerasan sejumlah 33,8 % dan tidak berisiko sejumlah 16,9 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang wanita yang menikah pada usia dini, belum memiliki kematangan baik secara fisik maupun secara psikis. Dalam CATAHU Tahun 2021, PA seorang perempuan berumur 19 tahun yang merupakan korban pernikahan dini, korban KDRT, hingga menjadi korban TPPO. Adanya relasi kuasa dalam pernikahan dan riwayat kekerasan dialami oleh PA. Sayangnya, pada saat itu MK menolak pemohonan dari PA dengan menilai pemohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga PA tetap mendapatkan sanksi

Pengambilan kasus-kasus tersebut, sudah cukup menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan. Perempuan memiliki kecenderungan fisik, psikis, dan seksual yang belum siap pada usia dini. Faktor ekoomi, pendidikan, dan kesehatan juga turut mempengaruhi kekerasan terhadap perempuan. Korban dapat mengalami diskriminasi berlapis baik karena usia, jenis kelamin, maupun relasi kuasa. Kekerasan di ranah personal masih menjadi mayoritas kasus yang dilaporkan dalam 5 tahun terakhir. Kehadiran peraturan-peraturan yang mendukung korban, seperti UU TPKS, PERMENDIKBUDRISTEK Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, memberikan keyakinan kepada masyarakat untuk berani melaporkan kasusnya kepada lembaga layanan.

Kekerasan terhadap perempuan akan terjadi ketika terdapat kondisi dimana kesempatan dan keinginan yang dimiliki oleh pelaku. Jangan berikan ruang untuk kekerasan terhadap perempuan.

Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!

Referensi

Hertika, P. M., Sulistyorini, L., dan Wuryaningsih, E. M. (2017). Hubungan pernikahan usia dini dengan risiko tindak kekerasan oleh ibu pada anak udia prasekolah di Kelurahan Sumbersari Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. e-Jurnal Pustakan Kesehatan, 5(3): 481 -488.

Kommnas Perempuan. (2023). CATAHU 2023: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2022.

Komnas Perempuan. (2021). CATATAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TAHUN 2020.

Liesmayani, E. E., Nurrahmaton, N., Juliani, S., Mouliza, N., & Ramini, N. (2022). Determinan kejadian pernikahan dini pada remaja. Nursing Care Heallth Technology Journal (NCHAT), 2(1): 55 -62.

Ningsih, D.P. & Rahmadi, D. S. (2020). Dampak pernikahan dini di Desa Keruak Kecamatan Keruak Kaupaten Lombok Timur. Jurnal Ilmiah Mandala Education, 6(2): 404-414.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun