Tak terasa, air mataku mengalir deras dinihari itu. Keputusan yang kuambil ternyata berakibat buruk. Politik bukan jalanku.
“Kekalahan di bidang politik adalah kesalahan hidup secara habis-habisan dan akibatnya bahkan tertanggung juga oleh sanak-famili.” Kalimat Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk itu terngiang-ngiang di benakku.
Aku tersungkur. Dan tak terasa, kelelahanku hari-hari itu membuatku terlelap. Aku menyerahkan sepenuhnya pada kekuatan alam. Sampai kemudian aku dikejutkan dengan ketukan pintu kamar mandi.
“Woy cepat, kalau beol jangan lama-lama,” teriak Alimin dari balik pintu. “Kau tak mau liputan, itu sekarang ada deklarasi partainya Pak Ong. Katanya calon petahana yang diusung kembali,” katanya nyerocos. Kukucek mata dengan kedua mataku. Ternyata aku ketiduran di WC.
Alamak!!! Aku ternyata hanya mimpi. Aku hanya bermimpi. Kutampar pipi kanan dan kiriku. “Benar, aku hanya bermimpi,”. Kusudahi buang hajat pagi itu. Aku bergegas keluar dan memeluk Alimin. “Terimakasih engkau membangunkanku dari mimpi buruk,” kataku seraya berlari ke kamar. Alimin bengong. Ia membanting pintu kamar mandi seraya meneriakku gila.
Aku langsung menelepon Devi. Kuutarakan rasa cintaku padanya. Bodoh amat mau diterima atau ditolak. “Aku terima cintamu,” katanya. Aku langsung melonjak kegirangan. Dan aku yakin, yang ini bukan mimpi.
Gedung Kesenian, 10 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H