Lalu mengapa sekarang resah?
Sejak dua tahun terakhir terlihat jelas semakin kuat kecenderungan kesalahan administratif yang biasa terjadi atau kurang lebih dalam pekerjaan pengadaan yang selama ini hal biasa yang akan diselesaikan sesuai prosedur atau perubahan kontrak kerja selama pekerjaan berjalan untuk penyelarasan perbedaan antara perencanaan dengan pelaksanaan pekerjaan atau pemeriksaan BPK yang dijadikan dasar suatu pekerjaan, pengadaan atau kegiatan dianggap sudah sesuai dengan anggaran, tidak ada kerugian negara / daerah seperti yang telah berjalan selama puluhan tahun mendadak berubah semuanya.
Singkatnya ranah administrasi pemerintahan/ administrasi negara diterobos oleh oknum kejaksaan. Jadi buat apa ada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan? Buat apa ada Peraturan LKPP No. 18 Tahun 2018 tentang Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak? Buat apa ada Pasal 82 Perpres 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa? Buat apa ada Nota Kesepahaman Kemendagri, Kejaksaan RI dan Polri? Buat apa ada sebrek perundag-undangan jika oknum jaksa yang notabene aparat penegak hukum seenaknya menerobos out side masuk ke ranah administrasi negara, cilakanya lagi oknum-oknum ini tidak dilengkapi pengetahuan hukum memadai.
Pejabat Pemprov Sumut, Pemkab dan Penkot Cemas dan Was-was
Sejak dua tahun terakhir, kejaksaan di Sumatera Utara bertindak seolah-olah merangkap jabatan sebagai BPK bayangan. Oknum penyidik Kejaksaan degan mudah mengabaikan hasil pemeriksaan BPK dengan menunjuk auditor atau akuntan publik yang siap sedia menyajikan laporan hasil pemeriksaan sesuai pesanan oknum penyidik kejaksaan.
Di sisi hulu, oknum kejaksaan dengan enteng menyatakan Pokja Pemilihan telah salah dan melanggar hukum hanya karena Pokja Penyedia Jasa dengan menabrak aturan yang dibuat Pokja sendiri. Lalu, ketika Pengguna Anggaran atau kuasa pengguna anggaran memutuskan untuk tetap meneruskan proses pengadaan, oknum penyidik kejaksaan bertindak seperti Bupati, Gubernur atau Presiden karena dengan mudahnya menyatakan si pengguna anggaran telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Singkatnya, oknum Kejaksaan di Sumatera Utara dengan mudah mengobok-obok proses pengadaan barang dan jasa, lalu dengan kewenangannya selaku penyidik, dengan mudah pula menyatakan seorang pejabat menjadi tersangka korupsi. Dan hebatnya lagi, oknum kejaksaan ini pula yang bertindak sebagai penuntut umum yang mendakwa terdakwa di depan sidang pengadilan.
Penyalahgunaan Wewenang dan Perbuatan Melawan Hukum Oknum Penyidik Kejaksaan
Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Adagium politik yang artinya kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti korup ini dikemukakan sejarawan, politisi dan penulis terkemuka asal Inggris bernama John Emerich Edward Dalberg-Acton yang lebih dikenal dengan nama Lord Acton (10 Januari 1834 – 19 Juni 1902).
Pada tahun 1870 Lord Acton menentang Dogma Infalibilitas yang dicanangkan Gereja Katolik. Dogma Infalibilitas atau Papal Infalibilitas adalah dogma atau doktrin yang menyatakan Paus tidak dapat berbuat salah, dan gereja pun demikian didasarkan pada janji Yesus kepada Petrus. Dalam penentangannya Lord Acton menulis surat kepada Uskup Agung Inggris. Dalam suratnya Lord Acton mengatakan:
“Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan absolut pasti merusak. Orang-orang hebat hampir selalu menjadi orang jahat, bahkan ketika mereka menggunakan pengaruh bukan otoritas, terlebih lagi ketika menambahkan kecenderungan atau kepastian korupsi oleh otoritas. Tidak ada ajaran sesat yang lebih buruk daripada jabatan yang menguduskan pemegangnya.”