Siapa yang tidak tahu koruptor?
Orang pelaku korupsi disebut koruptor. Lebih tepat lagi orang yang perbuatannya merusak (negara) disebut koruptor.
Kata koruptor mengalami penyempitan makna. Seharusnya siapa saja yang merusak negara baik yang mengakibatkan kerugian negara mau pun merusak negara secara imateriel seperti menimbukkan citra buruk terhadap negara haruslah kita juluki koruptor.
Bagaimana dengan mafia hukum?
Ketika disebutkan kata mafia hukum langsung terbayang di mata sekelompok oknum aparat penegak hukum bisa oknum polisi, jaksa, hakim, advokat, atau panitera yang berkolusi bermufakat jahat yang menggunakan wewenang yang dimiliki untuk maksud yang tidak baik, yakni melanggar hukum demi mencapai tujuan tertentu: memenangkan suatu perkara, mendapatkan uang suap, melancarkan pemerasan, kenaikan pangkat atau jabatan, menjatuhkan atau menjerat seseorang – biasanya lawan atau korban yang ditargetkan si pemesan.
Jasa mafia hukum kerap dipakai untuk melancarkan kriminalisasi terhadap seseorang atau target. Target ini bervariasi, bisa pejabat tinggi, pengusaha papan atas, tokoh aktivis, selebritas dan seterusnya hingga pada rakyat jelata yang karena apes malah terseret jadi korban mafia hukum.
Sesuai namanya, mafia hukum tidak bisa bekerja sendiri. Kata Mafia sendiri berarti ‘organisasi kriminal’. Meski menyandang nama mafia atau organisasi kriminal, mafia hukum tidak mempunyai organisasi sebagaimana lazimnya. Mafia hukum itu terorganisir akan tetapi tidak membentuk organisasi. Hal ini dapat dimaklumi karena mafia hukum itu sejatinya musuh rakyat, pemerintah, negara terlebih lagi aparat hukum.
Mafia hukum itu seperti hantu, disebut-sebut namanya tapi tidak tampak orangnya. Mafia hukum itu seperti kentut, tidak terlihat tapi dirasakan kehadirannya. Untuk mendeteksi mafia hukum dibutuhkan kemampuan khusus dalam mencari, menyelidiki, menganalisis dan mengidentifikasi. Dengan ketekunan, mafia hukum dapat ditemukan. Contoh paling anyar adalah praktik mafia hukum yang beroperasi di Sumatera Utara tepatnya di Kota Medan.
Sejak dua tahun terakhir banyak pejabat tinggi di jajaran Pemprov Sumut dan Pemkab serta Pemkot di lingkungan provinsi Sumatera Utara menjadi cemas dan was-was karena setiap saat kapan saja bisa mendadak dijadikan tersangka dan terdakwa oleh penyidik Kejaksaan.
Para pejabat ini umumnya bukan koruptor apalagi kriminal, mereka adalah birokrat profesional, aparatur sipil negara atau PNS yang telah mengabdi puluhan tahun sebagai pegawai negeri. Sebagian mereka meniti karier dari bawah, oleh karenanya sangat berpengalaman dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya di mana ia ditempatkan.
Lalu mengapa sekarang resah?
Sejak dua tahun terakhir terlihat jelas semakin kuat kecenderungan kesalahan administratif yang biasa terjadi atau kurang lebih dalam pekerjaan pengadaan yang selama ini hal biasa yang akan diselesaikan sesuai prosedur atau perubahan kontrak kerja selama pekerjaan berjalan untuk penyelarasan perbedaan antara perencanaan dengan pelaksanaan pekerjaan atau pemeriksaan BPK yang dijadikan dasar suatu pekerjaan, pengadaan atau kegiatan dianggap sudah sesuai dengan anggaran, tidak ada kerugian negara / daerah seperti yang telah berjalan selama puluhan tahun mendadak berubah semuanya.
Singkatnya ranah administrasi pemerintahan/ administrasi negara diterobos oleh oknum kejaksaan. Jadi buat apa ada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan? Buat apa ada Peraturan LKPP No. 18 Tahun 2018 tentang Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak? Buat apa ada Pasal 82 Perpres 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa? Buat apa ada Nota Kesepahaman Kemendagri, Kejaksaan RI dan Polri? Buat apa ada sebrek perundag-undangan jika oknum jaksa yang notabene aparat penegak hukum seenaknya menerobos out side masuk ke ranah administrasi negara, cilakanya lagi oknum-oknum ini tidak dilengkapi pengetahuan hukum memadai.
Pejabat Pemprov Sumut, Pemkab dan Penkot Cemas dan Was-was
Sejak dua tahun terakhir, kejaksaan di Sumatera Utara bertindak seolah-olah merangkap jabatan sebagai BPK bayangan. Oknum penyidik Kejaksaan degan mudah mengabaikan hasil pemeriksaan BPK dengan menunjuk auditor atau akuntan publik yang siap sedia menyajikan laporan hasil pemeriksaan sesuai pesanan oknum penyidik kejaksaan.
Di sisi hulu, oknum kejaksaan dengan enteng menyatakan Pokja Pemilihan telah salah dan melanggar hukum hanya karena Pokja Penyedia Jasa dengan menabrak aturan yang dibuat Pokja sendiri. Lalu, ketika Pengguna Anggaran atau kuasa pengguna anggaran memutuskan untuk tetap meneruskan proses pengadaan, oknum penyidik kejaksaan bertindak seperti Bupati, Gubernur atau Presiden karena dengan mudahnya menyatakan si pengguna anggaran telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Singkatnya, oknum Kejaksaan di Sumatera Utara dengan mudah mengobok-obok proses pengadaan barang dan jasa, lalu dengan kewenangannya selaku penyidik, dengan mudah pula menyatakan seorang pejabat menjadi tersangka korupsi. Dan hebatnya lagi, oknum kejaksaan ini pula yang bertindak sebagai penuntut umum yang mendakwa terdakwa di depan sidang pengadilan.
Penyalahgunaan Wewenang dan Perbuatan Melawan Hukum Oknum Penyidik Kejaksaan
Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Adagium politik yang artinya kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti korup ini dikemukakan sejarawan, politisi dan penulis terkemuka asal Inggris bernama John Emerich Edward Dalberg-Acton yang lebih dikenal dengan nama Lord Acton (10 Januari 1834 – 19 Juni 1902).
Pada tahun 1870 Lord Acton menentang Dogma Infalibilitas yang dicanangkan Gereja Katolik. Dogma Infalibilitas atau Papal Infalibilitas adalah dogma atau doktrin yang menyatakan Paus tidak dapat berbuat salah, dan gereja pun demikian didasarkan pada janji Yesus kepada Petrus. Dalam penentangannya Lord Acton menulis surat kepada Uskup Agung Inggris. Dalam suratnya Lord Acton mengatakan:
“Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan absolut pasti merusak. Orang-orang hebat hampir selalu menjadi orang jahat, bahkan ketika mereka menggunakan pengaruh bukan otoritas, terlebih lagi ketika menambahkan kecenderungan atau kepastian korupsi oleh otoritas. Tidak ada ajaran sesat yang lebih buruk daripada jabatan yang menguduskan pemegangnya.”
Perilaku penyidik kejaksaan di Sumatera Utara dalam banyak hal menyerupai adagium Lord Acton tentang kekuasaan di atas. Oknum penyidik kejaksaan dengan mudahnya menyatakan seseorang menjadi tersangka dan harus ditahan. Ketika ditanya alasannya, si oknum penyidik kejaksaan menjawab normatif “ Sudah ada buktinya” namun ketika dituntut oleh si tersangka untuk menunjukkan bukti yang dimaksud, si penyidik seenak udelnya berkilah “Nanti di pengadilan dibuktikan !”
Akal sehat manusia menolak dalih penyidik seperti di atas, “Kalau nanti di depan persidangan baru akan dibuktikan, mengapa ditetapkan tersangka sekarang? Pakai harus ditahan lagi?” Lalu si tersangka bisa apa? Apakah dia nekat menolak dijadikan tersangka dan menolak pula untuk ditahan. Kita semua hampir tidak pernah mendengar ada orang yang mengotot menolak ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Umumnya si tersangka pasrah saja dan dengan seterusnya mengikuti prosedur yang ditetapkan.
Yang menjadi persoalan adalah mengenai hak-hak asasi seorang manusia atau warga negara dengan sendirinya diamputasi habis-habisan setelah dijadikan tersangka. Perlakuan semena-mena aparat hukum (baca penyidik dan petugas rutan) tidak mencerminkan status si tersangka sebagai orang yang tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang final dan tetap.
Kita contohkan saja si Badu. Ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi, kepadanya tidak ditunjukkan dua alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka. Karena berulang kali diminta akan tetapi tetap tidak ditunjukkan penyidik, lalu si Badu putuskan akan mengajukan permohonan praperadilan, terlebih lagi diketahui Surat Perintah Penyidikan yang jadi dasar perkara ternyata diterbitkan secara ugal-ugalan alias dengan menabrak undang-undang. Lalu bagaimana hasil prapid si Badu? Weleh-weleh...alih-alih menenangkan praperadilan, mengajukan permohonan prapid ke pengadlan pun batal atau tidak jadi. Apa pasalnya? Sehari sebelum permohonan praperadilan didaftarkan si Badu kedatangan tamu tak diundang menemuinya di dalam Rutan.
Tak seperti tamu biasa yang katanya membawa berkah tamu si Badu ini malah membawa musibah. Tidak pakai salam, tidak kata pembuka, oknum jaksa yang menemuinya melontarkan ancaman kepada Si Badu. “Du, ente silakan aja prapid prapidan, ente menang pun kami tidak tinggal diam. Ente kami habisi hingga menderita sepanjang masa. Ente kan tahanan jangan macam-macam kalau mau selamat !”
Si Badu yang hampir 30 tahun jadi pegawai negeri, hidupnya tenang seperti air dalam kolam. Kalau pun beriak tak pernah meluber ke luar. Makanya mendengar ancaman dari oknum penyidik kejaksaan Si Badu langsung drop. Nyaris pingsan. Hanya karena teringat kuasa hukumnya sedang berada di pengadilan hendak daftarkan permohonan prapid, Si Badu memaksakan diri meminta petugas rutan menghubungi kuasa hukum untuk membatalkan praperadilan.
Atas kerja sama dan pengertian si Badu yang batalkan praperadilan, jaksa penyidik brrlagak baik mengatakan, “Eh Badu, Ente itu salah karena tidakmenyatakan tender gagal padahal telah jelas ada temuan hasil pemeriksaan inspektorat bahwa terdapat kesalahan dalam proses evaluasi oleh Pokja Pemilihan.”
Si Badu bengong dengar alasan penyidik yang menyalahkan dia karena tidak nyatakan tender gagal. “Lue, penyidik apa belatung nangka ya? Masak kesalahan Pokja jadi tanggung jawab gua?” jerit si Badu dalam hati.
Berkat kesabaran si Badu, akhirnya ia bisa mendekati penyidik kejaksaan yang membuat BAP nya. “Bu, kalau menyatakan tender gagal dalam hal terdapat kesalahan dalam proses evaluasi khan itu bukan wewenang saya, melainkan wewenang Pokja,” bisik Badu lirih takut Bu Penyidik marah. “Aah, kamu tahu apa? Udah jelas kok, menyatakan tender gagal itu wewenang Pengguna Anggaran. Tuh Pasal 9 Ayat 1 huruf m Perpres 12/2021” kata Bu Penyidik mantap.
SI Badu tertegun mendengar jawaban Bu Penyidik. Dia buru-buru buka buku yang ada Perpres 12/2021. Lalu, tangannya turun menyusuri pasal demi pasal. Ahaa.. bingo ! Ketemu juga akhirnya. SI Badu buka matanya belok-belok, takut kalau salah baca. Dalam hati dieja pelan-pelan Pasal 51 Ayat 2 dan Ayat 4 Perpres 12/2021.
Pasal 51 Ayat 2 Berbunyi:
Tender/Seleksi gagal dalam hal:
a.terdapat kesalahan dalam proses evaluasi;
b.tidak ada peserta yang menyampaikan dokumen penawaran setelah ada pemberian waktu perpanjangan;
c.tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran
d.ditemukan kesalahan dalam Dokumen Pemilihan atau tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini
e.seluruh peserta terlibat korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme;
f.seluruh peserta terlibat persaingan usaha- tidak sehat;
g.seluruh penawaran harga Tender Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya di atas HPS;
h.negosiasi biaya pada Seleksi tidak tercapai; dan/atau
i.korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme melibatkan Pokja Pemilihan/ PPK
Pasal 54 Ayat 4 berbunyi:
“Prakualifikasi gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tender/Seleksi gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf h dinyatakan oleh Pokja Pemilihan.
Pasal 51 Ayat 2 dan 4 dibaca Badu beulang kali, takut kalau sampai salah lihat. Ternyata tidak ada yang berubah. Sangat jelas, terang benderang. "Lalu, kenapa Bu Jaksa ga bisa melihatnya ya? Tanya Badu dalam hati.
Tiba-tiba bahu si Badu ditepuk, “Hey, ngapin lue. Ngapain pake stress segala? Udah gini aja. Ga ada gunanya lue melawan. Lus ngalah aja, nanti kita atur di penuntutan. Nah, lue siapkan aja barang 5 an, ntar dituntut Cuma 2 tahun, divonis Cuma setahun, udah deh langsung bebas. Gitu aja kok repot” kata Sukan jaksa penyidik yang menepuk bahu Badu tanpa permisi dulu.
“Itu 5 apaan? Siapkan 5 untuk apa?” Tanya Badu kepada agen penyidik itu. “Yaaah. Ya 5 M donk. 5 miliar, masak 5 juta ?!”
“Apaaa? 5 miliar kata Badu tak sadar berteriak mengagetkan si Akbar Tanjung yang sedang leha-leha kayak ga punya pikiran. “Alaaah,. Itukan ga seberapa, apalagi kerugian negara kan di dakwaan hampir Rp 5 miliar. Itu-itung pengembalian uang negara, tapi yang 5 M dari sampeyan masuk ke kas kita aja, ga usah ke kas negara, biar efektif dan efisien. Gimana?”
Si Badu setengah tidak percaya nanya lagi, “5 miliar ya Pak? Beneran? Ga salah?”
“Ya 5 M donk, masak 5 Baskom?! Udah ya .. kasih kabar secepatnya !” ujar Sukan sambil ngeloyor pergi,
Sementara itu Si Badu terus menepok jidatnya berkali-kali, “Aduh Biyuuung ... apa salah dan dosaku ... kok ga buat apa-apa diminta 5 miliar biar bisa bebas, mereka itu manusia apa iblis durjana ??”
“Katanya yang salah Pokja dalam proses evaluasi kok yang dijadikan tersangka malah Pengguna Anggaran yang tidak tahu apa-apa?
Katanya, yang mau diberi sanksi anggota Pokja, kok Pengguna Anggaran yang tahu belakangan dijadikan korban?
“Lha, kata perpres yang nyatakan tender gagal adalah Pokja kok Pengguna Anggaran diseret-seret penyidik kejaksaan? Maksudnya ini apa?
Duh Biuyuuung, kalau jaksa penyidik guoblok ya mbok jangan zalimi orang seenaknya, pakai minta uang 5 miliar lagi untuk syarat bebas. Bikin bingung aja, kalian penyidik atau perampok?. Gimaa nih? Kok kebodohan jaksa dibiarkan aja ga ada yang jewer kupingnya?!
Si Badu lupa petuah Lord Acton lebih dua abad lalu, Power tends to corrupt ablosolute power corrupts absolutely (tukang korup pasti korup dah).
“Trus gimana donk solusinya?” Teriak Si Badu histeris.
Tiba-tiba terdengar suara berat dari langit.. ternyata Lord Acton sendiri yang penasaran mau tahu siapa yang hari gini masih jadi mafia hukum dengan menyalahgunakan wewenang.
“Mau bebas Du? Kamu mau bebas?” Tanya Lord Acton.
“Ia donk Lord. Mosok saya ga salah dikerangkeng? Yang bener aja!”
“Ya sudah. Hanya ada satu caranya agar kamu bebas”
“Apa itu?” Potong Si Badu ga sabaran.
“Lawan !!!” teriak Lord Acton menggelegar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H