Pada UU 16 Tahun 2019 tentang perubahan norma dalam UU Nomor 1 Tahhun 1974 tentang Perkawinan menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur pernikahan bagi wanit, yaitu dari 16 tahun diubah menjadi 19 tahun. State of world Population 2013 yang diluncurkan Lembaga Dana Kependudukan PBB (UNFPA) dalam (Ningsih dan Rahmadi, 2020) menyebutkan, bahwa 70 ribu kematian remaja terjadi setiap tahun akibat komplikasi yang dialami semasa kehamilan maupun persalinan. Angka risiko dari kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting. Lebih lagi, pernikahan dini juga berkorelasi erat dengan perosalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tingginya angka putus sekolah, bahkan risiko tertular penyakit seperti HIV / AID dan Obstetric Fistula.Â
Pada saat terdapat situasi yang mendesak, seperti anak perempuan yang telah hamil, anak berisiko atau sudah berhubungan seksual, anak dan pasangannya sudah saling mencintai, serta  stigma orang tua bahwa berhubungan di luar nikah, memiliki risiko dalam melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina. Hal-hal tersebut diterangkan menjadi alasan pengabulan dispensasi pernikahan oleh Pengadilan. Dalam (Hertika et al., 2017), pernikahan pada usia dini memiliki risiko melakukan tindak kekerasan sejumlah 33,8 % dan tidak berisiko sejumlah 16,9 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang wanita yang menikah pada usia dini, belum memiliki kematangan baik secara fisik maupun secara psikis. Dalam CATAHU Tahun 2021, PA seorang perempuan berumur 19 tahun yang merupakan korban pernikahan dini, korban KDRT, hingga menjadi korban TPPO. Adanya relasi kuasa dalam pernikahan dan riwayat kekerasan dialami oleh PA. Sayangnya, pada saat itu MK menolak pemohonan dari PA dengan menilai pemohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga PA tetap mendapatkan sanksi
Pengambilan kasus-kasus tersebut, sudah cukup menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan. Perempuan memiliki kecenderungan fisik, psikis, dan seksual yang belum siap pada usia dini. Faktor ekoomi, pendidikan, dan kesehatan juga turut mempengaruhi kekerasan terhadap perempuan. Korban dapat mengalami diskriminasi berlapis baik karena usia, jenis kelamin, maupun relasi kuasa. Kekerasan di ranah personal masih menjadi mayoritas kasus yang dilaporkan dalam 5 tahun terakhir. Kehadiran peraturan-peraturan yang mendukung korban, seperti UU TPKS, PERMENDIKBUDRISTEK Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, memberikan keyakinan kepada masyarakat untuk berani melaporkan kasusnya kepada lembaga layanan.
Kekerasan terhadap perempuan akan terjadi ketika terdapat kondisi dimana kesempatan dan keinginan yang dimiliki oleh pelaku. Jangan berikan ruang untuk kekerasan terhadap perempuan.
Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!
Referensi
Hertika, P. M., Sulistyorini, L., dan Wuryaningsih, E. M. (2017). Hubungan pernikahan usia dini dengan risiko tindak kekerasan oleh ibu pada anak udia prasekolah di Kelurahan Sumbersari Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. e-Jurnal Pustakan Kesehatan, 5(3): 481 -488.
Kommnas Perempuan. (2023). CATAHU 2023: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2022.
Komnas Perempuan. (2021). CATATAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TAHUN 2020.
Liesmayani, E. E., Nurrahmaton, N., Juliani, S., Mouliza, N., & Ramini, N. (2022). Determinan kejadian pernikahan dini pada remaja. Nursing Care Heallth Technology Journal (NCHAT), 2(1): 55 -62.
Ningsih, D.P. & Rahmadi, D. S. (2020). Dampak pernikahan dini di Desa Keruak Kecamatan Keruak Kaupaten Lombok Timur. Jurnal Ilmiah Mandala Education, 6(2): 404-414.