Mohon tunggu...
Raden Nuh SH
Raden Nuh SH Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, Senior Patner RDA Law Office & Rekan

Hidup untuk berjuang membela rakyat miskin, orang tertindas, memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagian semua orang. Kebahagian terbesarku adalah menyaksikan semua orang merasa aman, senang dan bahagia, di mana parasit bangsa dan negara tidak mendapat tempat di mana pun di Indonesia. ..... Merdekaa !!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Nasib Sial Komisi Yudisial

29 Januari 2023   11:23 Diperbarui: 29 Januari 2023   11:24 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin tidak banyak rakyat Indonesia tahu untuk apa sebenarnya Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia diciptakan, mendapat tempat khusus dalam konstitusi hasil amandemen ketiga, akan tetapi semakin lama tidak terasa manfaatnya bagi rakyat khususnya para pencari keadilan (justibelen), apalagi konstribusi KY dalam mewujudkan lingkungan dan lembaga peradilan Indonesia yang bersih, jujur, kredibel, bermartabat, terhormat, dan berwibawa.

Paling hanya segelintir rakyat yang paham, sisanya pusing tujuh keliling karena sudah mikir keras tapi tak ketemu jawabannya.

Setelah dinyatakan eksistensinya melalui Pasal 24 B UUD 1945 hasil amandemen ketiga pada tahun 2001, Komisi Yudisial Republik Indonesia mulai beroperasi pasca pengesahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) pada tanggal 13 Agustus 2004, di mana Busyro Muqoddas terpilih sebagai Ketua KYRI pertama (Periode 2005-2010)

Di masa awal beroperasi,  KY bak macan kertas: nama mentereng tapi kewenangan tak jelas alias terbatas. Pasalnya sebanyak 31 hakim agung kompak sepakat mengajukan uji materi atas UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial kepada Mahkamah Konstitusi. Para hakim agung yang mulia tersebut gerah dengan kewenangan KY dalam pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap oknum hakim berperilaku korup / jahat (tercela).

Objek sasaran uji materi sebagaimana terdapat dalam surat pengajuan judicial review dalam perkara No. 5/PUU/IV/2006 adalah pasal-pasal yang mengatur dan memberi kewenangan bagi KY untuk mengawasi  hakim dan menjatuhkan sanksi terhadap hakim korup / tercela termasuk terhadap hakim agung dan hakim konstitusi.

Hasilnya, MK RI mengabulkan sebagian permohonan uji materi di mana segala kewenangan KY yang sebenarnya sengaja diberikan oleh rakyat untuk dapat dipergunakan dalam mengatasi kerusakan moral dan perilaku korup hakim dan lembaga peradilan Indonesia, kemudian dikebiri dan dicukur habis melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU/IV/2006.

Semua pasal yang memberi kewenangan KY dalam menjaga kehormatan dan martabat hakim/hakim agung dinyatakan oleh putusan MK adalah bertentangan dengan konstitusi alias dinyatakan tidak memgikat secara hukum (baca: tidak berlaku).

Harapan seluruh rakyat Indonesia akan terwujudnya perilaku hakim yang terpuji dan lembaga peradilan yang kredibel, layu sebelum berkembang  diterjang putusan MK.

Cita-cita Reformasi 98 Mati Tenggelam 

Putusan MK RI No. 5/PUU/IV/2006 merupakan lonceng kematian cita-cita gerakan Reformasi 1998. Lonceng kematian pertama.

Pengebirian kewenangan Komisi Yudisial mengakibatkan bangsa dan rakyat Indonesia tidak memiliki senjata / solusi efektif dalam upaya penegakan hukum dan mewujudkan keadilan,  dikarenakan KY sebagai lembaga negara di luar Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tak lagi punya kuasa untuk memperbaiki lembaga peradilan Indonesia yang korup, tidak pula berwenang menjatuhkan sanksi terhadap para hakim tercela, korup dan jahat -- musuh rakyat Indonesia.

Badan-badan peradilan di setiap tingkatan  dengan para hakim di dalamnya sejatinya adalah benteng terakhir penjaga hukum dan keadilan. Selama puluhan tahun pada masa Orde Baru (ORBA), fungsi peradilan dan hakim mati suri, hanya jadi lembaga stempel belaka, perpanjangan tangan penguasa, peradilan dan hakim tunduk di bawah kendali pemerintah, bebas sesuka hati ber-KKN-ria, di luar jangkauan hukum, kebal kritik dan alergi pada kebenaran dan asing dengan rasa keadilan.

Putusan MK No. 5/PUU/IV/2006 terbukti sangat efektif menghancurkan harapan rakyat dan menenggelamkan cita-cita Reformasi 1998. Sepanjang periode  1998 -- 2008 atau selama 8 tahun reformasi, hakim dan badan peradilan Indonesia masih jauh dari bermartabat dan terhormat, masih alergi dengan keadilan, masih tak peduli dengan rakyat pencari keadilan. Di tengah kondisi menyedihkan itu, KY yang semula jadi tumpuan harapan dibonsai menjadi macan kertas, di pajang di depan publik sekedar menakut-nakuti oknum hakim yang kedapatan berbuat nakal untuk dilaporkan kepada atasan.

Tanpa diberi kewenangan menjatuhkan sanksi berupa teguran hingga pemecatan terhadap hakim, KY rasanya terlalu mubazir bila eksistensinya diatur dalam konstitusi.

Komisi Yudisial di Simpang Jalan atau di Tepi Jurang

Alhamdulillah, Ketua KY RI 2005-2010 Busyro Muqoddas bersama pimpinan KY yang lain, para akademisi, aktivis hukum dan antikorupsi, LSM dan para tokoh tidak berdiam diri menyaksikan putusan MK No. 5/PUU/IV/2006 memperkosa kedaulatan rakyat yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 2004, yang pada akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22/2004 di mana di dalamnya terdapat kewenangan baru Komisi Yudisial: Berwenang melakukan langkah hukum dan lainnya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim, melakukan penyadapan, memanggil paksa terhadap saksi dan menyeleksi hakim ad hoc.

UU No. 18/2011 memberikan semangat dan harapan baru rakyat Indonesia kepada Komisi Yudisial, yang sangat diharapkan dapat bekerja maksimal dengan mengoptimalkan kewenangan yang dimilikinya. Selama lebih 10 tahun, rakyat menyaksikan kontribusi dan peran KY yang cukup signifikan dalam meningkatkan kualitas peradilan, mengawasi dan menjaga perilaku hakim. Cukup banyak hakim jahat / tercela baik pada pengadilan tingkat pertama mau pun pengadilan tinggi dijatuhi saksi berat hingga pemecatan berdasarkan rekomendasi KY.

Mengenai oknum hakim, panitera, juru sita dan pejabat pengadilan yang dijatuhi sanksi oleh Ketua Mahkamah Agung berdasarkan rekomendasi Komisi Yudisial dapat dengan mudah diketahui publik melalui pengumuman berkala "Hukuman Disiplin" yang merupakan resume hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim (KEPPH) yang ditampilkan dalam situs resmi Badan Pengawasan MA RI.

Walau pun KY dapat dianggap telah menunjukkan kinerja cukup bagus selama 10 tahun terakhir, namun celakanya tanda-tanda memburuknya kinerja KY mulai terlihat sejak dua tahun terakhir, khususnya sejak Sekjen Komisi Yudisial dijabat dari kalangan internal.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman berurusan dengan Komisi Yudisial terutama dalam melaporkan dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim (KEPPH), diperoleh kesan atau indikasi kecenderungan KY untuk menutup-nutupi dan melindungi oknum hakim korup / jahat dengan segala cara. Praktik tercela mana yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan sungguh sangat disesalkan.

Saatnya Pansus DPR Periksa Komisi Yudisial 

Maraknya terungkap perilaku tercela hakim selama dua tahun terakhir pada faktanya bukan merupakan hasil dari kinerja Komisi Yudisial yang memiliki tugas pokok dan fungsi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat para hakim, melainkan merupakan prestasi KPK, LSM atau media massa. Fakta yang wajar menimbulkan pertanyaan publik:  Quo Vadis Komisi Yudisial?

Mengutip nasihat orang bijak, daripada menunggu bom meledak lebih baik segera kirim tim jihandak. Dari pada busuk dan borok KY meledak kecipratan ke seluruh wajah, lebih baik Komisi III DPR membentuk panitia kerja (panja), kalau perlu dan lebih bagus panitia khusus (pansus) untuk membedah dan mengeluarkan bakteri dan virus ganas penyebab penyakit kronis yang terdapat dalam tubuh KY. Bakteri dan virus ganas inilah yang selama ini menjadi pelindung dan kolaborator oknum hakim jahat yang dilaporkan rakyat pencari keadilan kepada KY RI.

Insya Allah jika penyakit internal KY telah dibasmi, rakyat Indonesia khususnya pencari keadilan dapat berharap banyak kepada KY. Sebelum internal KY dibersihkan, sebaiknya jangan coba-coba membuat laporan pengaduan kepada KY RI, bukannya solusi melainkan sial yang bakal didapat. Yang terima laporan dan yang jadi terlapor setali tiga uang, kayak bayi kembar siam. Tak ada bedanya.

Menteng Dalam, Januari 2023

Raden Nuh SH. MH. CFCC (forensic)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun