Badan-badan peradilan di setiap tingkatan  dengan para hakim di dalamnya sejatinya adalah benteng terakhir penjaga hukum dan keadilan. Selama puluhan tahun pada masa Orde Baru (ORBA), fungsi peradilan dan hakim mati suri, hanya jadi lembaga stempel belaka, perpanjangan tangan penguasa, peradilan dan hakim tunduk di bawah kendali pemerintah, bebas sesuka hati ber-KKN-ria, di luar jangkauan hukum, kebal kritik dan alergi pada kebenaran dan asing dengan rasa keadilan.
Putusan MK No. 5/PUU/IV/2006 terbukti sangat efektif menghancurkan harapan rakyat dan menenggelamkan cita-cita Reformasi 1998. Sepanjang periode  1998 -- 2008 atau selama 8 tahun reformasi, hakim dan badan peradilan Indonesia masih jauh dari bermartabat dan terhormat, masih alergi dengan keadilan, masih tak peduli dengan rakyat pencari keadilan. Di tengah kondisi menyedihkan itu, KY yang semula jadi tumpuan harapan dibonsai menjadi macan kertas, di pajang di depan publik sekedar menakut-nakuti oknum hakim yang kedapatan berbuat nakal untuk dilaporkan kepada atasan.
Tanpa diberi kewenangan menjatuhkan sanksi berupa teguran hingga pemecatan terhadap hakim, KY rasanya terlalu mubazir bila eksistensinya diatur dalam konstitusi.
Komisi Yudisial di Simpang Jalan atau di Tepi Jurang
Alhamdulillah, Ketua KY RI 2005-2010 Busyro Muqoddas bersama pimpinan KY yang lain, para akademisi, aktivis hukum dan antikorupsi, LSM dan para tokoh tidak berdiam diri menyaksikan putusan MK No. 5/PUU/IV/2006 memperkosa kedaulatan rakyat yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 2004, yang pada akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22/2004 di mana di dalamnya terdapat kewenangan baru Komisi Yudisial: Berwenang melakukan langkah hukum dan lainnya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim, melakukan penyadapan, memanggil paksa terhadap saksi dan menyeleksi hakim ad hoc.
UU No. 18/2011 memberikan semangat dan harapan baru rakyat Indonesia kepada Komisi Yudisial, yang sangat diharapkan dapat bekerja maksimal dengan mengoptimalkan kewenangan yang dimilikinya. Selama lebih 10 tahun, rakyat menyaksikan kontribusi dan peran KY yang cukup signifikan dalam meningkatkan kualitas peradilan, mengawasi dan menjaga perilaku hakim. Cukup banyak hakim jahat / tercela baik pada pengadilan tingkat pertama mau pun pengadilan tinggi dijatuhi saksi berat hingga pemecatan berdasarkan rekomendasi KY.
Mengenai oknum hakim, panitera, juru sita dan pejabat pengadilan yang dijatuhi sanksi oleh Ketua Mahkamah Agung berdasarkan rekomendasi Komisi Yudisial dapat dengan mudah diketahui publik melalui pengumuman berkala "Hukuman Disiplin" yang merupakan resume hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim (KEPPH) yang ditampilkan dalam situs resmi Badan Pengawasan MA RI.
Walau pun KY dapat dianggap telah menunjukkan kinerja cukup bagus selama 10 tahun terakhir, namun celakanya tanda-tanda memburuknya kinerja KY mulai terlihat sejak dua tahun terakhir, khususnya sejak Sekjen Komisi Yudisial dijabat dari kalangan internal.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman berurusan dengan Komisi Yudisial terutama dalam melaporkan dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim (KEPPH), diperoleh kesan atau indikasi kecenderungan KY untuk menutup-nutupi dan melindungi oknum hakim korup / jahat dengan segala cara. Praktik tercela mana yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan sungguh sangat disesalkan.
Saatnya Pansus DPR Periksa Komisi YudisialÂ
Maraknya terungkap perilaku tercela hakim selama dua tahun terakhir pada faktanya bukan merupakan hasil dari kinerja Komisi Yudisial yang memiliki tugas pokok dan fungsi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat para hakim, melainkan merupakan prestasi KPK, LSM atau media massa. Fakta yang wajar menimbulkan pertanyaan publik: Â Quo Vadis Komisi Yudisial?