Mohon tunggu...
Raden Nuh
Raden Nuh Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pemerhati di kejauhan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Koruptor Atau Korban Aparat Korup

20 September 2024   08:53 Diperbarui: 20 September 2024   08:53 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku penyidik kejaksaan di Sumatera Utara dalam banyak hal menyerupai adagium Lord Acton tentang kekuasaan di atas. Oknum penyidik kejaksaan dengan mudahnya menyatakan seseorang menjadi tersangka dan harus ditahan. Ketika ditanya alasannya, si oknum penyidik kejaksaan menjawab normatif “ Sudah ada buktinya” namun ketika dituntut oleh si tersangka untuk menunjukkan bukti yang dimaksud, si penyidik seenak udelnya berkilah “Nanti di pengadilan dibuktikan !”

Akal sehat manusia menolak dalih penyidik seperti di atas, “Kalau nanti di depan persidangan baru akan dibuktikan, mengapa ditetapkan tersangka sekarang? Pakai harus ditahan lagi?” Lalu si tersangka bisa apa? Apakah dia nekat menolak dijadikan tersangka dan menolak pula untuk ditahan. Kita semua hampir tidak pernah mendengar ada orang yang mengotot menolak ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Umumnya si tersangka pasrah saja dan dengan seterusnya mengikuti prosedur yang ditetapkan.

Yang menjadi persoalan adalah mengenai hak-hak asasi seorang manusia atau warga negara dengan sendirinya diamputasi habis-habisan setelah dijadikan tersangka. Perlakuan semena-mena aparat hukum (baca penyidik dan petugas rutan) tidak mencerminkan status si tersangka sebagai orang yang tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang final dan tetap.

Kita contohkan saja si Badu. Ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi, kepadanya tidak ditunjukkan dua alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka. Karena berulang kali diminta akan tetapi tetap tidak ditunjukkan penyidik, lalu si Badu putuskan akan mengajukan permohonan praperadilan, terlebih lagi diketahui Surat Perintah Penyidikan yang jadi dasar perkara ternyata diterbitkan secara ugal-ugalan alias dengan menabrak undang-undang. Lalu bagaimana hasil prapid si Badu? Weleh-weleh...alih-alih menenangkan praperadilan, mengajukan permohonan prapid ke pengadlan pun batal atau tidak jadi. Apa pasalnya? Sehari sebelum permohonan praperadilan didaftarkan si Badu kedatangan tamu tak diundang menemuinya di dalam Rutan.

Tak seperti tamu biasa yang katanya membawa berkah tamu si Badu ini malah membawa musibah. Tidak pakai salam, tidak kata pembuka, oknum jaksa yang menemuinya melontarkan ancaman kepada Si Badu. “Du, ente silakan aja prapid prapidan, ente menang pun kami tidak tinggal diam. Ente kami habisi hingga menderita sepanjang masa. Ente kan tahanan jangan macam-macam kalau mau selamat !”

Si Badu yang hampir 30 tahun jadi pegawai negeri, hidupnya tenang seperti air dalam kolam. Kalau pun beriak tak pernah meluber ke luar. Makanya mendengar ancaman dari oknum penyidik kejaksaan Si Badu langsung drop. Nyaris pingsan. Hanya karena teringat kuasa hukumnya sedang berada di pengadilan hendak daftarkan permohonan prapid, Si Badu memaksakan diri meminta petugas rutan menghubungi kuasa hukum untuk membatalkan praperadilan.

Atas kerja sama dan pengertian si Badu yang batalkan praperadilan, jaksa penyidik brrlagak baik mengatakan, “Eh Badu, Ente itu salah karena tidakmenyatakan tender gagal padahal telah jelas ada temuan hasil pemeriksaan inspektorat bahwa terdapat kesalahan dalam proses evaluasi oleh Pokja Pemilihan.”

Si Badu bengong dengar alasan penyidik yang menyalahkan dia karena tidak nyatakan tender gagal. “Lue, penyidik apa belatung nangka ya? Masak kesalahan Pokja jadi tanggung jawab gua?” jerit si Badu dalam hati.

Berkat kesabaran si Badu, akhirnya ia bisa mendekati penyidik kejaksaan yang membuat BAP nya. “Bu, kalau menyatakan tender gagal dalam hal terdapat kesalahan dalam proses evaluasi khan itu bukan wewenang saya, melainkan wewenang Pokja,” bisik Badu lirih takut Bu Penyidik marah. “Aah, kamu tahu apa? Udah jelas kok, menyatakan tender gagal itu wewenang Pengguna Anggaran. Tuh Pasal 9 Ayat 1 huruf m Perpres 12/2021” kata Bu Penyidik mantap.

SI Badu tertegun mendengar jawaban Bu Penyidik. Dia buru-buru buka buku yang ada Perpres 12/2021. Lalu, tangannya turun menyusuri pasal demi pasal. Ahaa.. bingo ! Ketemu juga akhirnya. SI Badu buka matanya belok-belok, takut kalau salah baca. Dalam hati dieja pelan-pelan Pasal 51 Ayat 2 dan Ayat 4 Perpres 12/2021.

 Pasal 51 Ayat 2 Berbunyi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun