Mohon tunggu...
Radfan Faisal
Radfan Faisal Mohon Tunggu... -

Wartawan, tinggal di Probolinggo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sognare

17 Oktober 2016   18:44 Diperbarui: 17 Oktober 2016   19:01 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu, aku putuskan tak masuk kerja. Tugas peliputan politik pemerintahan yang menjadi posku, aku alihkan ke Fajar, wartawan di pos kriminal. Selain orangtuaku, Bang Yuda, pemred koran tempatku bekerja yang tahu soal keputusan itu. Tentu, mereka kaget bukan kepalang. Namun, baik orangtuaku maupun Bang Yuda tak bisa menahanku. Mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan itu padaku.

Dan benar saja, deklarasi malam itu benar-benar membuat semua orang kaget bukan kepalang. Termasuk aku. Ternyata wakil yang dipilihkan untukku adalah Pak Ong sendiri. Kombinasi muda-tua katanya. Devi pun menjadi orang yang paling kaget dengan keputusan itu. Perempuan yang aku sukai. Dia menatapku sinis. Biasanya aku yang melakukan wawancara, malam itu giliran todongan pertanyaan dialamatkan padaku. Malam itu, musuh terbesarku adalah diriku sendiri. Aku harus mengendalikan diri. Beruntungnya aku, semuanya berjalan lancar.

Hanya Devi yang membuatku gelisah. Usai wawancara, ia membisikkan kalimat sarkasme. “Kadang orang terlalu cepat memutuskan. Ternyata politik itu membutakan ya,” katanya. Dan aku lemas seketika. Ia menilaikan seburuk itu. Tapi aku sudah terlanjur. Aku harus berjalan terus.

Setelah itu, proses tahapan pun dilakukan. Dua kandidat dari parpol lain sudah mendaftar. Aku dengan Pak Ong juga sudah mendaftarkan diri. Hari-hari kemudian, 3 parpol yang mengusungku sama-sama memanasi mesin politiknya. Kampanye pun dilakukan. Alat peraga kampanye dengan gambarku bersama Pak Ong mengisi seluruh sudut kota. Kampanye terbuka maupun tertutup bergantian kami lakukan.

Tibalah saat-saat yang aku takutkan. Sejak deklarasi, aku mulai dibantai habis-habisan. Track record-ku, masa laluku dikorek sedemikian dalam. Secara politik aku bersih. Tak ada noda. Karena kampanye negatif tak bisa menyerangku, tim sukses lawan politikku akhirnya menggunakan kelemahanku.

Ya kelemahanku yang sering ke lokalisasi dikorek habis. Kebiasaanku menyewa PSK dibelejeti. Kebiasaanku karaoke dan mengunjungi tempat hiburan malam diungkap. Bukan hanya sekedar dihembuskan cerita, tapi juga foto saat aku memangku pemandu karaoke pun disebar.

Bahg?? Dapat dari mana mereka ini? Padahal aku tak pernah merasa mendokumentasikan aktivitas mesum itu. Usut punya usut, ternyata ada teman-teman seprofesiku yang menjadi alat kandidat lainnya. Dari tangan merekalah segala aibku diekspose sedememikian derasnya.

Survey awal yang menempatkanku berada di urutan teratas meski jaraknya tak jauh, langsung terjun bebas. Pemilih pemula yang merindukan pemimpin muda dan baru, mendadak apatis. Kampanyeku di komunitas-komunitas pemuda sepi. Mereka memilih mendatangi konser dangdut yang diadakan sebuah perusahaan rokok. Sialnya, rokok yang mensponsori adalah rokok yang biasanya kuhisap.

Tiga parpol tentu saja meradang. Mereka tak bisa mundur lagi karena namaku sudah terdaftar di KPU daerah. Semangat im sukses mulai luntur meski tak sepenuhnya goyah. Buzzer di media sosial yang kubentuk, tak mampu melawan serangan kampanye hitam yang dialamatkan padaku. Aku takluk, aku menyerah.

Namun aku terlambat. Sisi sensitif yang selama ini kujaga, kini jadi santapan empuk media-media. Termasuk media tempatku bekerja sebelumnya.

“Aku tak bisa kalau tak memuat berita ini bang,” kata Fajar yang sejak saat itu, mengambil posisi sebagai wartawan politik mpemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun